INA memancarkan seluruh senyumnya di pagi ini. Walaupun, akan redup berganti dengan kabut saat sore hari atau saat besok pagi. Tapi, sebagian manusia mengharapkan lembayung di banding kabut. Entahlah. Hujan ataupun panas. Itu hanya kebahagiaan sesaat. Terkadang, matahari tetap tersenyum saat kita berenang dengan air mata. Hujan juga tidak selalu berhenti, saat kita sedang bahagia. Daniel juga sama. Dia laki-laki tangguh yang pernah ada. Dia memaksa berjalan di atas pecahan kaca. Beberapa kali mengeluh namun, memaksa berjalan pelan atau bahkan berlari. Terluka? Dia mampu mengobatinya. Walaupun di suatu hari nanti, luka tersebut merekah membuka sedikit luka yang pernah dia obati sebelumnya.
Di tengah terik matahari. Dan berisiknya seisi makhluk kelas. Ada yang lebih menarik perhatian dan membangunkan lamunan Daniel. Enam orang perundung saling menyakiti tubuh satu sama lain. Mereka saling menempelkan penglurus panas itu ke bagian tubuh teman-temannya.
"Agnes! Apa yang kamu lakukan?" bentak Mona-teman Agnes.
"Maaf, aku tidak sengaja," jawab Agnes santai. Sambil terus menerus meluruskan rambutnya tersebut. Dia hanya peduli dengan penampilannya saja.
"Maaf? Kulit ku mengelupas, AGNES! Dengarkan aku!" bentaknya sekali lagi memperlihatkan mata yang berkobar api. Dan juga ledakan amarah yang terperangkap di dadanya.
"Berhentilah mengoceh, Mona. Kamu tidak apa-apa," kesal Agnes. Lalu, memutar bola matanya.
"Ada apa ini? Kenapa kalian meributkan hal tidak penting?" ujar Ron-teman satu rumpun mereka. Dia tampak menyelip pembicaraan dua gadis itu. Dengan tangan yang dimasukkan di saku celana.
"Lihat ini, Agnes! Aku akan melakukan hal yang sama di wajahmu!" ucap Mona yang berniat melukai Agnes di lengannya.
Mona melayangkan penglurus rambut tersebut. Namun, tiba-tiba tangannya bergerak sendiri. Dengan menempelkan penglurus rambut di mata sipit sang penerus sekolah ini. Ron berjalan membalas dengan mata api yang menyala. Berniat membalas kembali di wajah Mona. Namun, tangannya bergerak mendarat di wajah yang seharusnya bukan wajah Tom lah targetnya. Ini benar-benar aneh. Membingungkan sekaligus menyeramkan. Orang-orang mulai berbicara bahwa mereka sangat kompak dalam hal melukai satu sama lain. Mereka menempelkan penglurus rambut tersebut ke wajah yang bahkan bukan dia lah yang melukainya.
Enam sekawan tersebut tidak saling menghentikan aksinya. Akibat yang mereka rasakan yaitu, kulitnya mengelupas. Mulai terasa perih dan panas. Jaringan kulitnya sudah mulai tidak sempurna. Bahkan, epidermis mereka mulai lembek dan meleleh. Sehingga, memperlihatkan daging dan darah yang jelas. Sepertinya, pembuluh darah mereka mulai rusak di beberapa titik sekarang. Tidak ada siswa yang berani melerai. Mereka terlihat menjijikan dan menakutkan dari biasanya.
"Apa mereka mulai gila? Kenapa bertingkah aneh? " bisik beberapa siswa yang melihat langsung aksi mereka.
"Apakah mereka gagal berakrobat?" sindirnya salah satu siswa.
"Ssst. Diamlah," bisik temannya.
Sedangkan di ujung sana, seorang lelaki yang sedang sibuk menggigit-gigit kukunya. Dan menghentakan kakinya dengan perasaan bingung. Merasa bersalah. Takut dan sedikit ... SENANG?
Praaaaaaaang!!!
Suara tabrakan suatu benda di kelasnya mengejutkan seisi kelas.
"Apa yang kalian lakukan? BERHENTI!" teriak Pa Hendrick-Guru wali kelas.
Tiba-tiba, suara Pak Hendrick membuat aksi keenam orang tersebut berhenti. Mereka nampak kebingungan. Saling melempar isyarat mata tentang apa yang sudah terjadi. Saling menular jeritan demi jeritan. Karena, kulit mereka yang tiba-tiba perih. Tubuh mereka bergetar hebat. Menjatuhkan diri. Bahkan semaput.
Ketika seluruh kelas ikut mengisi irama jeritan tanda ketakutan, hanya satu orang yang terlihat biasa. Tidak peduli. Dan mencurigakan. Dia adalah Daniel. Tidak ada yang curiga terhadapnya. Sehingga, mereka dilarikan ke rumah sakit secepatnya. Seluruh Guru nampak iba dan khawatir. Padahal, mereka hanya takut dilengserkan.
Pak Hendrick memerintah semua siswa untuk tetap diam. Dan menunggu bel pulang yang sebentar lagi akan menggema merasuki pendengaran semua siswa. Sedangkan, Daniel masih bergelut dengan pikiran dan kalbunya. Dia merasa sedikit bersalah dan di hantui rasa takut.
"Apakah ini ulah ku? Apakah karena buku yang kemarin? Aku sempat tidak percaya. Namun, kejadian hari ini sangat mirip yang aku tulis di buku. Apakah mereka akan mati?" desisnya dengan wajah yang menegang. Menggigit keras bibir bawahnya. Sehingga, menampakan sel darah merah yang akan membludak keluar.
"Tidak! ini bukan perbuatanku. Ini perbuatan mereka yang tidak mau terluka dan jelek sendiri," bisik Daniel di dalam hatinya sambil berjalan lebih cepat. Dia percaya ini kebetulan. Namun, dia tetap dilanda gundah gulana.
Untuk menenangkan pikirannya, dia berniat untuk meminum sesuatu di sebuah Cafe. Daniel berlari dan memasuki salah satu Cafe dekat rumahnya. Dia memesan ice lemon tea kesukaannya. Selain harganya relatif miring, dia juga tidak bosan dengan rasa yang disajikan Cafe tersebut. Untuk menghempas kebosanan, Daniel tampak menekan sebuah video yang tersebar luas di twitter. Dia melihat berita seorang Dokter ahli dalam, melakukan praktik ilegal terhadap pasien usia lanjut. Daniel tampak bergidik ngeri dan kesal. Tidak sedikit juga umpatan yang dihamburkan. Tanpa Daniel sadari, seorang perempuan cantik dengan rambut sebahu sudah duduk di sebelahnya sedari tadi. Dia juga ikut menonton berita itu. Daniel menoleh hati-hati ke arah kanan. Karena, tiba-tiba merasakan hembusan nafas di sekitar lehernya. Dia menoleh pelan-pelan. Dan... pertemuan yang sangat sempurna. Wajah mereka bertemu yang sedikit lagi akan menabrak. Hampir saja dua pasang bibir mereka menempel. Daniel menahan nafas dan tidak lupa dengan telinga yang berubah warna seperti bunglon. Sementara, gadis itu menatapnya tajam.
"Ice lemon tea," celetuk gadis itu. Daniel memalingkan pandangan. Wajahnya semerah kepiting rebus.
"Bolehkah, minuman itu untukku?" celetuknya lagi gadis berbaju hitam dengan rok selutut.
"B-boleh" jawab Daniel dengan tampang mematung kaku. Dia membelakangi gadis itu. Karena tidak ingin melihatnya lagi. Atau akan berdebar seperti tadi.
Gadis itu meminumnya dengan satu tegukkan. Dia seperti dewi dari nabastala yang dijatuhkan ke bumi hanya untuk meneguk air buatan manusia.
"Terima kasih," ucapnya dengan tatapan seperti pemburu serigala.
Gadis itu pergi tanpa merasa bersalah. Dia benar-benar menarik. Sampai Daniel tidak berhenti memandanginya tanpa satu kedipan. Punggung mungil itu mulai memudar dan laki-laki berkulit putih itu tersenyum tipis.
Dia beranjak pulang ke rumah dengan wajah yang cerah. Melihat gadis tadi, serasa membebaskan diri dari rasa lelah. Tanpa disadari, lamunannya tidak kunjung hilang saat belajar dengan tutor pun.
"Daniel! Daniel!" tepuk tutornya itu.
"Ah, i-iya ada apa?" panik Daniel.
"Ayo, belajar," kata tutor-Rachel.
Dia merupakan tutor belajarnya. Yang dikirim minggu lalu oleh seorang pria paruh baya baik hati. Pria paruh baya tersebut menawarkan tutor belajar gratis kepadanya. Dan Daniel pun menerima tawaran tersebut. Rachel tampak seperti seorang kakak bagi Daniel. Saling melempar cerita kehidupan yang sekusut benang. Dan saling mengapungkan harapan ke atas langit. Memiliki cara menghibur yang sama. Yaitu, membaca komik.
"Bagaimana, Daniel? Apakah masih sulit?" tanya Rachel dengan menunjuk soal yang selalu dia bilang sulit.
"Ah, iya kak," jawab Daniel sambil menggosok-gosok lehernya.
Drrt … Drrt ...
Sepasang tangan Rachel yang tadinya akan membantu Daniel, terganggu dengan deringan yang berbunyi dari telepon sang tutor tersebut. Kemudian, dia mengangkatnya dan berbicara di pojok kamar Daniel.
"Daniel, aku minta maaf. Kakek memanggil untuk segera pulang. Sepertinya dia butuh bantuan," ucap tutor itu dan bergegas pergi.
Sementara Daniel. Berdiri seorang diri. Dengan wajah yang nampak kebingungan. Dia tidak sempat mengucapkan beberapa patah kata. Karena, tutor itu berlari lebih cepat. Dia sepertinya bisa mengalahkan Usain Bolt dengan kecepatan seperti itu.