Chereads / Pengendali Elemen Terkuat / Chapter 22 - Kegagalan

Chapter 22 - Kegagalan

Setelahnya Ashnard dan Liliya berjalan pulang menuju ke kota. Selama perjalanan, Liliya tak berani untuk mengucapkan satu kata pun pada Ashnard. Lalu, tanpa gadis itu duga, Ashnard akhirnya berbicara padanya.

"Hei, maaf karena menyeretmu ke kegagalanku sendiri," ucapnya dengan kepala yang tertunduk.

"Kan Tuan Sefenfor sudah bilang tidak gagal. Kau berhasil, tahu," rengut Liliya.

"Haha, iya, aku mengerti," tawanya hambar.

Liliya lalu melihat pedang yang Ashnard pegang. "Kau sudah mendapatkan bilahmu. Apa yang kau lakukan dengan pedang itu sekarang?"

"Tapi, ini bukan bilah yang aku inginkan." Ashnard mengangkat pedangnya tersebut dan memandangi guratan dan goresan di bilahnya yang jika ia perhatikan lagi, membentuk seperti ukiran.

"Tak apa, gunakan saja daripada tidak sama sekali."

"Jika kau berkata seperti itu ...."

Tak banyak yang Ashnard bicarakan, ia bahkan tak menyinggung satu pun soal kekuatan misterius Liliya. Ia kembali diam hingga sampai di kota.

Sesampainya di kota, mereka pun menggunakan celah yang sama saat mereka keluar diam-diam seperti biasanya. Seperti biasa tak ada yang menemukan mereka menyelinap. Mereka selalu melakukannya dengan lancar.

Di depan gang yang bercabang, disitulah Ashnard dan Liliya berpusah menuju rumah mereka masing-masing.

"Baiklah, sampai jumpa. Sampai ketemu kembali," Ashnard mengucapkan salam perpisahan pada Liliya.

Liliya hanya tersenyum saja, lalu berbalik pergi begitu saja tanpa menjawabnya.

Ashnard pun kembali ke rumahnya. Pintunya sudah terbuka, tapi tak ada Ibunya yang biasa muncuk untuk menyapanya. Lagipula, Ashnard tak begitu mempedulikannya dan langsung menaiki tangga menuju kamarnya.

Semua kelelahan dan kekesalan yang Ashnard rasakan, ia tumpahkan semuanya pada ranjang empuknya. Seharusnya sekarang masih sore hari dan seperti rutinitasnya beberapa bulan yang lalu, ia harus berlatih dengan Ozark.

Tapi, sekarang anak itu tak membutuhkannya, karena ia lelah, benar-benar lelah. Karena itu, matanya terpejam untuk mengusir semua kelelahan ini. Ia berdoa sebelum mimpi, berharap jika dirinya bisa bertemu Liliya kembali, atau sahabatnya. Ashnard tertawa dengan mata yang terpejam.

"Sahabat apa?" pikirnya.

Ia tak menganggap para Penjaga Angin adalah sahabatnya, karena kata sahabat terlalu berkesan baginya. Terlalu dalam makna yang harus ditanggung oleh seseorang untuk kata seperti itu. Ia menganggap para Penjaga Angin adalah bosnya. Ketika tugas sudah selesai, maka tak ada lagi yang namanya hubungan. Tak ada lagi pekerjaan bersama.

Mungkin itu yang Ashnard pikirkan, mungkin itu yang Ashnard rasakan. Pertemanan dan segala maknanya ini, tidak akan ia rasakan, tetapi kegagalan yang membuat hatinya terasa tercabik dan sedih ini.

Ia terbangun dengan sebuah ketukan di malam hari. Cahaya bulan menembus jendela yang terbuka.

Ketukan itu bukan berasal dari jendela, tapi pintu kamarnya. Ibunya yang sedang berada dibalik ketukan tersebut.

Ashnard bangun dan membukanya. "Ada apa, bu?" lirihnya sambil menguap dan mengusap kedua matanya.

"Oh, Ibu kira kau sedang membaca buku petualangan lagi," kata wanita tersebut.

"Tidak, aku sedang tidur," jawab Ashnard lemas.

"Baiklah, Ibu hanya ingin bertanya apakah Ash baik-baik saja."

"Tentu ... saja. Aku baik-baik saja," jawab Ashnard membuang mukanya.

Edda lalu tak sengaja melihat sebuah pedang yang disandarkan di dinding, ia ingat dengan gagangnya. "Oh, kau telah menemukan bilahnya? Selamat, Ash. Kau hebat sekali," ucap Edda memeluk erat putranya.

"Baiklah, iya, terima kasih," Ashnard menarik diri.

Wanita itu akhirnya melepaskan pelukannya. "Kalau begitu, ibu akan ke kamar. Selamat tidur-"

Sebelum ibunya menutup pintu, Ashnard menahannya. "Sebenarnya ... ada sesuatu."

Senyuman lembut terukir di wajah sang ibu. "Kau bisa cerita pada Ibu."

"Ayah kan seorang ksatria, apakah Ibu tahu kalau ayah pernah gagal dalam misinya sebagai seorang ksatria?" tanya Ashnard.

"Tentu saja, sering malahan."

"Lalu, apa yang ayah lakukan?"

"Ayahmu adalah seseorang yang berdiri untuk keadilan. Sebuah pekerjaan yang cocok untuknya. Dia tidak akan pernah menyerah selama keadilan tersebut telah ditegakkan. Ayahmu sudah berkali-kali gagal dalam melaksanakan keadilannya, tapi karena ia benar-benar serius memperjuangkan tekadnya, ia tetap berdiri layaknya seorang ksatria.

"Ibu memahami ambisinya, dan sudah sering Ibu menyuruhnya untuk berhenti. Tapi, Ibu tak pernah mendengar dia berkata tidak untuk pekerjaannya. Kau paham maksud Ibu?"

"Apakah Ayah berhasil membayar kegagalannya?"

Senyumannya sedikit memudar. Matanya perlahan berair, tapi wanita itu berusaha menahannya agar tidak tumpah. "Ayahmu meninggalkan hadiah berupa gagang tersebut bermaksud untuk menyuruhmu melanjutkan tekadnya. Itu keputusan dia sebelum .... Tapi, jika kau ingin menyerah sekarang. Ibu tak akan menghakimimu. Perjuangan tersebut sangatlah berat Ash."

"Apa yang terjadi jika aku gagal seperti Ayah?"

"Tidak, Ibu harap itu tidak akan terjadi untuk kedua kalinya. Daripada kau gagal, Ibu memilih untuk mengorbankan diri Ibu."

Ashnard merengut, "Jangan, jangan Ibu."

Senyuman terbit kembali seperti bulan yang muncul dari awan. "Karena itu, Ibu selalu berdoa, selalu berharap agar kau tak gagal. Ibu dan Ayah selalu percaya kau tidak akan gagal."

Malam pun berlanjut sesuai dengan aturannya. Meksipun udara dingin masuk ke dalam selimutnya, Ashnard tidak akan menutup jendelanya. Ashnard ingin terus melihat sejauh mana bulan dan bintang itu bersinar selama semalam.

Ia memikirkan semua perkataan ibunya dan apa yang dia inginkan sekarang. Pergulatan batinnya itu terus terjadi hingga keesokan harinya. Di saat pagi yang cerah, suara ketukan lain terdengar.

Kali ini, tampak sejumlah pria berzirah perak lengkap berada di balik pintu rumahnya.

"Tuan dan Nyonya Raegulus, kami mengharapkan kalian untuk datang di hadapan raja sekarang," kata salah satu pria tersebut.

Di depan mereka, Raja Heistiar duduk dalam singgasananya yang agung. Dengan pakaian mewah dan berkelas, penuh kilau permata yang dijahit pada kain satin biru berkualitas tinggi. Mahkotanya berdiri di puncak segalanya.

Edda dan Ashnard berdiri dalam kebingungan. Mata dari para keluarga bangswan yang terkenal terus tertuju pada mereka.

Di sisi kiri ruangan, terdapat sejumlah anggota keluarga Asberion. Aura petarung mereka terpampang jelas dari warna merah marun pakaian mereka dan pedang di pinggang. Dan di sebelah para Asberion, ada Liliya bersama ayahnya, perwakilan dari keluarga Nerefelon.

Lalu, di sisi kanan ruangan, keluarga yang kompak dengan kunciran rambutnya yang khas, para Ruishorn menatap sinis pada Ashnard dan Edda. Ada satu lagi seorang perwakilan dari salah satu keluarga yang Ashnard baru melihatnya.

Seorang pria berambut putih panjang, duduk dengan anggun di kursi sebelah keluarga Ruishorn. Ia hanya terdiam sendirian dan tersenyum santai. Gerardus dari keluarga Gwainson. Keluarga yang awalnya merupakan imigran dari luar. Ditetapkan sebagai keluarga bangsawan sah di Winfor setelah kontribusinya dalam Persekutuan Kerajaan-Kerajaan.

Tak lupa, raja meletakkan penjaganya di setiap sudut ruangan, yang langsung bergerak dengan sigap jika sang raja memberikan perintah.

Edda dan putranya berdiri di hadapan raja dan terlihat seperti dihakimi dengan kehadiran para keluarga bangsawan sebagai saksi. Wanita itu bingung dan bertanya-tanya.

Edda meletakkan tangan kanannya pada dada kirinya, lalu membungkuk. "Maaf atas ketidaktahuan saya, Yang Mulia. Jika Yang Mulia memperkenankan, saya ingin menanyakan apa yang telah terjadi disini? Apa yang telah kami perbuat hingga keluarga lain juga berada disini?"

"Baiklah." Suara raja yang berat bergema pada ruangan. "Berdasarkan kesaksian putra-putra Asberion dan Ruishorn, tampaknya putra anda yang bernama, Ashnard telah melakukan tindakan yang membahayakan."

"Baiklah." Suara raja yang berat bergema pada ruangan. "Berdasarkan kesaksian putra-putra Asberion dan Ruishorn, tampaknya putra anda yang bernama, Ashnard telah melakukan tindakan yang membahayakan."

Edda seketika menggengam erat tangan putranya. Ia berusaha untuk tetap tenang di hadapan sang raja. "Dan apa tindakan yang membahayakan tersebut, Yang Mulia?" tanya Edda.

"Putra anda telah menghancurkan relik negara, Pedang Nebulius. Pedang yang digunakan para Penjaga Angin untuk menyegel kegelapan di tanah ini."

"Apakah ada bukti jika putra saya yang menghancurkannya?"

"Reinhard tidak akan pernah membuat laporan palsu, Nyonya Raegulus," ucap Gerwin Asberion pemimpin keluarga Asberion dan juga ayah Reinhard. "Dia bukanlah putra yang bodoh hingga memberikan tuduhan yang tidak berlandaskan apapun."

"Begitu juga dengan putra saya, Tuan Asberion. Ash tidak sebodoh itu untuk menghancurkan sesuatu yang berharga."

"Baiklah, jika kau menginginkan bukti." Gerwin menjentikkan jarinya. Seketika putra tertuanya mendekati Edda dengan membawa sesuatu yang tersembunyi dalam kain merah.

Saat kain itu dibuka, tampak sebuah gagang dari Pedang Nebulius. "Kami sudah mengeceknya jika benda ini asli. Raja juga mengonfirmasi keakuratan ukirannya dengan ukiran yang tertulis dalam catatan sejarah," ungkap putra tertua Asberion yang bernama Bernhard. "Adik saya, Reinhard telah membuktikan hasil dari kerja kerasnya. Meskipun masih muda, ia berniat menyelesaikan masalah. Kontribusinya ini membuatnya layak menyandang nama Asberion, Nyonya Raegulus."

"Jika itu benar pedang legendaris yang kalian maksud, tetap tidak membuktikan jika Ash yang telah melakukannya. Tuduhan ini tidak masuk akal," balas Edda tak senang. Setelah itu, Bernhard kembali ke keluarganya dengan tenang, tanpa membawa keributan yang memperparah situasi.

Di singgasananya, raja mulai berpikir. Sebagai seorang raja, dia tak akan asal memutuskan. Ucapannya adalah hal mutlak, karena itu ia haris berhati-hati. Ia terdiam untuk beberapa saat sebelum ketegangan terjadi.

"Dia melakukannya! Kami melihatnya! Di dekat Jurang Kegelapan, dia menghancurkan pedang itu saat Reinhard berusaha menghentikannya," tambah Ulfang. Berusaha melantangkan suaranya agar semua orang mendengar kelicikannya dan menujukan mata mereka pada Ashnard seorang.