Berbekalkan motor butut yang bahkan ia dapatkan dengan cara cicilan, Vika meninggalkan rumahnya di belakang. Dalam pekat malam dan udara dingin yang mulai menyelimuti, ia menembus jalanan ketika hari sudah menunjukkan jam delapan malam. Masih ada satu jam lagi sebelum waktu kerjanya dimulai.
Menyusuri jalanan dengan pikiran yang penuh, beberapa kali Vika menarik napas dalam-dalam. Berharap semua yang terjadi di hari itu adalah mimpi belaka, terasa amat muluk untuknya. Tuhan tidak mungkin mendadak melenyapkan tagihan-tagihan itu kan?
"Suntuk banget, Vik."
Vika menoleh seraya menutup pintu loker kerjanya. Ada rekan kerjanya yang baru tiba. Bernama Aini.
"Gimana nggak suntuk?" tanya Vika tanpa merasa perlu menutupi masalah yang lagi-lagi ia hadapi. "Hari ini ada tiga tagihan baru yang aku dapatkan."
Aini semula ingin langsung beranjak dari loker. Berniat untuk mengganti pakaiannya dengan seragam. Tapi, perkataan Vika membuat ia mengurungkan niatannya.
"Tiga tagihan?"
Wajah horor Aini membuat Vika tersenyum kecut.
"Dan totalnya nggak main-main. Nyaris tiga puluh juta."
Aini merasa lehernya seperti tercekik. "Shiiit!"
Vika mendengkus. Mengunci lokernya dan beranjak dari sana. Tapi, Aini mengikutinya. Alih-alih melakukan niatannya semula.
"Kamu serius?"
Tangan Aini menahan langkah Vika. Membuat cewek berambut ikal dalam hitam yang berkilau itu menoleh. Hanya untuk mendapati ekspresi syok di wajah Aini.
Vika mengangguk. "Serius banget kalau soal duit," ujarnya getir. "Delapan setengah juta buat biaya korban Rizal, enam juga buat biaya salon Mama, dan lima belas juga buat utang judi Papa."
Sepertinya bukan hanya lehernya yang mendadak seperti dicekik, alih-alih Aini merasa jantungnya pun seolah dibetot lepas dari dalam sana. Sungguh ia tidak mengira bahwa Vika kembali mendapat tagihan dalam jumlah yang besar.
"Ya Tuhan. D-dan semua tagihan itu harus kamu yang bayar?"
Napas Vika berembus dengan berat. Wajahnya terlihat sayu. Dengan bahu yang naik sekilas, ia menjawab.
"Mau gimana lagi? Cuma aku yang waras di rumah."
"Tapi, uang sebanyak itu mau kamu dapetin dari mana?"
Pundak Vika langsung turun. Seperti prajurit yang kalah perang, ia tak berdaya. Sama bingungnya dengan Aini yang bertanya padanya.
"Kayaknya aku mau jual ginjal aja deh."
"Eh?!" kesiap Aini horor. "Kamu jangan aneh-aneh deh ya."
"Timbang aku jual bola mata kan?"
Aini meneguk ludah. "Nggak gitu juga maksudnya, Vik. Tapi---"
"Kalau mau cepet dapat duit ya udah sih, Vik. Ikut aja kayak yang lain. Tiga puluh juta mah paling berapa malam juga bakal dapat kok. Kamu kan lumayan cantik."
Ada satu suara yang memotong perkataan Aini. Membuat kedua cewek itu sontak berpaling ke sumber suara. Pada seorang wanita paruh baya yang melangkah masuk ke dalam ruang ganti karyawan.
"Mami."
Itu jelas hanya panggilan. Karena nyatanya wanita yang sudah menginjak usia empat puluh dua tahun terlahir dengan nama Yani.
Yani mendekati Vika dan Aini. Melihat pada kedua orang cewek itu bergantian.
"Sayang loh wajah cantik kalau nggak dimanfaatkan. Timbang jual ginjal atau bola mata kan?"
Vika meneguk ludah. "Timbang jual diri, Mi."
Mata Yani membesar. Tapi, ia memilih untuk tidak terprovokasi. Alih-alih bibir merah menornya tersenyum.
"Kalau kamu jual ginjal, kamu bakal kehilangan ginjal, Vik," ujar Yani tenang. "Tapi, kalau kamu jadi cewek penghibur, emang diri kamu hilang? Nggak kan?"
'Analogi tukang hipnotis.'
Vika membuang napas panjang. Membalas senyum itu.
"Makasih, Mi. Ntar aku pikir-pikir dulu ya. Sekarang aku masih siap-siap. Keburu klub buka."
Yani hanya mengangguk singkat. Membiarkan Vika berlalu dari sana. Meninggalkan dirinya dan Aini berdua saja.
Aini tau dirinya akan jadi sasaran selanjutnya. Maka ia pun buru-buru berkata.
"Aku juga mau ganti seragam dulu, Mi. Dadah!"
Bergegas kembali ke lokernya, Aini menyambar seragam kerjanya yang tergantung di sana. Lalu melesat cepat ke kamar mandi. Membuat Yani melongo di tempatnya berdiri.
"Ck. Gagal lagi deh dapat pemain baru."
Sementara itu, Vika yang mulai bekerja tampak merapikan meja dan kursi dengan cekatan. Tanpa mengatakan apa-apa bahkan ketika ada beberapa orang rekan kerjanya yang mengajak ia berbincang-bincang. Lantaran saat itu, otaknya sedang bekerja. Memikirkan bagaimana caranya agar ia bisa mendapatkan uang tiga puluh juta dalam waktu dekat.
Itu mustahil.
"Dapetin duit segitu banyak dalam waktu dekat sama mustahilnya dengan kemungkinan aku mendadak ketemu dengan Edward Cullen."
Beberapa pilihan muncul di benak Vika. Antara lain meminjam dengan bos tempatnya bekerja, meminjam dengan teman-temannya, atau meminjam dengan---
Tunggu!
Tangan Vika yang sedari tadi mengelap meja, berhenti bergerak. Wajahnya tampak masam.
'Kenapa semua jalan keluarnya selalu pake kata minjam? Nggak ada jalan keluar yang lain apa? Ck. Kalau minjam dengan orang lain mah namanya bukan jalan keluar. Tapi, gali lobang tutup lobang. Lobangnya tak pernah hilang.'
Tuh kan! Vika malah menyanyikan lagu dangdut saking sudah stres pikirannya.
Vika beranjak. Tugasnya untuk merapikan meja dan kursi sudah selesai. Sekarang saatnya ia untuk kembali ke posisi semula. Di balik meja kasir.
Masih memiliki waktu beberapa menit sebelum klub dibuka, Vika menyalakan komputer dan mengecek laci uang. Lalu ia duduk bertopang dagu.
'Bahkan kalau aku mau jadi pencuri, maling duit di meja kasir juga nggak bisa buat utang aku lunas. Lah orang banyakan yang bayar pake kartu kredit dan debit. Ya kali ada yang bayar pake duit recehen.'
Sebenarnya masih ada yang membayar tunai. Tapi, itu jarang sekali. Uang fisik sepertinya tidak efisien bila dibawa ke tempat seperti itu.
"Kamu beruntung duduk di meja kasir. Kalau kamu jadi pelayan, pasti kamu udah dapat komplain dari tadi."
Aini datang lagi. Dengan mendekap nampan bulat di depan dadanya. Baru saja selesai mengantarkan pesanan ke satu meja.
"Ya seenggaknya masih ada keberuntungan yang aku punya di hidup ini."
Ekspresi wajah Aini tampak berubah. Khawatir kalau perkataannya barusan menyinggung perasaan Vika.
"Eh, ngomong-ngomong dari tadi aku nggak lihat Rossa. Ke mana dia? Cuti lagi?"
Namun, sepertinya Vika tidak tersinggung. Aini merasa lega.
"Wah! Ternyata kamu perhatian juga ya walau kamu keliatan bengong aja dari tadi."
"Aku nggak terlalu bengong," tukas Vika. "Eh, tapi serius. Kok dari tadi aku lihat dia nggak ada ngantar pesanan. Dia nggak masuk?"
Aini menggeleng. "Nggak masuk lagi."
"Sakit lagi?"
Aini mengangguk. "Sakit bukan sembarang sakit."
"Sakit apa emangnya? Parah ya?"
Kali ini Aini tidak menggeleng ataupun mengangguk. Alih-alih ia justru mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tampaknya sedang memastikan bahwa saat itu situasi dalam keadaan aman. Dan itu membuat Vika bingung.
"Kenapa sih?"
Tepat ketika Vika melayangkan pertanyaan itu, tangan Aini menarik pundaknya. Membuat ia menunduk dan rekan kerjanya itu berbisik di telinganya.
"Katanya Aini masuk rumah sakit gara-gara kekurangan darah."
Mata Vika mengerjap. "Anemia akut?"
"Bukan."
"Terus?"
Aini melihat ke sekeliling lagi. Pada suasana remang-remang yang diselingi oleh kelap-kelip lampu khas klub. Orang-orang di sana tampak bersenang-senang. Dalam lantunan musik yang menghentak dan bersama alkohol yang memabukkan.
"Katanya darah Rossa nyaris habis karena vampir."
Mata Vika melotot. "Hah?!" kesiapnya sontak menarik diri dari tangan Aini. "Kamu serius?"
Aini membalas pelototan Vika. "Serius. Karena dia butuh duit buat operasi jantung suaminya. Dan aku dengar-dengar, ternyata dia udah lama kerja sampingan gituan."
Mendapat jawaban itu, Vika seketika bergidik. Bulu kuduknya mendadak meremang. Tapi, ia tak ayal tetap bertanya pula demi meyakinkan.
"Jadi makanan simpanan vampir?"
Anggukan Aini membuat Vika meneguk ludah. Tanpa sadar ia langsung memegang lehernya.
"Astaga. Ternyata bukan ginjal dan bola mata aja yang bisa jadi sumber duit," ujar Vika syok. "Darah pun bisa."
*
bersambung ....