Mobil yang disewa Fero akhirnya sampai di depan rumah kontrakannya yang baru. Rumah yang sederhana. Jauh dari kesan mewah.
Paling tidak, saat ini ia bisa berdiri di atas kakinya sendiri, memberikan kenyamanan bagi kedua permata yang ditinggalkan Angel. Harta yang begitu berharga, yang harus dijaga dengan baik.
Fero akhirnya turun dari mobil pickup itu. Membantu Marissa turun dan akhirnya mengambil Lara, bayi yang sejak tadi menangis sepanjang perjalanan.
Setelah menaruh Lara di dalam kamar, Fero kembali ke luar rumah untuk membantu supir menurunkan semua barang-barangnya.
"Makasih ya, Pak," ujar Fero saat memberikan sejumlah uang untuk membayar uang sewa mobil.
Setelah mobil itu pergi, Fero pun kembali ke dalam rumah dan mengunci pintu karena waktu pun semakin beranjak malam. Tidak baik jika Marissa keluar apalagi di tempat baru yang belum diketahui keadaannya.
"Cha, bantu Ayah buat jaga Lara dulu ya. Ayah siapin buat kalian tidur dulu," pinta Fero pada putri sulungnya itu.
"Iya, Yah."
........
Hari berjalan begitu cepat. Marissa gadis cilik itu kini sudah berusia 14 tahun. Ia tumbuh menjadi sosok anak yang mandiri. Anak hebat.
Seorang Kakak yang begitu menyayangi adik satu-satunya. Lara pun sudah semakin besar. Ia pun sangat dekat dengan Kakaknya. Maklum saja, hanya sang Kakak dan Ayahnya yang dia punya.
Suatu malam, Fero pulang ke rumah dengan wajah sedih dan murung. Hatinya pun mulai dilanda kekhawatiran. Saat ia memasuki rumah, Membayangkan wajah anak-anaknya yang tidak berdosa.
"Yah, kok telat pulangnya?" sapa Echa saat Ayahnya memasuki rumah dengan wajah sedih.
"Ayah capek ya? Duduk dulu, Yah. Echa buatin Teh dulu ya," ujar Marissa, si sulung yang dewasa karena keadaan.
Tidak lama berselang, Echa datang membawa secangkir teh hangat untuk Ayahnya Tetap tidak banyak bicara. Entah apa yang sedang dipikirkannya.
"Yah, Ayah kenapa?" tanya Echa.
"Ayah nggak apa-apa, Cha. Adikmu ke mana?" tanya Pak Fero.
"Lara udah tidur. Kasihan tadi dia nangis nungguin Ayah," sahut Echa.
Fero kembali terdiam. Sejenak ia berpikir, apakah ia harus jujur tentang semuanya?Ataukah dia harus mengungkapkan semuanya.
"Echa, Ayah sudah diberhentikan. Kena PHK karena pengurangan karyawan. Mulai besok, Ayah udah nggak kerja lagi," terang Fero pada putri sulungnya itu.
"Terus gimana Yah? Soal biaya hidup kita ke depannya?" tanya Echa polos.
Fero terdiam. Ingin rasanya menangis. Namun, ia harus kuat demi kedua putrinya. Fero pun mencoba meyakinkan putri sulungnya itu semua akan baik-baik saja.
"Kamu tenang aja. Insya Allah Ayah masih ada tabungan yang cukup sampai Ayah bisa dapat kerja lagi. Doain ya biar Ayah bisa cepat dapat pekerjaan lagi," ucap Fero.
Fero pun meminta putrinya itu segera beristirahat. Ia pun masuk ke dalam kamarnya setelah mengunci pintu dan semua jendela.
Hari terus berjalan. Fero belum juga mendapatkan pekerjaan baru. Di usianya yang tidak lagi muda, sulit baginya mendapat pekerjaan.
Hingga suatu hari, saat sedang mencari lowongan pekerjaan, Fero melihat sebuah berita di majalah yang sedang dilihatnya ada sebuah ajang pemilihan model majalah.
Fero yang melihat bakat terpendam pada Echa akhirnya mencoba membujuk sang putri untuk mengikuti lomba itu.Namun, dengan tegas Echa menolaknya. Ia ingin tetap bersekolah dan tidak tertarik dunia keartisan atau modelling.
"Nggak, Yah. Echa nggak mau. Echa cuma mau sekolah. Echa malu, Yah," jawab Echa saat sang Ayah memintanya mengikuti lomba itu.
"Tapi, Echa wajah kamu cantik dan kamu berbakat. Sayang, Nak, jika bakat yang kamu miliki tidak kamu asah dan pergunakan dengan baik," bujuk sang Ayah.
"Echa nggak mau. Echa pokoknya nggak mau, titik!" teriak Echa. Gadis remaja itu langsung lari masuk ke dalam kamarnya.
"Echa, buka pintunya. Ayah mau ngomong, Nak. Tolong Echa, bantu Ayah," ujar Fero berteriak dan mengetuk pintu kamar Marissa.
"Echa nggak mau ...." jerit sang putri dari dalam kamarnya.
Fero akhirnya menyerah. Malam ini semua usahanya berakhir sia-sia saja. Echa tetap menolak dan tidak ingin mengikuti keinginannya.
Beberapa hari berlalu.
Marissa terus dibujuk agar mau membantu Fero untuk mengikuti lomba itu dan mengikuti kursus modelling dan semua yang menunjang pekerjaannya nanti.
"Echa, tolong Ayah. Kamu mau kan ikut lomba cover majalah itu?" tanya Pak Fero sekali lagi.
Awalnya Echa hanya terdiam. Namun, entah apa yang ada di pikirannya hingga akhirnya Echa mau mengikuti keinginan Ayahnya itu.
"Iya, Yah. Aku mau," ucapnya mengangguk.
Sejak saat itu, waktu Marissa dihabiskan untuk menjalankan berbagai pelatihan-pelatihan modeling dan semua hal yang menunjang.
Hingga akhirnya Echa pun menjalani semua proses penyeleksian ajang pemilihan cover majalah hingga usai. Malam ini, adalah malam penentuan siapakah juara sesungguhnya.
Pak Fero datang dengan membawa si kecil Lara. Ia yakin, jika putrinya itu akan jadi sang pemenang. Di usianya yang masih belia, memiliki wajah yang cantik membuat Marissa banyak disukai. Bahkan beberapa produser sudah menghubungi Fero untuk mengajak sebuah kerjasama.
"Juaranya adalah ... Marissa ...."
Suara tepuk riuh para hadirin malam itu membuat Fero tersenyum bangga. Hari ini, ia dapat membuktikan pada mantan mertuanya, jika tanpa keluarga mereka yang kaya raya,. Fero dapat membuktikan jika ia bisa menghidupi kedua anaknya.
----------
Semua begitu menyanjung Marissa. Bintang muda baru yang digandrungi karena kecantikannya. Keramahannya. Sikap ceria Marissa menjadi seorang bintang baru yang disukai banyak orang. Banyak tawaran datang padanya. Mulai dari peran utama sebuah FTV, bintang iklan hingga presenter sebuah acara.
Dua bulan berlalu
Marissa mulai merasakan kejenuhan. Sebagai gadis remaja biasa, ia ingin hidup normal layaknya teman-temannya. Sekolah. Hangout dengan teman-teman, semua hal yang dirindukannya.
Sejak memenangi ajang pemilihan cover itu, tidak ada henti-hentinya tawaran itu berdatangan dan sang Ayah selalu menerima karena bayarannya sebagai pendatang baru cukup besar.
Kejenuhan itu melanda. Marissa mulai berontak. Ia tidak mau menjalani kontrak yang sudah disepakati.
"Echa, kamu harus berangkat ke lokasi. Kenapa masih belum siap sih?" pekik Fero pagi itu.
"Aku capek, Yah."
"Cha, kamu enggak bisa gini dong. Kita kan sudah menandatangani kontrak. Kalau kamu nggak syuting, kita bisa kena sangsi," cecar sang Ayah.
"Nggak, aku nggak mau, Yah. Aku capek," teriak Echa. Ia sudah benar-benar lelah dan jenuh dengan berbagai sekolah modelling yang dijalaninya. Belum lagi padatnya jadwal syuting.
"Yah, gimana sih. Echa itu nggak mau syuting. Echa mau main sama teman-teman. Echa juga butuh hiburan, Yah," gerutu Marissa.
"Nggak bisa gitu dong, Echa. Kamu harus bersikap profesional. Jangan seperti ini. Ayolah, kita syuting ya. Ayah janji, setelah semuanya selesai, kita langsung jalan-jalan.Gimana?" bujuk sang Ayah.
"Nggak, Echa capek!" jeritnya.
Marissa pun langsung mengambil tasnya dan pergi begitu saja dengan membawa sepeda motornya.
"Echa, Cha, Marissa ...."
Fero pun dibuat kelabakan. Bahkan suara teleponnya terus berdering dari orang di lokasi. Fero pun bingung harus berbuat apalagi. Apa yang harus ia jadikan alasan.
[Hallo, Fero. Gimana sih, kok jam segini belum datang ke lokasi? Mana si Marissa?]
Lucky, seorang asisten sutradara yang sudah siap pun dibuat meradang ketika mengetahui jika hari itu Echa tidak bisa datang ke lokasi. Alasannya sakit.
[Ah, yang benar aja. Masa sih, gue harus cancel syuting cuma karena pemain baru yang kagak professional. Shit!]
Mas Lucky pun langsung mematikan ponselnya setelah ia memaki Ayah Marissa itu. Fero pun hanya diam tanpa berani berkata apapun.
"Echa ...."
Marissa yang sudah bosan hari itu berjalan mengelilingi ibukota. Menggunakan kacamata dan topi juga jaket kebanggaannya, memudahkan penyamarannya. Ia berharap, tidak ada orang yang mengenalinya.
"Echa? Itu Marissa yang artis FTV itu kan?" celetuk seorang wanita muda yang berbisik dengan temannya saat melihat Marissa yang baru saja masuk ke sebuah resto siap saji.
"Ih, kenapa masih dikenali juga sih?" gumam Echa dalam hatinya.
Marissa tidak dapat mengelak. Ia mencoba tersenyum walau dalam hatinya kesal. Bukan karena fans-fansnya mengajak berfoto bersama, tapi karena ia merasa tidak bisa bebas bergerak seperti dulu. Setelah melayani para fansnya, Echa pun langsung meninggalkan resto siap saji itu.
"Echa pengen hidup Echa yang dulu. Pengen bahagia kumpul sama teman-teman. Echa nggak mau syuting. Echa capek. Kenapa sih, Ayah selalu memaksa Echa?"
"Echa capek, Yah ...."
bersambung .....