Liliya berusaha menenangkan dengan mengeratkan lengannya yang memeluk leher Ashnard. "Tenanglah. Jangan panik. Tubuhmu masih belum sembuh total, ditambah ada luka baru karena reruntuhan."
Udara di tempat tersebut tidaklah banyak, karena itu Liliya harus menenangkan kepanikan yang menguasai Ashnard. Sementara gadis itu juga berusaha menjaga dirinya sendiri agar tidak ikut panik.
"Aku tak bisa bergerak Liliya. Aku tak bisa merasakan kakiku." Ashnard semakin panik.
Lalu, Liliya mengarahkan lengannya di depan muka Ashnard. Luka masih terbuka di lengan, dan darah masih merembes.
Mata Ashnard melebar saat melihat darah menetes ke baju sisik naganya. "Liliya, tanganmu terluka!"
"Tenanglah, aku tidak apa-apa. Tapi, kau harus meminum darahku lagi, Ash," kata Liliya. "Darahku akan menyembuhkanmu."
"Tapi, darahmu-"
"Nanti saja tanyanya!" bentak Liliya. "Kalau kau ingin sembuh, ingin bisa bergerak, kau harus mempercayaiku," ucap gadis itu sungguh-sungguh.
Ashnard menelan lendirnya. Menatap luka tersebut dengan rasa cemas. Darah yang terpampang jelas di matanya, sangat merah seperti nyala api. Tetesannya sangat kental, membuat Ashnard sedikit takut.
Perlahan Ashnard mendekatkan lengan Liliya dengan kedua tangannya di depan mulutnya. Nafas lelaki itu meraba kulit Liliya yang memerah karena luka. "Apa kau yakin?" tanya Ashnard. Ia tak bisa melihat wajah Liliya, jadi ia tak tahu ekspresi macam apa yang gadis itu berikan sekarang.
"Demi kau, aku yakin."
Angin terus melindungi mereka dari reruntuhan. Tak sedikitpun bongkahan batu kecil atau besar yang bisa menembus dan melukai mereka. Angin itu memisahkan dunia luar dan ruangan sempit di mana hanya ada mereka berdua dan keheningan.
Dengan degupan jantungnya yang tak bisa ia kendalikan, Ashnard melakukannya secara perlahan.
Liliya bisa merasakan buah bibir Ashnard yang kering menyentuh kulitnya. Lalu, sensasi basah membuatnya lukanya terasa perih, tapi ia berusaha menahannya. Saat bibir, lidah, dan hisapan lembut Ashnard bekerja sama menyesap kulit serta darahnya, gadis itu meringkih. Rona merah menyertai wajah keduanya seperti terkena demam.
Ashnard tak bisa berhenti. Cairan merah yang memasuki tenggorokannya itu terasa sangat manis, lebih manis daripada teh mawar yang selalu ia hisap saat pagi hari. Ia terus menghisap darah Liliya seolah ia ditakdirkan menjadi makhluk penghisap darah.
Ashnard tak mengerti apa yang merasuki dirinya. Meskipun tubuhnya sudah merasakan efek penyembuhannya, ia tak ingin berhenti. Ashnard akhirnya melepaskan hisapannya saat darah sudah tak merembes lagi dari luka gadis itu.
Ashnard mengelap darah yang masih tersisa di mulutnya. "Darahmu terasa sangat manis."
"Bagaimana tubuhmu?"
"Aku sudah baik-baik saja. Apa rasanya sakit?"
"Sedikit."
Tak lama kemudian, darah ajaib yang mengalir dalam tubuh Ashnard membuatnya segar kembali. Di tempat sempit itu, ia bisa menggerakan tubuhnya sepenuhnya
Ashnard kagum juga tak percaya. Ia lalu melemparkan pandangan ke Liliya. "Jadi, darahmu yang membuat kesadaranku kembali?"
Liliya menggeleng. "Kurasa bukan aku, tapi dirimu sendiri. Darahku tak bisa membersihkan kegelapan, tapi hanya bisa menyembuhkan luka fisik."
Pandangan Ashnard tertuju ke lengan kanan Liliya yang terluka, lalu beralih ke tangan kiri Liliya yang diperban. "Jangan-jangan waktu di gunung juga karenamu?"
Liliya tersenyum lalu mengangguk.
"Tapi, bagaimana bisa?"
"Ini karena kekuatan khusus yang dimiliki keluarga Nerefelon. Darah kami mengandung kekuatan penyembuhan yang bisa menyembuhkan luka fisik, tapi tak bisa menyembuhkan penyakit mental."
"Itu luar biasa. Kenapa kau tidak mengatakan padaku dari awal?"
"Bukan tak mau, tapi tak bisa. Ayahku melarangku untuk memberitahu siapapun soal kekuatan ini."
"Memangnya kenapa? Bukankah kekuatanmu itu bisa sangat berguna, kan?"
"Itu rumit. Lagipula, kau juga merahasiakan elemen astralmu. Jadi, kita impas."
"Yah, kalau begitu, terima kasih telah menyelamatkanku."
"Tidak, seharusnya aku yang berterima kasih. Kau terus melindungiku bahkan saat kau sendiri tak sadar, dan sampai saat ini juga kau terus melindungiku, bukan?"
"Hehe, kau sadar ternyata." Ashnard mengusap kepala belakangnya sendiri. "Banyak sekali pertanyaan yang ingin kusampaikan padamu, tapi sebaiknya ditunda dulu. Kita harus mencari cara untuk keluar dari sini," ujar Ashnard, melempar pandangan ke sekeliling.
Ashnard berusaha membuat jalan. Ia terus mencabuti bebatuan satu per satu, tapi jalannya tidak sedikitpun kelihatan.
"Kurasa ini bukan gempa. Aku masih ingat saat mengambil Pedang Nebulius, aku merasakan guncangan yang hebat."
"Jadi, maksudmu guncangan itu berasal dari Jurang Kegelapan?"
"Iya, mungkin. Kau masih ingat kan, kalau pedang itu terbuat dari inti benda berelemen cahaya. Jadi, saat aku membawanya, jurang kegelapan yang selama ini menderita karena pengaruh elemen cahaya, tiba-tiba berguncang seolah-olah merayakan kebebasannya."
Liliya tersentak karena teringat sesuatu. "Oh, sebelum guncangan itu aku juga mengalami sesuatu yang aneh. Raivolka yang kuhadapi tiba-tiba mencair menjadi lumpur hitam lalu bergabung ke jurang."
"Tetap itu tak bisa membantu kita keluar dari sini. Apakah kita harus menggunakan kekuatan elemen untuk membuka jalannya?" tanya Ashnard.
Seketika, guncangan terjadi kembali. Kali ini, guncangan itu menggetarkan bebatuan yang mengurung Ashnard dan Liliya. Sebuah celah terbuka di antara bongkahan batu, cukup lebar.
"Itu jalannya!" seru Ashnard.
Akan tetapi, dari celah itu muncul kepala Raivolka yang berusaha menggigit Ashnard. Ashnard tersentak hingga jatuh. Ashnard lalu menembakkan peluru air tepat di kepala makhluk itu.
Raivolka yang lain muncul dari lubang yang sama, lalu serentak dari segala sisi. Ashnard dan Liliya tak bisa menahan Raivolka yang terus bermunculan.
Kepala para Raivolka hampir dekat, Ashnard berusaha mencari senjatanya. Ia lalu menemukan sebuah pedang berwarna abu-abu di bawah bongkahan batu. Saat Ashnard menariknya, ternyata hanya sebuah bilahnya saja dengan kedua sisinya yang kasar dan tak rapi, seolah-olah di tempa dengan batu karang bukannya palu.
Tanpa ada sesuatu yang menimbulkannya, bilah itu tiba-tiba berdenting dengan sendirinya di tangan Ashnard. Bunyi dentingannya sangat keras, tapi tampaknya lebih berimbas kuat pada para Raivolka. Raivolka tersebut melarikan diri. Dan bunyi dentingannya perlahan lenyap.
Ashnard dan Liliya saling melempar pandangan pada apa yang terjadi, pada sebuah bilah pedang yang Ashnard pegang.
Ashnard lalu meminta gagang pedang miliknya yang Liliya bawa. Lalu, memasangkan bilah tersebut pada gagangnya, jadilah sebuah pedang yang utuh.
Meskipun bilahnya tidak sesempurna bilah pedang umumnya, tapi Ashnard tak memiliki pilihan lain.
Kemudian, Ashnard menggunakan pedangnya untuk melebarkan celah yang sudah para Raivolka buat. Cahaya menembus ke dalam. Ashnard dan Liliya mengikuti cahaya tersebut.
Mereka berhasil keluar dari reruntuhan, tapi di luar tampak sangat parah dari dugaan mereka. Hutan Hitam terjerembab ke dalam tanah.
Terbentuk sebuah cekungan yang besar dan sangat dalam, setara dengan dasar jurang tersebut. Ashnard bisa melihat posisi mereka yang berada cukup jauh dari permukaan.
Yang lebih anehnya lagi, kegelapan dari Jurang Kegelapan telah lenyap.
Ashnard dan Liliya muncul dari reruntuhan dan di antara kehancuran. Mereka tidak bisa merasakan kekuatan kegelapan lagi. Tidak ada tekanan yang menyiksa tubuh dan pikiran. Semuanya menjadi tenang.
Langit kembali cerah tanpa asap hitam. Tapi, sayangnya Hutan Hitam tidak bisa merasakan kesegaran baru ini. Hutan tersebut telah runtuh bersama dengan gua.
Tidak ada yang tersisa. Ashnard juga tidak dapat menemukan Sefenfor, Reibo, atau Zefiria di mana pun. Dia menduga bahwa mereka mungkin terkubur lebih dalam di bawah tanah.
Ashnard mencoba menggunakan pikirannya untuk terhubung dengan mereka. Karena posisinya tidak diketahui, Ashnard berada dalam sedikit masalah.
"Lihat siapa yang ada di sini!" Tiba-tiba, sosok yang tidak pernah dan tidak ingin diharapkan Ashnard muncul dari atas. Reinhard dan Ulfang muncul dengan seringai merendahkan, ditujukan pada Ashnard dan Liliya.
"Apa yang telah kalian perbuat?" teriak Reinhard.
"Bukan kami. Tapi, karena Jurang Kegelapan," balas Ashnard berteriak.
"Ya, apa yang terjadi dengan Jurang Kegelapan? Kenapa kegelapannya tak ada?" Ulfang menimpali, setengah mengejek.
"Sebaiknya kalian pergi," ujar Liliya. "Disini tidak aman."
"Kenapa kalian tidak?"
"Dengar, kami sedang melakukan penyelidikan tentang makhluk yang tidak kalian mengerti. Kami datang ke sini saat terjadi gempa. Untuk apa kami pergi dari TKP? Kami akan mendapatkan hasil dari penyelidikan ini, dan jika kalian ada telah melakukan sesuatu yang melanggar, aku akan melaporkan kalian pada raja," jelas Reinhard.
"Aku tidak peduli. Pergilah. Jangan ganggu kami," usir Ashnard yang kembali menggunakan elemen astralnya untuk menghubungkan pikiran dengan para Penjaga Angin.
"Lalu, apa yang kalian lakukan di sini?"
Ashnard tak menjawabnya.
"Hei, apa kau tuli? Aku bertanya padamu. Jawab aku, dasar bodoh!"
Ashnard masih tak menjawab apapun.
"Liliya, jawab aku!"
Ashnard menarik Liliya agar tak usah merespon pertanyaan Reinhard.
Reinhard mulai kesal dengan Ashnard yang terus mengabaikannya. Ia pun melompat ke bawah. Angin berputar di sekelilingnya, memperlambat kecepatan jatuhnya. Dan perlahan, ia mendekat dengan tatapan yang mengancam.