"Jadi lo dikacangin sama Pak Ruhyang?"
Pertanyaan Lulu itu dijawab wajah masam Jeje. Lulu tertawa keras. Pasalnya baru kali ini mendengar temannya yang cantik jelita dikacangin oleh makhluk bernama laki-laki. Selama ia berteman dengan Jeje, belum pernah ia melihat Jeje semejengkelkan ini karena seorang laki-laki.
"Diem lo jangan ketawa mulu!" sergah Jeje.
"WKWKWKW"
"LULU!!!!!"
Tangan jeje gencar meraih tubuh kurus Lulu. Ia mencubiti Lulu seraya melampiaskan kekesalan pada Ruhyang.
"Aw … aw … aws! Sakit Je! Lo kayak emak tiri aja ya!"
"Makanya jangan rese lo!'
Lulu mencebik. Ia pun mengambil martabak telor 5 telor bebek yang dijanjikan Jeje agar membantunya membuat tugas Pak Ruhyang. Tak lupa green tea kesukaanyan pun ia seruput untuk menuntaskan dahaga.
"Tapi … kalau dipikir-pikir … sepertinya lo bukan selera Pak Ruhyang. Makanya dia cuek sama lo."
"Gak bisa gitu dong," ucap Jeje tidak terima. "Gue masih belum berusaha maksimal. Belum tentu juga dia gak suka sama gue. Kali aja dia emang gak biasa deket cewek."
"Lo jangan bodoh. Seganteng itu masak iya belum pernah punya pacar?" tanya Lulu cukup sukses membuat Jeje sedikit rendah diri.
"Gak tahu ah! Males ngomong sama lo."
"Eh lain kitu. Udahlah Je gak usah ngide amat mau affair sama dosen. Mending lo tobat, kuliah yang bener. Biar lulusnya bareng sama gue. Masa iya mau ditinggal? Lo udah di semester 10. Sama kayak jari tangan lo. Masa iya mau ditambah sama jari kaki lo juga?"
"Lo sih gak ngerti."
"Gak ngerti gimana sayangkuh yang bandelnya gak ketulungan? Gue mafhum sikap lo yang playgirl banget itu. Sayang Je, harga diri lo semakin diremehin sama orang-orang dengan sikap lo itu."
"Gue gak mikir komentar orang-orang"
Lulu menghembuskan napas kesal. Telingan Jeje sepertinya udah kesumbat. "Lo emang bener-bener harus di ruqyah Je kalau kayak gini terus."
"'Kan udah gue bilang. Gak mempan. Tuhan lo gak kenal sama gue."
"Kenakalan dulu makanya."
"Bisa ae dah lu."
Lulu tersenyum. Alisnya naik turun-naik. Tapi tangannya meraih martabak telor yang ke lima kalinya.
"Lo kecil-kecil makannya banyak ya."
"Gak peduli. Gak peduliin omongan orang lain," ucap Lulu mengulang ucapan Jeje.
"Gak usah nyindir."
"Eits gue gak nyindir ya. Lo nya aja yang sensi gegara dikacangin cowok," balas Lulu seraya tertawa.
"LULU!!!!"
Lulu menghindar ketika Jeje mau mencubitnya lagi. Wanita itu boleh saja lebih tua dua tahun darinya. tapi kelakuan, sama gilanya dengan dia. Kekanakannya bahkan lebih parah dari dia.
"Btw, lo beneran mau balik ke Perancis, Je?"
Tanya Lulu. Ia tahu kalau Jeje aslinya orang Perancis. Tapi emang dasar takdir, wajahnya yang gak bule-bule amat bahkan tegasnya wajah asia, membuat orang-orang tidak tahu kalau Jeje adalah warga negara asing.
"Ya," jawabnya malas.
"Kenapa gak tinggal di Indo aja? Sama gue disini, cari kerja, cari jodoh."
Jeje terkehkeh, "Anak kecil jangan bicara jodoh. Lulus dulu kuliah."
"Eh gue mah kuliahnya bener ya. Gak kayak lo."
"Hehehe … iya-iya deh yang jadi mahasiswa pinter."
"Back to the topic, kapan lo pulang? Pas udah lulus?"
Jeje menghela napas berat. Sepertinya Lulu memang sangat penasaran dengannya. Bisa dipahami sih, selama ini ia hanya bilang kalau dia orang Perancis dan akan pulang ke negeranya. Ia terbiasa menghindari topik ini karena malas membicarakannya. Tapi mengingat percakapan minggu lalu dengan ayahnya, Jeje tidak bisa menutupinya lagi.
"Lo baik-baik aja 'kan?" tanya Lulu ketika melihat perubahan roman wajah Jeje.
"No. Ya … gue mau sih tinggal disini. Cuman bokap udaj nyuruh gue balik. Dengan atau tanpa gelar. Dia gak peduli. Yang penting gue balik."
Lulu menganguk-angguk, "Berati bokap lo sayang banget sama lo, Je."
Sayang?
Bullshit sekali kalau memang alasannya itu.
"Coba gue Je. Gue setiap di telpon, Lu awas ya kamu kalau kuliahnya gak bener. Ibu sama Bapak susah-susah nyari uang buat biaya kuliah kamu. Kamu harus banggain ibu sama Bapak. Jangan pacaran dulu, omat!" ucapnya memeragakan cara bicara kedua orang tuanya.
Jeje tertawa, "Pantes aja lo jomblo sampe sekarang, Lu."
Lulu menatap tajam, "Gak usah ngejek."
"Bukan gitu. Btw, lo nakal dikit lah. Bokap nyokap lo gak akan tahu."
Lulu melotot, "Bokap nyokap emang gak tahu. Tapi Tuhan pasti tahu."
"Cih. Taat banget lo sama Tuhan."
"Jelaslah. Kalau enggak, bisa-bisa gue gak dikasih rezeki sama jodoh lagi," ucap Lulu dengan nada bercanda.
"Terserah … terserah Lulu. Asal Lulu bahagia aja."
"Nah gitu dong. Eh karena lo mengedepankan kebahagiaan gue, lo udah ditransfer bokap 'kan?"
Jeje mengangguk, "Kenapa?"
"Minjem duit."
"As*!"
"Heh! Dilarang berbicara kasar."
"Dasar mata duitan lo."
"Mata duitan itu perlu. Asal ke orang yang tepat. Kayak lo," ucapnya seraya menaik-turunkan alisnya.
"Teman gelo dasar." (gila)
"Wedeyy udah bisa pake bahasa Sunda euy …"
"3 tahun bareng lo masa iya gak ketularan? Gue gak bego-bego amat lah."
"Siap lah Bonjour."
"Apa lu? Bonjour-bonjour. Kagak tahu artinya jangan maksa deh pakai bahasa Perancis."
"Yang penting bahasa Perancis."
"Serah deh Serahhhh."
Lulu terkehkeh. Walaupun berbeda tuhan (sebenarnya Lulu gak tahu Tuhan mana yang Jeje anut) Lulu tetap bersyukur dipertemukan dengan Jeje. Sikapnya boleh saja playgirl sekali. tapi kalau urusan teman, Jeje itu loyal. Dia juga suka bersikap sopan dengan yang lebih tua. Satu hal yang menjadi pelajaran bagi Lulu yang terkadang masih minus dalam menghormati orang lain.
Mudah-mudahan Jeje bisa tobat dari hobinya yang playgirl sekali. Itu harapan yang dipanjatkan setiap hari.
Cukup lama mereka terdiam. Sampai ketika Jeje kembali bersuara.
"Gue pulang buat nikah, Lu."
Lulu tersedak mendengar itu.
"Minum. Kayak yang gak pernah dengar kata nikah aja lo."
Lulu menelan air, "Bukan gitu," ucapnya seraya diringi batuk.
"Sabar. Minum dulu sampai tenggorokan lo lega."
Lulu mematuhi perintah Jeje. Setelah tenggorokannya lega, Lulu segera bersuara.
"Demi naon lu mau nikah?"
"Demi kelangsungan hidup bokap. Puas lo?"
"Papah lo mengidap penyakit serius?"
"Hm."
"Serius? Penyakit apa Je?"
"Penyakit ketakutan bangkrut."
"Ealah … kirain gue apaan."
"Kalau gue santet dosa gak sih?"
"Astagfirullah. Jangan begitu. Dosa besar."
Jeje tertawa, "Bahasa lo udah kayak yang biasa ceramah di youtube."
"Eh serius lo, Jangan nekat nyantet bokap lo Je. Awas!"
"Ya enggaklah, Lu. Gak mempan sama santet bokap gue mah."
"Terus mempannya sama apaan?"
"Duit."
"Kalau itu juga gue mempan."
"Lucknut sekali lo jadi hamba."
"Astagfirullah iya juga ya. Maafin hambamu ini ya Allah," ucap Lulu seraya menengadahkan kedua tangannya seperti meminta lalu mengusapkan ke wajahnya dan mengucapkan kata 'aamiin'.
******
Mobil sport hitam itu terpakir di ujung jalan. Terpakir rapi bersama mobil-mobil lain yang tidak dapat tempat parkir di dalam kampus. Itu mobil Jeje. Ia sengaja tidak memarkirkan mobilnya di dalam. Ada hal yang harus ia lakukan.
"Gimana?" tanya melalui ponselnya.
"Beres. Dia udah keluar parkiran beberapa menit yang lalu. Harusnya udah di gerbang."
"Good. Gue transfer sekarang juga. Tapi inget, lo perbaikin sekarang juga ban bocornya."
"Iya-iya bawel. Lagian aneh lu, benci sampe nekat gembosin mobil dosen."
Jeje terkehkeh, "Lo tahu arti benci gak?"
"Apa?"
"Benar-benar cinta."
"BHAK! Bahasa lo playgirl. Udah ah gue mau benerin dulu sebelum ketahuan sama yang punya."
"Oke. Gue tf sekrang."
"Ya."
TUT.
Jeje tersenyum penuh kemenangan. Niatnya untuk menjahili Ruhyang sudah terlaksana. Sekarang tinggal ia memanfaatkan kesempatan ini dengan baik untuk mendekati Ruhyang.
Mata Jeje menyipit. Ia melihat Ruhyang sudah berada di gerbang utama. Seraya memegang ponsel dengan kemeja yang tergulung sampai siku. Ganteng sekali. Tak mau menunggu lama, Jeje menghidupakan mobilnya lalu meluncur ke hadapan Ruhyang sebagai pahlawan kesiangan.
"Butuh tumpangan, Pak?"
Jeje menurunkan kaca mobilnya. Kaca mata yang bertengger di hidung mancungnya dilepaskannya. Ia tersenyum manis.
"Sepertinya Bapak buru-buru. Saya anterin saja, Pak. Kebetulan saya free hari ini."
Bukannya langsung menjawab tawaran Jeje, Ruhyang malah menaikkan alisnya sebelah. Tidak Ada raut kertertarikan jika Jeje menelitinya lebih dalam. Sial. Jeje malah terpesona dengan manik matanya yang tajam.
"Bukannya kamu masih ada kuliah?" tanya Ruhyang dengan nada dingin.
"Dosennya tidak ada, Pak."
"Tidak ada atau kamunya yang tidak masuk?"
Kenapa sih nih orang! omel Jeje dalam hati.
"Dosennya tidak masuk, Pak. Sakit."
"Terus gak ada tugas gitu?" ketusnya.
Udah kayak ngajak perang nih ngomomgnya. Untung aja ganteng, sabarnya dalam hati.
"Ada sih."
"Yaudah kamu kerjain tugas bukannya nawarin saya tumpangan."
Jeje menatap tidak percaya. Ada ya orang yang seperti ini.
"Ada, Pak. Tapi tidak dikumpulkan hari ini."
"Jangan menunda-nunda kalau punya tugas itu."
Jeje berusaha tersenyum manis. "Baik, Pak. Tapi bapak juga kalau sudah tahu telat mending jangan nunda-nunda bantuan. Gak baik."
"Kamu mau saya kasih nilai E?"
"Lha? Ya enggak, Pak. Nawarin aja. Kalau mau ayok, kalau enggak temenan aja gak apa-apa."
"Apa?"
Jeje tertawa, "Bercanda, Pak."
Ruhyang menatap sinis, "Saya tidak mau."
"Tidak mau apa, Pak? Jadi temen?"
Ruhyang menatap tajam pada Jeje Jeje diam tak berkutik sambil menahan tawa. Nyatanya menggoda Ruhyang dengan gombalan receh seperti ini asik juga.
Tanpa mau memperpanjang percakapan, Ruhyang pergi tanpa pamit. Sukses membuat Jeje melongo. Ruhyang nampak pergi dengan mobil yang baru saja pakir di depan mobilnya.
"Wah … ngajak kejar-kejaran nih ceritanya Oke, Pak. Saya akan kejar bapak sampai ke ujung dunia pun."
******