Chereads / Nemesis Book / Chapter 5 - Lily, Where are you?

Chapter 5 - Lily, Where are you?

MEREKA menanyakan hal yang sama. Apa yang ingin Bu Wendy sampaikan. Sampai Gurunya itu terlihat panik. 

"Siapa yang menyalin soal ujian bahasa inggris? JAWAB!" teriaknya.

"Daniel, aku curiga pada perempuan sebelah sana. Bukankah dia mencurigakan? Dia tampak gugup dan menggigit kuku sedari tadi," cakap Lily, ia tidak berhenti menatap perempuan itu. Dia yakin, dia adalah pelakunya. 

"CEPAT MENGAKU! ATAU SAYA UMUMKAN SIAPA PELAKUNYA!" teriak Bu Wendy. Dia terlihat kesal. Namun, seperti sudah menduga pelakunya. "KENAPA DIAM SAJA?! KALIAN PIKIR SAYA BERCANDA?! baiklah, saya akan memanggil namanya sekarang," tegasnya.

"S-saya bu! Saya pelakunya," akunya, yang tadi dicurigai Lily. 

"Bukankah aku pintar, Daniel?" bisik Lily dengan senyum miringnya. 

"Ke ruangan saya sekarang!" perintah Bu Wendy.

"B-baik, bu," angguk perempuan itu.

"Lily, aku ke toilet dulu," pamit Daniel yang terlihat mencurigakan di mata Lily. 

'Hmm, mencurigakan. Apakah dia mau menguping?' gumam Lily. Dia melangkahkan kaki untuk beranjak keluar kelas. Jelas. Dia ingin ikut menguping.

"Daniel, apa yang kamu tulis?" tanya Lily curiga.

"Ah, i-ni b-bukan apa-apa," cakap Daniel ragu. Dia berbicara tersendat-sendat. Hal ini menambah kecurigaan Lily semakin kuat.

"Berikan itu padaku! Berikan!" paksa Lily. Ia menarik lengan Daniel paksa.

"Tidak, Lily. Ini bukan apa-apa," jawab Daniel sambil mempertahankan yang dia sembunyikan di belakang punggungnya. 

Dan...

Braaak.....

"KYAAA," jeritan remaja belasan tersebut mengalihkan fokus Lily. Dia berlari dengan yang lain. Semrawut seperti kawanan domba. 

Kumpulan sepasang mata saling menutup mata dan mulutnya. Matanya melebar melihat peristiwa bunuh diri. Gadis pencuri soal tadi memilih menjatuhkan seluruh hidupnya. Dia melompat dari lantai tujuh. Lompatan tersebut membuat banyak luka di sekujur tubuhnya. Terutama, darah yang mengalir deras bagaikan saluran pemancur yang siap mengisi kolam.

"Olin, ada apa ini?" pekau Lily. Dengan nafas terengah-engah. Dan menampakan sedikit keringat berkilau di dahinya.

"Lily, cepat dan lihatlah," ajak Olin-teman Lily yang berada di dekat jendela.

"Ha! Si-siapakah dia?" tanya gadis itu terbata-bata dengan pupil yang membesar. 

"Si pencuri soal tadi," celetuk Emely-teman Lily paling tomboy. Dia paling tenang dari pada siswa lain. Tidak menjerit ataupun berlarian.

"B-bagaimana bisa?" tanyanya lagi. Jantung Lily merasa terpental. Karena, ini hari pertamanya dan malah disuguhi hal semacam ini.

"Dia lebih memilih mati seperti itu, dari pada mati oleh ibunya, Laila. Lihatlah dia sudah menyerah," jawab Emely.

"Maksudmu?" tanya Lily kembali.

"Dia memiliki tuntutan keras dari ibunya, dituntut sempurna dalam segala hal. Ck, tidak ada yang seperti itu di dunia ini. Ibunya sudah gila, bukan? Semester kemarin, punggung dia lebam karena  peringkat kedua. Aku pikir, itu salah satu alasan dia mencuri soal seperti tadi," jawab Emely dengan menggertakan gigi.

"Padahal, dia selalu tersenyum saat pertama kali aku masuk. Bagaimana wajahnya tidak menunjukan beban apa-apa," ucap Lily dengan wajah muram.

"Apakah hidup dengan selalu tersenyum akan mudah?" tanya Olin.

"Entahlah," jawab Lily. Dengan pandangan kosong setelah mereka berbicara seperti itu.

Siswa tersebut, memilih mengakhiri hidup bersamaan bunga layu di sampingnya. Bunga yang setiap hari dia siram. Hidup dengan setia terhadap gadis itu. Memancar dan mati bersama. Dalam kerasnya hidup dia, tidak ada yang melunakkan hati untuk peduli. Sehingga, tidak ada lagi yang menarik perhatiannya untuk tetap hidup. Sementara itu, Bu Wendy ditahan untuk pemeriksaan. 

Seluruh siswa dan Guru pun, memberikan penghormatan terakhir. Tidak sedikit yang mengeluh kepanasan. Walaupun, mereka mengapungkan doa dan tetap melindungi diri masing-masing dari jahatnya surya dengan payung. Orang tuanya juga tidak berhenti menjerit. Menggeliak dan membuat matanya bengkak. Kepala sekolah memerintah seluruh siswa pulang, untuk memberikan ruang cerita orang tua kepada anaknya. Walaupun, anak tersebut tidak bisa mendengarnya lagi. Semua orang berpakaian hitam tersebut, melangkahkan kaki untuk pulang ke rumah yang berbeda dari siswa yang bunuh diri tersebut. Tapak sepatu yang menggema, tidak membangunkan gadis malang itu.

"Teman-teman, tunggu di sana. Aku ke toilet sebentar," kata Lily, dia berniat mencuci tangan dan ingin menemukan laki-laki itu.

SEEEET ... DUGHHH  ... BRAAAKK.

BUKKHH ... UWEKK ... BRUKKK.

ONE SHOOT … ONE KILL ...

Lily menyimpan niatnya saat ke toilet, dia terganggu dengan bisingnya suara pukulan. Lalu dia, menyembunyikan diri di tempat sempit dan gelap. Tidak lupa, memfokuskan asisten terbaiknya saat ini yang bertugas mengumpulkan suara.

"Heiy, buruk rupa! Kamu bawa rokoknya kan?" cibir perundung itu.

Tlaaaaaang!!!! 

Suara nyaring benda panjang yang menggelinding. Bol poin milik Daniel menggulingkan badan nya. Deru nafas kami terengah. Jelas. Mereka mendengar nya. Maka dari itu, Daniel menarik tubuh mungil Lily. Agar bisa menyembunyikan tubuh nya. Dan perundung itu tidak melihat nya. Mereka berjalan dengan merayap seperti kucing yang sudah mencuri ikan di pasar. Mereka berhasil kabur dari neraka itu. 

"Hey, Bodoh! Bagaimana bisa kamu menjatuhkan itu? Sial sekali! Aku belum mendengar semuanya," pekik gadis itu sambil mengacak rambut hitam kilau nya.

"Kenapa kamu di sini?" tanya Daniel panik, terlihat dari sorot mata nya, dia mengkhawatirkan gadis itu.

"A-aku berniat mencuci tangan," jawab Lily dengan terbata-bata. Jelas bukan hanya itu alasan nya.

"Lily, kenapa lama sekali? Aku sudah lama menunggumu," teriak Olin di lorong gelap.

"Olin, aku kesana sekarang," jawab Lily sambil menaikkan volume suaranya.

"Cepatlah, kita harus pulang bersama," sambung Emely.

"Hei, aku menaruh curiga padamu, Daniel. Akan aku tanya lagi besok," ancam Lily, dengan tatapan membunuh nya.

"A-apa yang kamu katakan? Curiga apa?" panik Daniel

*****

"Sampai jumpa, Lily," pamit dua gadis dengan perbedaan belasan senti tersebut.

"Sampai jumpa, teman-teman," jawab Lily. Yang  masih berkecamuk dengan pikiran nya. Dulu, dia ingin melakukan hal yang sama dengan gadis itu. Namun, dia mengurungkan niatnya. Karena dia ingin mengakhiri yang membuatnya terpuruk saat itu. Bukan benar-benar mengakhiri hidup.

Lily menaruh pikirannya tersebut. Dia memilih terus berjalan ke arah rumah nya.  Membelokan badan di gang gelap. Seseorang tampak mengikuti nya. Lily menyadari hal itu. Tapak sepatu bootsnya bergendang di telinga Lily. Benar, dia tidak salah. Ada seseorang yang mengikutinya. Lily membalikan tubuhnya kasar. Tidak ada apa-apa. Tidak ada seseorang di sana. Dia tetap berjalan ke depan dan mengepal ponsel dengan mode senter nya. Namun, suara tabrakan kain terdengar jelas sekarang. Lalu, Lily sengaja berhenti menalikan sepatu nya. Pura-pura. 

Dia mendongak ke atas dan..

Blukkkk!!!!

Gadis itu di sekap. Mata dan mulutnya di bebat kain apak. Tangannya di borgol. Namun, Lily seperti mengenal bau tubuh nya. Bau keringat tengik. Dan tercium kepulan asap rokok. Tangan besar mendorong tubuhnya itu. Ditendangnya tubuh mungil Lily. Sekali lagi, dia menendang punggung nya. Di paksa berlutut. Lily merasakan perih di bibir dan kening nya. Darah menetes ke permukaan tanah. Berharap, suara tetesan itu terdengar makhluk di bawah dan menolongnya saat ini. Ini gelap dan kelam. Lily sepertinya pasrah. Jika dia akan mati kedinginan di sini. Di kegelapan ini. Jantung Lily menggedor tendang memaksa. Pertanda dia tidak baik-baik saja. Dia sangat takut sekarang. Dia memang pasrah, tapi dia tetap berharap ada yang mau mengulurkan tangan dan bahunya untuk mengangkat gadis itu ke tempat yang lebih terang. 

"Tolong!" teriak lemas gadis itu. Akhirnya dia mau memunculkan suara nya. Walaupun, dia merasa itu adalah kata terakhir tidak berarti bagi nya. Setidaknya, dia tidak berakhir bisu. 

Brukk!! 

Seseorang menendang betis nya. Padahal, dia hanya meminta tolong dengan suara seperti berbisik. Siapa yang akan mendengarnya.

Lily diseret berputar-putar. Tanah lembab mengenai tubuh nya. Dan beberapa kali, kulit Lily seperti di sentuh dalam dengan duri. Alhasil, ukiran demi ukiran sudah menjamahi tubuh nya. Dia sadar betul, sepertinya dia sangat berantakan dan sedang di ujung kematian.

Tidak ada suara manusia. Selain... nyanyian cercit burung. 

Tslaaaaaaaaangggg!!!!!!!! Jraaaaasssssh!!!!!!!

Suara benda tajam seperti menancap sesuatu. Di saat tangan dan kaki Lily terikat. Dan matanya ditutup. Dia hanya mampu mendengar benda yang jatuh di depan nya. Lily kebingungan. Kenapa pohon besar itu tidak bersuara lagi. Ia merasakan sesuatu mengalir hangat ke arah nya. Bau amis. Ini seperti, darah segar. Tidak. Apakah dia mati? Kenapa dia tidak membualkan mulutnya seperti tadi? Demikian, obrolan dengan diri gadis itu. 

Gadis itu seperti akan memulai kembali hidup di akhirat. Di tengah keheningan, tiada yang membantunya satu orang pun. Kemudian, kepalanya semacam dikerumuni kunang-kunang. Dia merasakan sakit dikepalanya. Tiba-tiba mendengar suara keluarga nya. Melihat ayahnya membaca koran; ibunya memasak sup ayam; kakaknya yang akan berangkat bekerja. Namun, kenapa setelah mereka melakukan itu. Mereka melambaikan tangan dan berjalan menuju arah pintu yang sama. Meninggalkan Lily yang sedang memegang boneka. Tidak. Yang dipegang Lily sekarang adalah tanggung jawab. Yang dipikulnya itu adalah beban berat.

Gadis itu tersenyum simpul. Walaupun, dengan mata tertutup. Dia seakan melihat cahaya yang sama dengan keluarga nya. 

Dia tersenyum bersamaan air mata yang mengalir tanpa ijin. "Kalian, apakah aku bisa bergabung?" Ucapnya dengan suara yang lemah.

Lily merasakan mereka memeluknya hangat. Setelah sekian lama.

"Ibu, di sini dingin. Aku ingin pulang bersama kalian," ucap gadis itu dengan air mata yang menggenang. Berusaha memeluk tubuh nya. Namun, tangannya diikat dunia. Entah harus menyerah atau pasrah. Pada takdir yang membunuh sumber kebahagiaannya.