Marissa kembali merasakan perihnya. Rumah kenangannya bersama Mama Angel ingin dirampas begitu saja dari kehidupannya. Echa ingin rasanya berteriak.
Sekitar pukul 17.15, Pak Fero akhirnya pulang ke rumah. Ia melihat pintu rumah terbuka. Karena khawatir dengan keadaan kedua putrinya, Fero berteriak memanggil Marissa, si putri sulung.
"Echa, Echa, kamu di mana?" teriak Fero.
Terlihat Echa terduduk di sudut kamarnya sedang menangis tersedu, membuat Fero keheranan. Apa yang sebenarnya terjadi.
"Echa, kamu kenapa?" tanya Fero saat menghampiri sang putri yang langsung memeluknya. Tangis Marissa semakin keras dan pecah.
"Echa, kamu kenapa? Coba, jelaskan sama Ayah" ucap Fero.
Setelah cukup tenang, Marissa pun mulai bercerita apa yang terjadi sebenarnya. Hatinya tak rela, rumah yang begitu menyimpan banyak kenangan akan Mama Angel, justru harus direnggut begitu saja. Tangis Marissa pun pecah.
"Echa, tenang. Echa sekarang jaga adik ya. Ayah akan temui Nenek kamu. Ayah janji, Ayah akan berusaha membujuk Nenek agar tidak menjual rumah ini," ujar Fero pada putri sulungnya itu. Marissa pun mengangguk.
Setelah berganti pakaian, Fero pun langsung bergegas menemui kedua orang tua Angel itu.Meninggalkan kedua putrinya hanya berdua di rumahnya.
Setelah menempuh perjalanan hampir 2 jam, mobil yang dikendarainya pun sampai di area rumah Nyonya Frederica. Wanita yang begitu haus harta, arogan dan selalu melakukan apapun demi mewujudkan impiannya.
Langkah Fero terhenti. Ia mulai ragu. Bukannya tidak berani, ia tahu betul bagaimana karakter kedua orang tua Angel yang sangat keras itu.
"Bismillah. Aku harus bisa. Semua demi Marissa dan Lara," gumam Fero. Ia pun melanjutkan perjalanan hingga memasuki teras rumah Nyonya Frederica.
Setelah memarkirkan kendaraannya, Fero langsung masuk ke dalam rumah sang mertua yang terbuka.
"Fero, ngapain kamu ke sini?" tanya Nyonya Frederica ketus saat melihat menantunya itu memasuki ruang tamu dengan langkah tergesa.
"Ma, apa maksud Mama bilang ke Echa kalau ingin menjual rumah?" cecar Fero.
"Iya. Mama emang mau menjual rumah yang kalian tinggali itu. Mama berhak menjualnya, karena itu Angel yang beli kan? Kamu itu mana bisa membeli rumah, untuk mencukupi istri dan anak kamu aja, Angel yang membantu, apalagi beli rumah," sindir Nyonya Frederica sinis.
"Ma, kok Mama bicara gitu? Aku selama ini selalu berusaha membahagiakan Angel, dia bahagia kok sama aku, Ma," ucap Fero membela diri.
"Gara-gara kamu, saya kehilangan putri saya satu-satunya. Kalau aja Angel tidak menikah dengan kamu, hidupnya tidak akan sengsara. Dia nggak mungkin pendarahan gara-gara melahirkan anakmu yang pembawa sial itu," hardik Nyonya Frederica.
Bagi Nyonya Frederica, kematian putri tercintanya itu karena Lara Anjani yang dianggapnya anak pembawa sial. Menikah dengan Fero yang hanya karyawan swasta biasa, dianggap sebuah kesalahan.
"Tapi, Ma. Kasihan Marissa. Rumah itu punya kenangan banyak tentang Mamanya. Dia menangis Ma, saat tahu rumah Mamanya itu mau dijual," ucap Fero. Ia berharap, mantan mertuanya itu mau lembut hatinya.
"Tidak!"
"Demi Marissa, Ma. Tolong, jangan jual rumah itu, Ma," pinta Fero memelas.
"Mama tetap akan menjual rumah itu karena itu milik Angel. Jika Mama nggak menjualnya, kamu harus keluar dari rumah itu. Jika Marissa mau di sana, silakan. Tapi, bukan kamu apalagi anak sialan itu," pekik Nyonya Frederica.
"Tapi, Ma ...."
"Sudah. Jangan buang waktu Mama bicara sama kamu. Keputusan Mama sudah jelas. Mama akan mengambil alih rumah itu dan segera angkat kaki!" pekik Nyonya Frederica.
"Kamu masih ingat kan pintu keluarnya di mana?" ucap Nyonya Frederica lantang.
Fero pun dipaksa keluar dari rumah itu dan pergi membawa kesedihan. Fero tidak berhasil membujuk Nenek Marissa dan Lara itu agar tidak menjual rumah peninggalan Angel.
"Apa yang harus kukatakan pada Marissa?" batin Fero. Fero merasa sudah gagal membahagiakan putrinya itu.
"Maafin Ayah, Marissa ...."
...
Fero kini sudah berada tidak jauh dari rumahnya. Ia menghentikan laju kendaraannya dan berhenti sejenak.
"Ya Allah, apa yang harus kukatakan pada Echa? Baru aja dia kehilangan Mamanya, sekarang harus kehilangan rumah ini. Rumah di mana banyak kenangannya bersama Mamanya," ucap lirih Fero.
Fero akhirnya melanjutkan perjalanannya ke rumah. Ia akhirnya memberanikan dirinya, menguatkan hatinya mengatakan hal yang mungkin menyakiti hatinya.
"Yah, Ayah udah bicara sama Nenek? Gimana, rumah ini nggak jadi dijual kan, Yah?" cecar Marissa saat menyambut kedatangan sang Ayah.
"Ya Rabb, kuatkan hatiku," batin Fero.
Fero akhirnya mengajak anak sulungnya itu masuk ke dalam kamarnya. Echa pun duduk di tepi ranjang bersama sang Ayah dan mulai terjadi percakapan di antara keduanya.
"Echa, kita harus mulai mengemaskan barang ya mulai besok, Nak. Kita harus keluar dari rumah ini. Nenek tetap mau menjual rumah ini. Maafkan Ayah ya, Ayah nggak bisa membujuk Nenek untuk tidak menjual rumah ini," ucap Fero dengan suara lirih,ia menunduk.
"Nggak. Echa nggak mau keluar dari sini, Yah. Ini rumah Mama, Echa mau tetap tinggal di sini," teriak Marissa gadis cilik berusia 11 tahun yang masih syok kehilangan Mamanya.
"Sabar, Nak. Kita harus ikhlasin. Ayah nggak bisa berbuat apa-apa lagi. Maafin Ayah ya, nggak bisa menghalangi Nenek. Dia berhak, karena ini rumah Mama kamu. Bukan punya Ayah ...." ucap Fero berusaha melembutkan hati sang putri.
"Ayah jahat, Ayah jahat. Aku benci sama Ayah ...." jerit Marissa, ia berlari keluar kamarnya dan keluar rumah.
Fero pun dengan sigap menarik tangan Marissa Ia membawa sang putri masuk ke dalam kamar dan menguncinya.
"Maafkan Ayah, Nak. Ayah tidak mau kehilangan kamu. Hanya kamu dan Lara harta yang Ayah punya sekarang," ucap Fero lirih.
Terdengar suara Marissa menangis pilu di dalam kamarnya. Fero pun hanya bisa terduduk lemas di balik pintu kamar putrinya itu. Ingin rasanya berbuat sesuatu, tetapi ia tahu bagaimana kerasnya Nyonya Frederica.
"Maafkan Ayah, Marissa ...."
......
Hari ini, hari terakhir Marissa tinggal di rumah mewah ini bersama sang Ayah dan adik kecilnya, Lara. Keputusan sang Nenek membuatnya ia harus keluar dari rumah yang punya banyak kenangan bersama Mamanya. Mama Angel yang sudah pergi selamanya saat melahirkan sang adik.
"Ma, nanti kalau Echa kangen, harus gimana?" batin Marissa. Bulir bening itu membasahi pipinya.
"Echa, kita berangkat sekarang ya," ajak Fero yang sudah siap mengajak kedua anaknya masuk ke dalam pickup.
"Tunggu, Yah, Echa ...." kata Marissa menangis pilu.
"Maafkan Ayah, Nak. Ayah tahu, kamu berat meninggalkan rumah ini. Tapi, kita nggak ada pilihan lain. Ya Rabb, kuatkan aku untuk membesarkan anak-anakku."
"Aku bersumpah, akan aku buktikan, tanpa dia, anak-anakku bisa hidup bahagia dan sukses!" batin Fero yang sakit hati atas penghinaan mantan mertuanya.
"Ayo, Nak."
Dengan langkah yang terasa berat, Echa akhirnya melangkahkan kakinya beranjak dari teras rumah dan menaiki mobil yang sudah disewa Fero untuk pergi ke rumah baru mereka.
Baru saja hendak melangkah naik ke atas mobil, sebuah sedan mewah masuk ke pekarangan rumah Angel itu. Ternyata Nyonya Frederica yang turun dari mobil.
"Marissa, Cha, kamu tinggal di sini aja ya. Sama Nenek, mau nggak?" bujuk Nyonya Frederica.
Adzania menggeleng
"Echa, kalau kamu tinggal sama Nenek, kamu bisa pergi ke mana saja. Mau beli apa saja. Di sini, kamu bisa hidup senang. Jangan mau hidup miskin sama Ayahmu yang tidak berguna itu," sindir Nyonya Frederica menatap sinis ke arah Fero, mantan menantunya.
"Cukup ya, Nyonya Frederica yang terhormat. Anda nggak berhak menghina saya lagi. Di antara kita sudah tidak ada hubungan apapun!" pekik Fero yang sudah gerah karena penghinaan Nenek kedua anaknya itu.
"Echa, Echa, mau kan ikut tinggal sama Nenek?" tanya Nyonya Frederica sekali lagi.
Marissa tetap menggeleng
"Ayo, Echa, kita pergi."
Setelah Fero dan Marissa naik ke atas mobil, sang supir pun langsung membawa kendaraannya meninggalkan rumah mewah Angel itu. Terlihat, Nyonya Frederica juga sedih harus berpisah dari Marissa, cucu pertamanya.
"Angel, maafkan aku. Aku harus meninggalkan rumah kita. Rumah yang kita bangun atas cinta. Maafkan aku, Angel ...."
"Mama, maafin Echa ya. Echa harus pergi. Nenek jahat. Nenek udah ngusir Echa sama Ayah dan Lara dari rumah kita. Maafin Echa ya, Ma."
"Kalau Echa kangen sama Mama, kangen sama semua kenangan indah kita, Echa harus gimana? Echa harus ke mana, Ma ...."
"Ya Allah, kenapa harus Echa yang merasakan semua ini?"
bersambung ....