Di sana, Ega tengah menyaksikan Egy dan Raizel sedari awal hingga mereka memasuki rumah, Ega masih tetap diam mengamati kedua remaja itu.
Mereka kembali berjalan menyusuri tangga menuju kamar, tapi saat itu Egy sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun.
Padahal, biasanya Egy selalu berisik, meskipun dalam kondisi berjalan pun Ia akan tetap mengeluarkan suara, seperti menyanyi kecil atau bercerita tentang hal yang baru saja dialaminya.
Raizel memandangi pungung Egy, dirinya yang mamang, hanya menebak-nebak apakah Egy tahu atau tidak rahasia yang dijaganya dari dulu.
Sesampainya di depan pintu, Egy membuka pintu kamarnya,
Lalu ia menyuruh Raizel untuk duduk di kasurnya.
"Rai ... sini lo duduk."
Raizel pun duduk, menuruti Egy.
"Bantu gue pasangin plester."
Egy berjalan meraih kotak P3K yang disimpan di atas lemari bajunya.
Di dalam kotak itu, sudah jelas ada perlengkapan kesehatan pribadinya.
Namun, Ia hanya mengambil beberapa plester untuk menutupi lukanya.
"Ayo bantuin pasang." Pintanya pada Raizel sembari memberikan plester yang baru saja dia ambil.
Pecahan kaca dan vas yang dibersihkannya tadi, membuat banyak sekali goresan luka di tangan Egy.
"Banyak banget goresan luka di tangan lo, Gy," tanya Raizel, sedikit linu melihatnya.
"Iya makanya bantu pasangin plesternya, cepet!" timpal Egy.
Lantas Raizel pun membantu memasangkan plester untuk menutupi luka Egy.
Egy masih berusaha menahan diri untuk tidak bertanya, tentang perkataan Raizel yang Ia dengar Di halaman belakang rumah barusan.
Tetapi, Egy yang sudah tidak tahan lagi membendung rasa keingintahuan, memutuskan tetap bertanya pada Raizel.
"Rai ...?" panggil Egy, sembari menatap wajah Raizel.
"Hemm ...." Raizel menjawab dengan berdeham tanpa melihat pada Egy, dirinya sedang fokus menutupi luka pada tangan Egy.
"Ngomong-ngomong nyokap lo barusan telfon nanyain apa?"
Egy sengaja memancing Raizel, Ia ingin tahu bagaimana Raizel akan menjawab semua pertanyaan yang sudah dirancangnya.
Dengan tangannya yang masih memasang plester di jari Egy, Raizel menjawab.
"Nanyain kenapa nggak pulang?" dalih Raizel.
Egy benar-benar gemas kepada Raizel, sungguh Egy mengakui bahwa Raizel tidak pandai berbohong.
Karena, bisa-bisanya Raizel mengatakan telponan dengan Ibunya, sedangkan ponselnya saja, terpampang jelas di atas meja samping kasur Egy sedari tadi.
"Terus ... kenapa baju lo kotor?" Egy sengaja menanyakan hal yang sama seperti sebelumnya.
"Gue, 'kan udah bilang ini kena tanah." Namun, jawaban Raizel juga tetap sama.
"Kenapa bisa kena tanah"? Egy terus saja memberikan pertanyaan, sampai Raizel kebingungan untuk menjelaskannya lagi.
"Tadi karena gue gabut pas telponan, gue mainan tanah yang ada di pot gantung bunga anggrek nyokap lo," jawab Raizel searangnya.
Ketika Raizel selesai membantu Egy memasang plester. Ketika itu juga kesabaran Egy sudah habis, dia tidak bisa lagi, untuk menunda-nunda pertanyaan yang memang ingin dia tanyakan pada Raizel.
"Rai ... lo bohong, 'kan?" tanya Egy memulai pertanyaan serius.
Kini Raizel benar-benar terperanjat oleh pertanyaan Egy yang perlahan membuktikan bahwa temannya itu tahu dirinya berbohong .
Mata Raizel, memandang nanar wajah Egy.
"Maksud lo?" Raizel berbalik mengetes pertanyaan Egy, harapnya Egy salah bertanya.
"Iya ... semua yang lo omongin ke gue semuanya bohong, 'kan?"
"Gue nggak bohong apa-apa Gy," jawab Raizel ragu.
"Rai ... gue tau lo bohong." Mantap Egy.
Membuat Raizel semakin resah, bingung bagaimana Iagi harus menjawab.
"Jawab Rai!" tegas Egy.
"Enggak Gy ... gue ngg-"
Belum selesai Raizel menjawab, dengan cepat Egy memotongnya.
"Udah gue bilang! Gue tau lo bohong Rai! ....
Lo ke halaman belakang rumah Gue ...," Egy tidak meneruskan kata-katanya sejenak.
"Bukan untuk telponan sama nyokap lo, 'kan?" lanjutnya.
"Gue beneran telfonan sam–"
"BOHONG!" bantah Egy dengan keras.
"Lo masih mau bilang kalo lo telponan? Telponan sama apa Rai? Hp siapa? Sedangkan Hp lo jelas-jelas ada di meja kamar gue! Dari tadi!" seru Egy menekan kata 'Dari Tadi'.
Sambil menunjuk ke arah meja, yang di mana, di atas meja tersebut, memang benar adanya, ponsel Raizel tergeletak di sana.
Mata Raizel terarah kepada telunjuk Egy yang menunjuk satu handphone di atas meja samping kasur, dan Benar itu memang Handphone miliknya.
'Sial' batin Raizel.
"Rai ... Gue udah tau, lo bohong. sebelum lo pingsan di jalan juga, gue sering liat lo bertingkah aneh seakan lo ngelihat sesuatu, tapi gue nggak ada alesan kuat buat nanya ke lo kaya gini" kata Egy.
Raizel terdiam tak berkutik, hatinya sungguh bingung dan resah.
Rahasia bahwa dirinya seorang indigo.
Rahasia yang sejak lama ia tutup rapat, sudah mulai diketahui temannya.
"Dan ... yang ngedorong gue tadi di sini sebelumnya ... itu sebenernya bukan lo juga, 'kan?" tanya Egy semakin menyudutkan.
"Gy ... dengerin gue dulu," sela Raizel.
"Lo yang harusnya ngedengerin gue ngomong, Rai!" tekan Egy.
Raizel terdiam, mengalah.
"Rai ... gue tanya sama lo, dan gue minta lo jujur!" desak Egy.
"Lo ....
Indigo, 'kan?" tanya Egy dengan serius.
Deg!
Benar saja, rahasianya diketahui Egy.
"Eeumb ... gue ...," jawab Raizel bingung.
"Jawab jujur Rai! ... gue pengen Lo jujur!" Egy memaksa.
"Gy ... gue nggak ma-"
"Nggak mau, gue ngejauhin lo?
Lo nggak mau, bikin gue takut?
Lo nggak mau, gue, dan yang lain ngejauhin lo? Karena lo berbeda!? Iya ...?" tebak Egy, dan semuanya memang benar.
Mata Raizel sama sekali tidak bisa teralihkan oleh Egy, telinganya bersiap untuk mendengarkan kata-kata berikutnya dari mulut Egy.
"Nggak akan Rai!!" lajut Egy mantap.
"Gue dan yang lain nggak akan pernah ngajuhin lo, kita temen, dari kecil, hal kaya gini nggak akan bisa mutusin pertemanan kita" jelas Egy, meyakinkan Raizel.
Raizel tercengang mendengar perkataan Egy, hatinya yang panik. Kini sedikit tenang.
"Lo yakin?" tanya Raizel, berharap apa yang dikatakan Egy nyata.
"Gue yakin! Dan sangat yakin! yang lain juga nggak akan pernah ngejauhin lo karena hal kaya gini" ucap Egy mempertegas.
"Rai ... sampe kapanpun kita adalah teman, bahkan gue udah nganggep lo dan Vano sodara gue," aku Egy.
Raizel tersenyum mendengar semua kata-kata Egy, Ia sungguh bersyukur memiliki teman seperti Egy.
"Makasih Gy, gue sebenernya nggak mau bohongin lo dan yang lain, gue cuma nggak mau lo semua ngejauhin gue karena hal ini," ungkap Raizel.
"Bro ... lo berfikir terlalu jauh, kita nggak mungkin ngelakuin hal yang konyol kaya gitu."
Suasana yang mulanya menegangkan bagi Raizel, kini semua berakhir seperti biasa, layaknya tidak ada berdebatan sebelumnya.
Karena kejujuran itu lebih baik daripada harus terus berbohong.
Egy merasa tenang, karena dugaannya tentang Raizel yang seorang indigo memang benar adanya, dan sebaliknya.
Raizel merasa lega, seakan beban dalam hidupnya menghilang sebagian, karena kejujuran dan respon Egy sama sekali tidak seperti yang dipikirkannya sejak dulu.
Jauh lebih baik.