Chereads / Nemesis Book / Chapter 4 - Ice Lemon Tea

Chapter 4 - Ice Lemon Tea

PAGI ini, matahari lebih hangat. Menghangatkan punggung-punggung yang mereka sendiri siram dengan air, subuh tadi.

Sekumpulan pria dan wanita berjas rapi itu, tampak memegang gelas yang sama. Bagi mereka, kopi di pagi hari juga bisa menghangatkan perut dan memberikan energi sebelum memulai pertarungan dengan pekerjaannya. Selain itu, jika kamu sedikit menyipitkan mata ke seberang kanan, kamu akan melihat laki-laki yang menendang-nendang kerikil di sana. Tampaknya, Itu Daniel yang sedang menunggu  bus untuk berangkat sekolah. Kemudian, gadis asing berjalan ke arahnya dengan seragam yang sama menyapa laki-laki itu.

"Hai, Daniel!" sapa gadis tersebut dengan ekspresi tumpul. Menyapa tanpa melihat laki-laki tersebut. 

"H-hai," jawab Daniel dengan gagap. Memberikan salam tanpa balasan. Dia yang malu, menarik kembali tangannya itu. "Tidak akan ada bus jam segini, kita harus menunggu satu jam lagi," lontar Daniel dengan hati-hati.

"Aku tahu, makanya aku pesan taksi online," tegas perempuan berkulit pucat tersebut. Menyipitkan kedua matanya. Karena matahari bagai spotlight yang berpusat kepadanya. "Aish, kenapa cahaya matahari seakan membuntutiku," kesal gadis itu. Dia yang dari tadi pegal melindungi wajahnya dengan tangan kecilnya. 

"Itu karena kamu cantik," celetuk Daniel yang menutupi gadis itu karena silau, dengan tubuhnya yang tinggi dan jaket yang terpasang bagaikan tenda. 

Jarak wajah mereka hanya beberapa senti. Daniel yang melihat sedikit ke bawah, dan gadis itu yang mengangkat kepalanya. Gadis itu berdebar. Tapi Daniel malah senyum tidak tahu malu. 

'Sial, dia manis sekali' batinnya. 

Suara klakson mobil membuyarkan pandangan mereka. Taksi yang dipesan gadis itu sudah datang tepat waktu. 

Gadis yang sudah duduk di kursi belakang itu, tampak bingung dengan Daniel. "Hey, kenapa diam saja?" tanya gadis itu dengan mengerutkan kening.

"Hah?" tanya Daniel kebingungan, menggaruk kepala yang tidak gatal. 

"Kita bisa telat. Cepatlah masuk," geram gadis itu.

"I-iya," tatap Daniel takut.

Daniel tak henti memandang. lalu, memalingkan wajah dengan cepat. Seperti itu. Berulang-ulang. 

"Kenapa menatapku terus? Ck, kamu sangat mengganggu," decak gadis itu. Dia menopang kaki ke kaki satunya lagi. Dengan tangan yang menyilang masuk.

"Aku hanya ingin tahu. Bagaimana kamu tahu nama aku?" tanya Daniel sambil meremas celananya takut. Lalu menatap gadis itu, seperti kucing yang lucu. 

"Kamu ini bodoh, ya? Jelas aku melihat ini," celetuk gadis itu. Sambil memegang papan nama yang menggantung  di seragam Daniel.

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya kembali Daniel.

"Ice lemon tea," tegas gadis itu dengan memutar bola matanya.

"Ah, iya. Gadis lemon tea," tatap Daniel dekat.

Bruuuughhhhhhh!!!!!

Di sela pembicaraan mereka, seorang pria bertubuh besar. Berbaju dan bertopeng hitam menyelinap masuk. Hanya terlihat kedipan mata yang berulang-ulang dan membawa benda tajam yang menyilaukan.

"Berhenti! Hey, jangan sakiti anak-anak," harap  suara supir itu. Dengan suara serak dan melemah. 

"DIAMLAH BODOH! CEPAT SERAHKAN MOBIL INI PADAKU," usir pria itu. Dengan pisau yang satu senti lagi akan menancap di dada supir.

"Daniel, kenapa kamu diam saja? Cepat lakukan sesuatu," bisik gadis itu dengan ransel yang di dekapnya. 

Daniel segera bergegas mengambil buku itu. Menulis sesuatu di sana. Dia yakin ini akan berhasil. Namun, tiba-tiba tusukan demi tusukan berhasil orang asing itu tancapkan. Menusuk rusuk sampai menepi ke paru-paru.  "Kyaaaaa," jerit supir itu tanda dia kesakitannya tiada ujung. 

"J-jangan sakiti anak-anak ku," pekik supir itu lagi. Sambil menarik penutup wajahnya. Semua yang ada dalam mobil itu dapat melihat jelas tampangnya sekarang. 

"Daniel, bukankah dia persis dengan yang ada di kertas itu?" Bisik gadis itu. Dengan menunjukan koran di saku mobil.

"Benar. Dia orangnya. Hey, panggil polisi dan ambulan sekarang," perintah Daniel.

Di tengah kesibukan gadis itu dengan telepon genggamnya, ada yang sedang berusaha menuliskan tinta di atas kertas putih. Menuliskan nama serta balasan yang akan menimpanya.

"HAAAHHH … SRKRAAAGHHHH … KRAAKSSHH … HAHHH … HAAAAHHH..." erang penjahat itu. Ia memegang dada dengan tangannya. Jelas sekali punggung tangan itu yang sudah diberikan lukisan merah merekah dengan pisau miliknya, oleh supir tadi. 

"Hah!! Daniel, apakah dia sesak nafas?" bisik gadis itu dengan mulut yang ditutup jari rapatnya.

"Iya, jangan berbisik lagi. Mungkin dia akan mati sekarang," jelas Daniel.

"Bagaimana kamu tahu?" berang gadis yang sedang sibuk mendobrak pintu mobil itu.

Daniel mengalihkan pembicaraan. Agar gadis itu tidak curiga. "Lihatlah. Polisi dan ambulan sudah datang" potongnya.

"Benar, cepat sekali mereka datang," ucap gadis itu merasa lega .

Sementara itu, polisi memerintah Daniel dan gadis itu untuk evakuasi terlebih dahulu dan memberikan penjelasan sebagai saksi di kantor polisi. Namun, mereka berdua meminta untuk diantar ke sekolah terlebih dahulu dan membantunya masuk sekolah yang sudah telat. Kedua aparat tersebut mengiyakan permintaan mereka.

***

Alunan suara yang serasi dari daun dan angin. Mereka pencipta suara paling merdu di saat siang maupun malam yang hening. Seperti dua orang di sana, menciptakan irama merdu dengan dua pasang sepatu yang menapak tanah. Apakah makhluk di dalam tanah bisa mendengar tapak indah mereka? Entahlah. 

"Hey, bukankah seharusnya kita lari?" tanya Daniel.

"Kamu saja, aku akan berjalan pelan," katanya dingin. Dengan pandangan lurus dan bahu yang tegap.

"Tapi, sekarang jam Guru killer. Kamu tidak takut?" kelakar laki-laki itu.

"Ah, kenapa harus hari ini sih" gadis itu mulai menalikan tali sepatunya.

"Kamu sedang apa?" tanya Daniel bingung.

Gadis itu pergi melangkahkan kakinya cepat. Tidak. Dia benar-benar berlari. Nafasnya terengah-engah. Dan jantungnya juga berdegup kencang. "Kamu benar-benar bodoh Daniel, kamu pikir aku mau berdansa. Hahaha," ejek gadis itu sambil meneruskan lompatan kecil namun cepat tersebut. 

"Kamu yang bodoh. Tidak ada Guru killer hari ini," gumam Daniel. Dengan wajah datar dan kesal karena sedari tadi, gadis itu hanya bisa mengejeknya. 

Dua orang masuk di siang bolong seperti ini. Namun, Guru tersebut sudah memberi penjelasan kepada semua murid di kelasnya, alasan mereka datang terlambat. Sebelum itu, Guru tersebut mempersilahkan murid baru untuk memperkenalkan diri di depan. Dan mempersilahkan Daniel duduk. 

"Halo, teman-teman. Perkenalkan, namaku Lily Watson. Aku pindahan dari Wandsworth. Senang bertemu dengan kalian," ucap gadis itu datar.

Orang-orang menatap senang melihatnya. Namun, tidak sedikit yang mencibir karena, tampangnya yang sedingin salju. Dingin. Namun, sangat menawan.

"Lily, kamu bisa duduk di sebelah Daniel, ya" perintah Bu Guru.

"Baik bu," jawabnya.

Laki-laki berkacamata kuno itu, melihat gadis di hadapannya dengan simpul senyumnya. "Hai, Lily" sapa Daniel-teman se bangkunya. 

"Kenapa?" ketus Lily.

"Apakah kamu marah soal tadi?" bisik Daniel dengan merapatkan kedua jarinya lalu membentuk benteng dan suara Daniel bergema di telinga Lily. 

"Iya, kamu tahu? Aku berkeringat sekarang! Huh, kenapa hari ini sial sekali," keluh Lily yang mengibas-ngibas pipi merah mudanya dengan jari panjang dan lentik. 

Daniel dan Lily yang baru mengenal satu sama lain, bagaikan teman lama atau bisa dikatakan seperti musuh lama. Mereka tidak berhenti bertengkar perihal jebakan yang mereka serap masing-masing. Namun, kegaduhan yang mereka buat dan kegaduhan yang lain lahirkan juga, terhenti. 

BRAAAKKK!! 

Seluruh siswa di kelas yang tengah asik bertukar pikiran, dari yang penting atau pun tidak. Mereka sama-sama menghentikan keaktifan saat itu juga. 

Deru nafas Bu Wendy terdengar jelas sampai bangku belakang, ia mengatakan sesuatu terbata-bata dan penuh kepanikan. 

"Anak-anak, ibu ingin kalian jujur!" perintah Bu Wendy intens.