Chereads / Sebenarnya Cinta / Chapter 2 - 2 - Yang Dikagumi

Chapter 2 - 2 - Yang Dikagumi

"Baca saja. Nanti kalau ada yang mau ditanyakan, bisa kembali ke sini."

"Baik, Pak. Terima kasih. Permisi."

Hana segera pergi membawa kertas berisi tawaran lomba menulis karya ilmiah dari Pak Budi. Di luar ruangan, sudah ada Nia yang menunggu.

"Gimana, Han? Lancar?"

"Lancar sih. Kan cuma ngumpulin tugas."

"Lah itu apaan?" Nia memfokuskan matanya pada berkas yang dibawa Hana.

"Gak tahu nih apaan. Suruh dibaca sama Pak Budi. Kayaknya semacam lomba gitu deh."

"Waah menarik, tuh. Kamu mesti ikut, Han."

"Ya... liat nanti aja deh. Aku masih sebel, nih!" Gerutu Hana.

"Sebel kenapa sih? Oh... cowok itu? Tadi habis dari ruangan ini juga kan?"

"Tuh tahu. Kenapa sih hari ini ketemu cowok senyebelin dia??! Amit-amit deh punya temen kek dia! Blagu! Gue yakin dia gapunya temen!"

"Hust... ati-ati, lho. Jangan terlalu benci ke orang lain. Benci dan cinta katanya jaraknya tipis," ucap Nia.

"Ah, itu kan kata penulis novel aja. Mana ada benci dan cinta beda tipis? Benci ya benci. Cinta ya cinta," sangkal Hana. Hanya lewat sahabat dekatnya itulah, sosok Hana bisa terlihat cerewet. Sementara lainnya mengenalnya hanya perempuan pendiam yang hobinya di perpustakaan.

"Emang kamu bukan penulis novel, nih?" ledek Nia.

"Ah, lupain deh. Jangan bocorin! Nanti ada yang denger gimana?! Yuk, pulang. Bete nih."

"Lagian sampai kapan mau rahasian dari nama pena itu?"

"Kamu belum rasain, sih, Ni."

"Rasain apa?"

"Kemegahan menulis justru ada saat sunyi. Seperti kemungkinan cinta dan benci dalam satu waktu," jelas Hana.

"Yaa entahlah. Yang penting jangan terlalu benci aja. Hati-hati bisa jadi sesuatu."

"Emang kamu pernah nih?"

"Hehe belum, sih. Tapi aku sering denger banyak orang yang awalnya benci banget justru malah jadi jatuh cinta. Makanya kita dianjurin jangan berlebihan."

"Gimana mau gak benci coba?"

"Ada cewek nih jatuh, udah ditolong main dilempar gitu aja? Mending jatuh dari awal kan? Sumpah! Malu banget aku tadi, Ni!"

"Sok banget gak si? Cowok terangkuh di dunia kayaknya!"

"Yaudah, iya... tapi yaudahlah. Lagian kamu juga gak kenal, kan?"

"Iya juga sih. Tapi agak lega tadi aku bisa balas dendam."

"Apa? Dengan apa?"

"Aku marahin dia pas tadi jalan gak liat. Mau tau ekspresinya?"

"Kenapa emang?"

"Mukanya itu lho, Ni. Kayak kepiting rebus! Merah kayak nahan amarah gitu. Hahaha seneng banget aku!"

"Ada-ada aja kamu, Han. Jangan gitu lah."

"Biarin lah. Toh aku juga gak kenal kan?"

"Yuk ah, pulang!" Hana menggandeng tangan Nia. Bersiap berjalan pulang.

"Eh, kalau diingat-ingat, tadi kan kamu jatuh di tangga dan ketemu lagi di ruangan dosen, berarti kamu masih ingat namanya siapa, dong, Han?" Nia tiba-tiba bertanya mengungkit kembali.

"Ih, apaan sih, Ni. Jangan bahas itu lagi, deh. Males. Ingat namanya aja males."

"Nah, berarti beneran inget. Emang siapa sih dia?"

"Tir... Gatau lah. Lupa!" Hana berjalan lebih cepat meninggalkan Nia.

"Aya... aku serius nanya tahu. Aku penasaran."

"Ya emang itu nama yang kuinget. Arsitektur kali!"

"Itumah bangunan kali!"

"Ya mirip. Mukanya kayak tembok."

"Hati-hati, lho... makin benci bisa jadi makin cinta."

"Nia... Bisa berhenti nggak ngomongin dia?"

"Haha... tapi beneran aku penasaran sih. Facenya lumayan lah, ya."

"Lumayan sombong gitu?" Hana berjalan menghadap wajah Nia. Ya, dia asyik berjalan mundur.

"Han, Awas!!" teriak Nia.

***

Rambutnya yang hitam kecoklatan sayup menutupi matanya. Ia berjalan sembari memainkan jemari lentiknya. Nampak asik sekali. Sesekali tersenyum. Entah, apa yang disenyumi.

"Unik banget ini tokoh! Agak aneh si sebenernya," gumamnya sendiri sambil tertawa kecil.

Seperti kebiasaaanya, ia kerap berjalan tanpa melihat sekitarnya. Keasikan main gadget membuatnya lupa. Di depannya, ada kerumunan mahasiswa lain. Hana berjalan seolah dengan suaranya.

Telinganya mendengar riuh keramaian, lalu berbelok begitu saja.

"Haha... ceritanya lama-lama ngeselin. Masa ada cowok sebaik itu?" gumamnya asik sekali.

"Ada."

Suara berat khas laki-laki dewasa menjawabnya. Hana yang sedang sibuk dengan ponselnya, pun berhenti sejenak. Matanya memandang ke depan, tapi tak ada siapa-siapa.

Kepalanya hendak berbalik ke belakang, dan sosok suara itu secepat kilat pindah ke depannya.

Sambil tersenyum lebar dengan wajah cerianya. Melambaikan tangan. "Hai... Hana!"

Hana termenung harus menjawab apa. Ia berusaha mengenali laki-laki di depannya.

"Uhm... maaf, kamu siapa, ya?"

"Kenalin... Aku Adi. Temennya Tirta."

"Tirta? Tirta.... ouh cowok yang kemarin nabrak itu?"

"Yah..."

"Ada apa, ya? Dan kenapa bawa-bawa itu cowo aneh. Disuruh dia, yah?"

Hana terus mencecar Adi di tengah lalu lalang mahasiswa.

Mata Adi berusaha mendekat ke Hana. Sambil berbicara dan berbisik.

"Akan aku jelasin. Boleh kita ngobrol dulu di sana?"

Adi menunjuk di taman dekat kampus.

"Biar lebih enak ngomongnya."

"Emang gak bisa di sini aja?"

"Rame. Gak enak ngomongnya."

"Gimana, ya...."

"Please.... bisa, ya?"

"Yaudah deh."

"Yes!!"

Akhirnya, Adi berhasil mengajak Hana duduk di taman. Kebetulan, saat itu Nia sedang tidak bersamanya.

"Teduh, nih. Pas cuacanya adem gitu," ucap Adi mengawali obrolan siang itu.

"Duduk, Han."

Hana tersenyum kecil. Berusaha menyambut ramah juga.

"Ada apa emangnya? Oh ya, kok kamu bisa tahu namaku? Emang sebelumnya pernah kenal?"

"Sabar.... satu-satu dong nanyanya."

"Ok, aku jawab, ya."

Hana mematikan aplikasi novel digitalnya. Bersiap mendengar penjelasan dari laki-laki di depannya.

"Ok aku jawab yang pertama. Sebenernya... aku dari dulu stalking sosmedmu, Han."

"Oh... trus?"

"Gimana ya... ya, gitu aja. Apalagi setelah nama kamu makin melejit di kampus. Siapa sih yang gak kenal Hana Amalia? Mahasiswi sastra dengan segudang karya dan prestasinya?"

"Lebay, ah. Biasa aja."

"Nah, itu yang aku kagumi."

"Hah?"

"Iya. Dimana-mana orang bakal pamer prestasi. Gapapa juga, si. Siapa tahu orang lain jadi termotivasi, kan. Tapi aku stalking instagrammu, gak ada satupun kamu upload prestasimu."

"Aku penasaran aja sih. Kenapa si?"

"Udah?" Hana berusaha mengatur napasnya.

"Udah, mungkin itu jawaban pertama."

"Ok, aku tanggapi dulu jawabanmu yang pertama, ya."

"Kok jadi kek presentasi, ya? Pake tanggapan."

"Ah, entahlah. Intinya aku mau coba klarifikasi."

Hana membenarkan posisi duduknya. Angin yang sesekali menyapu rambut merahnya, menambah keanggunan tersendiri bagi Adi. Adi memandangnya begitu takjub.

"Begini, siapa tadi?"

"Adi."

"Oh ya, begini Adi. Soal prestasi, ya? Menurutku tiap orang punya potensi masing-masing, si. Dan terkait prestasiku yang kebetulan terlihat, ya itu wajar aja. Toh, tiap orang juga bisa kan?"

"Iya, tapi...."

"Ok. Bentar dulu. Aku belum selesai."

"Iya, lanjutin aja, Han."

"Menurutku biasa. Kecuali bagi mereka yang dikasih ujian khusus sama Tuhan kekurangan tertentu, tapi dengan kekurangan itu dia bisa lebih explore jadi prestasi. Mungkin itu yang lebih layak dipamerin. Entahlah."

"Aku mah masih biasa aja. Lagian, nulis juga bukan bakat, ko. Cuma butuh keterampilan aja."

Hana menjawab dengan nada yang sempurna. Enak didengar siapa saja yang ada di dekatnya. Lembut, tapi tak menggoda. Tegas tapi tak kasar. Begitulah kiranya.

"Lalu, apa yang benar-benar hobimu dan sangat dikagumi?"