"Maaf sekertaris Zefa kalau saya menelpon anda pagi-pagi sekali," ucap seorang pria dari seberang sana.
"Tidak apa pak Leonard, ada yang bisa saya bantu?" Leonard, merupakan CEO tempat Zefa bekerja. Pria berusia lima puluh lima tahun itu sangatlah ramah terhadap karyawannya.
Begitu juga terhadap Zefa dan orang yang memperkejakan nya sebagai sekertaris di kator CEO itu.
"Jadi begini sekertaris Zefa, anda tidak lupa kalau Estevan akan menggantikan ku nanti?" tanya beliau.
"Iya pak, saya masih ingat."
"Sebelum ke kantor, bisakan kamu beli salad buah terlebih dahulu? Aku akan mengirimkan alamatnya," pinta Leorand
'Seperti yang sudah dijelaskan oleh Pak Leonard kalau Pak Estevan menyukai salad buah, sepertinya aku harus segera pergi membelikan makanan itu.'
Zefa menjauhkan ponselnya dari telinga ketika suara dering pesan kembali terdengar.
"Estevan akan datang pukul delapan pagi, jadi anda masih memiliki waktu luang yang cukup banyak, itu saja yang bisa saya sampaikan terima kasih sekertaris Zefa."
Setelah mengucapkan kalimat penutup Leorand mematikan sambungan panggilannya secara sepihak.
Meninggalkan Zefa dalam keadaan wajahnya yang terlihat masam, apalagi ketika ia melihat alamat toko salad buah yang cukup membuat Zefa sedikit kewalahan.
"Ck. Menyusahkan sekali." Mendengar gerutu dari mulut Zefa, membuat Agus menilik ke arah ponsel gadis itu lalu Agus melontarkan sebuah pertanyaan, "Ada apa?"
"Sepertinya aku harus segera pergi." Zefa mematikan ponselnya lalu memasukkan benda tersebut ke tas selempang yang berada di tepat sampingnya.
"Berapa totalnya?" Tangan Zefa mengambil dompet berwarna hitam lalu menarik resleting serta menampakkan beberapa lembar kertas berwarna merah.
"Sebentar, aku ada sesuatu untukmu." Agus pun lekas berdiri, ia melangkahkan tungkai kakinya ke dapur semetara Zefa memperhatikan kelakuan temannya.
Jarang sekali, Agus memberinya sesuatu. pria tersebut pun kembali hanya dalam hitungan puluhan detik.
Ia membawa satu cup kopi dan satu bungkus tas karton yang berisikan dua buah roti sandwich di dalamnya.
"Ini untukmu, saat aku membuatkan susu hangat untuk Noah aku juga membuatkan kopi latte untukmu dan juga sandwich."
"Terima kasih." Zefa menerima barang pemberian dari Agus. Segera Zefa beranjak dari tempat duduknya dan memberikan beberapa uang kertas kepada Agus sesuai dengan harga makanan serta minuman yang dipesannya.
Agus menolak uang pemberian Zefa dan mengembalikannya.
"Tidak, aku tidak mungkin memberikan harga yang mahal kepada sahabatku."
"Sahabat ya sahabat, bisnis ya bisnis jangan kau samakan kedua arti kalimat itu."
Terpaksa Agus menerima uang pembayaran dari Zefa kemudian berkata, "Hati-hati dijalan."
Zefa menganggukkan kepala, tak lupa ia memasukkan dompet ke dalam tasnya lalu keluar dari cafe dengan sangat terburu-buru.
'Antara aku, dia dan Maria orang yang paling sibuk adalah Zefa, mungkinkan bos yang ada di kantornya baru?' pikir Agus. Zefa bukan hanya terasa dingin, ia bahkan membuat jarak antara dirinya dan Maria.
Agus sungguh tidak ingin terlalu tenggelam dengan pemikiran yang membuatnya merasa sangat malang. Ia memilih untuk membersihkan cafe miliknya kembali.
***
Kurang dua menit lagi Estevan datang ke kantor, setibanya di parkiran kantor. Zefa memanggil salah satu security yang sedang berkeliling di sana dan memintanya untuk membantunya meletakkan salad buah yang di belinya.
Setelah security itu memgangguk paham dan pergi melaksanakan tugasnya, Zefa bergegas pergi ke pintu depan kantor untuk menyambut bos barunya.
Walaupun napas Zefa sedikit terengah-engah karena berlari untuk bisa sampai di tempat ini tepat waktu namun, sebisa mungkin ia harus selalu bersikap profesional.
Tepat pukul delapan pagi, setelah Zefa melihat jam arloji yang ada di tangannya, sebuah mobil berwarna hitam tiba di depan kantor dengan tepat waktu.
Zefa menurunkan tangannya dan bergegas membuka pintu belakang dari mobil itu. Sebuah sepatu kulit berwarna coklat keluar dari mobil secara satu persatu dan seorang pria bertubuh tinggi besar berdada bidang serta memakai setelan jas berwarna hitam keluar dari mobil.
Pria itu membenahi kancing bajunya lalu berjalan melangkah masuk ke area kantor. Dengan cepat, Zefa menutup pintu lalu mengikuti sosok pria berwajah garang itu dari belakang.
Setibanya di depan lift, Zefa segera menekan tombol open dan pintu benda tersebut terbuka.
Setelah dirinya dan pria yang ada di depannya masuk, Zefa menekan tombol close dan pintu lift kembali tertutup.
Zefa mundur beberapa langkah dari tempatnya saat ia mulai membuka cacatan buku agenda hari ini yang sedari tadi di sandarkan di lengannya.
"Agenda kegiatan untuk Pak Estevan hari ini, pertama pukul setengah sembilan, anda memberikan sambutan kepada para karyawan atas jabatan anda saat ini sebagai wakil CEO sekaligus bos kami."
Zefa menunduk dan membacakan semua agenda yang ada di dalam buku catatannya, ia tidak terlalu memperhatikan wajah dari bos barunya itu dan sibuk dengan pekerjaannya.
"Pukul sebelas jam makan siang?" Suara khas dari pria itu membuat Zefa mendongak.
Zefa mengangguk lalu berkata, "Benar Pak Estevan."
"Ganti jadwalnya, kita langsung keluar untuk melihat lahan kontruksi pembangunan toko baru." Lalu dengan cepat Estevan menatap ke arah kaca yang berada di depannya.
"Singkirkan wajah datarmu itu."
Tatapan Zefa semakin dingin ketika mendengar perkataan dari bosnya.
Ia tidak memperdulikan komentar orang lain mengenai ekspresi wajahnya namun, untuk menghormati jabatan dari Estevan Zefa mengangguk lalu berkata, "Baik." Dengan nada datar.
'Wajah itu sama dengan miliknya.' Estevan mengepalkan tangannya erat sebelum pintu lift terbuka.
Mereka berdua berjalan menuju keruangan milik Estevan dan setibanya di sana Zefa langsung menjelaskan beberapa bagian ruangan yang ada di sekitar sini.
"Di sebelah sana adalah ruangan saya dibatasi dengan ruangan kaca antara ruangan anda dan saya." Zefa menunjuk ke arah ruangannya dengan kelima jarinya lalu kembali menoleh ke arah Estevan yang sudah duduk di kursinya.
"Saya juga telah menyiapkan salad beserta kopi latte, anda bisa menikmatinya."
Sesaat setelah Zefa mengatakan hal itu, Estevan membuka penutup salad.
'Sama seperti biasanya,' batinnya saat melihat tampilan salad yang berada di depannya.
'Sepertinya pria ini menyukai salad yang kubelikan.' Zefa menunjukkan sikap bow lalu menegakkannya kembali.
"Saya akan pergi ke ruangan, jika anda mengingikan sesuatu bisa menghubungi saya langsung, selamat pagi."
Zefa meninggalkan ruangan Estevan. Pria yang sedari tadi duduk di kursi menatap Zefa yang berjalan masuk ke ruangannya dengan tatapan tajam itu pun memang tidak bisa dimengerti oleh Zefa yang bersikap masa bodoh.
"Mengapa dia sangat mirip?" Sambil meremas sendok plastik yang berada di genggamnya.
Di dalam ruangannya, Zefa menata dokumen yang ada di atas nakas ke dalam lemari kerjanya. Walaupun ia mencoba menyibukkan dirinya sendiri, Zefa masih mengingat perkataan Estevan saat di lift tadi.
"Bagaimana mungkin dia berkata seperti itu kepada karyawannya? Sangat kasar sekali. Ternyata benar apa yang dikatakan pak Leonard mengenai pria berwajah iblis itu," gerutunya.
Setelah selesai menata dokumen, Zefa duduk lalu mencoba menghilangkan pikiran buruknya dan mencoba untuk tidak mengutuk bos barunya.
Ia menyadarkan punggungnya pada sandaran kursi putar dan perlahan mencoba memejamkan mata tenang.
"Zefa aku merindukanmu."
"Joshua!" Tiba-tiba saja Zefa terbangun dengan tangannya yang mencoba menggapai sesuatu.
Detak jantungnya berdetak dengan cepat karena mimpi yang baru saja dilihatnya.
"Bagaimana mungkin kamu selalu datang disetiap mimpiku? Berhenti melakukan itu Joshua, kamu menyiksa." gumam Zefa. ia menyeka keringat yang timbul dari dahinya.
Lekas menatap gambar Joshua di layar ponsel yang selalu merupakan obat tepat bagi pereda stres.
'Jika kau merindukanku seharusnya kau tidak perlu meninggalkanku.'
To Be Continued...