"Hana ndakpapa, Bu. Hana hanya lega."
"Syukurlah. Sekarang siap-siap, ya. Sebentar lagi kamu duduk di samping suamimu."
"Iya, Bu."
"Jaga dia baik-baik, Nak. Suamimu adalah pakaian bagi istrinya. Demikian juga sebaliknya."
Sebuah nasihat yang sering Hana baca di novel-novel romance itu, kini ia dapatkan di kehidupan nyata. Ibunya dan Nia mengantarkan Hana duduk di samping Tirta, begitu doa selesai dipanjatkan.
Tirta memasangkan cincin pernikahan di jemari Hana. Begitupun Hana yang memasangkan cincin pernikahan di jemari Tirta.
Hana memandang sebentar wajah suaminya. Tak lama kemudian menunduk khidmat. Mencium tangan suaminya. Sebelum Tirta menyuruhnya mengangkat wajah, Hana tak menegakkan tubuhnya.
Begitu Tirta memberikan kode untuk menyudahi, Hana menegakkan tubuhnya kembali. Tirta belum mengucapkan satu kata pun pada istrinya.
Ia memandangi Hana. Perempuan yang juga sempat membuatnya kesal bukan main. Bedanya, ia tak terlalu ambil pusing.
Beberapa saat kemudian, Tirta mendekat ke wajah Aya. Ia mencium kening Hana dengan penuh khidmat. Seketika, hadirin dan tamu yang melihatnya, sontak membuat baper dan gemuruh
"Wuuuuu so sweet."
"Selamat, Cucu Socrates!!" teriak salah seorang kawan Tirta yang datang. Meskipun pernikahan itu begitu tiba-tiba, tapi tak menyurutkan kawan seangkatannya hadir.
Sontak, gerombolan makhluk aneh teman sekelasnya itu pun memenuhi riuh suasana.
"Cuit... cuit!! Bentar lagi ada yang jadi filsuf beneran nih!" celetuk kawan lainnya.
Tirta menengok ke sumber suara sekilas. Ia tersenyum berterima kasih melihat antusias teman-temannya yang turut hadir menyempatkan waktunya. Tirta kembali ke hadapan Hana.
Ia menatap mata Hana dengan tatapan penuh tanda tanya. Degup jantung yang kian terasa antar keduanya. Hana sempat menunduk, tapi ditegur Tirta dan kembali mengangkat wajahnya.
"Kenapa nunduk?" ucap Tirta.
"Nggakpapa."
"Han."
"Ya?"
"Terima kasih." Ucap Tirta dengan senyum termanis yang baru Hana lihat dari wajahnya yang selalu tampak menyebalkan. Sebuah senyum yang membuat pipinya merona.
Tirta sempat menahan tawa melihat ekspresi Hana yang tergugu di dekatnya.
"Kenapa nahan tawa?" ucap kesal Hana.
"Udah, nggakpapa."
Dari kejauhan nun di sana, Adi geram. Ia keluar dari barisan teman-teman seangkatan Tirta. Tirta pun melihat sosok Adi yang keluar.
"Itu bukannya Adi?" tanya Hana.
"Ya."
"Kenapa dia keluar duluan? Bukannya belum ada ucapan selamat?"
Tirta meraih tangan Hana. Ia kembali memandangnya dan mengucapkannya dengan lembut.
"Tanpa atau dengan ucapan selamat dari orang lain, yang penting pernikahan kita diridhoi Allah dan orangtua kita. Bukankah begitu?"
Hana tak menyangka sosok yang semula dibencinya, begitu bijak mengucapkan kalimat. Menuturkan kata-kata. Apakah ini bagian dari pecinta filsafat yang pandai mengolah opini dan kata-kata?
Entahlah, Hana agaknya merasa tenang dan sangat tenang dengan ucapan Tirta.
Tak berapa lama kemudian, ucapan selamat mulai menyambut pasangan Tirta dan Hana itu. Satu per satu mengucapkan selamat. Sesekali memotretnya. Mengambil momen bersama orang-orang berharganya.
"Wooo!! Akhirnya cucu socrates nikah juga!" Celetuk salah seorang rombongan laki-laki dengan beragam tampilan uniknya. Kebanyakan gondrong dan sangat eksentrik. Pantas saja Tirta juga berambut gondrong. Barangkali memang suasana seperti itu yang membawa seseorang juga merasa biasa saja dengan tampilannya.
"Kayaknya gagal jadi filsuf nih," timpal salah seorang kawannya yang berambut gondrong dan berkacamata.
"Lo, kenapa?"
"Lihat saja siapa istringa. Hana Amalia alias Hana, mahasiswa sastra yang berprestasi. Mustahil cerewet dan menyebalkan. Tak mungkin bikin kesal Tirta tiap hari. Yang ada hidupnya bahagia, Bro. Bukan jadi filsuf."
"Hahah bisa aja lu bro!"
Tirta hanya tersenyum sekilas melihat tingkah kawan-kawannya itu. Namun, kebahagiaan jelas terpancar darinya. Semua teman seangkatannya berfoto bersama. Terkecuali Adi.
"Awas saja, Tir!! Gue gak akan biarin lu hidup bahagia dengan Hana!!" Ucap Adi, sebelum pergi menancap gas sepeda motornya.
***
Tamu undangan mulai beranjak pergi. Acara pernikahan itu pun kian sepi. Hana berpamit diri sebentar masuk ke ruangan. Tak lama kemudian, Tirta menyusulnya.
"Han! Tunggu!" Tirta menahan tangan Hana.
"Ya? Ada apa?"
"Aku boleh bicara?"
Tirta menengok sekitarnya. Ruangan itu memang ruangan umum, meskipun sepi.
"Ada apa emangnya?"
Tirta menggenggam tangan Hana. Erat. Bahkan sangat erat. Seolah tak rela dengan kecurigaannya yang kian tumbuh dan rasa sayangnya.
"Kamu menyayangiku?"
"Kamu tanya apaan sih!"
"Aku serius." Tirta memandang wajah Hana. Ia melihat mata bulat Hana yang teduh itu.
"Tanpa kamu bertanya, kamu sudah tahu. Bukankah begitu? Bukankah aku rela jadi istrimu sudah buktinya?"
"Aku hanya ingin jawabanmu."
"Ya. Tentu. Aku menyayangimu, Tirta. Setidaknya, aku akan berusaha untuk itu."
"Uhm... ada apa?"
Hana tak enak hati melihat Tirta. Ia memang sudah jadi istrinya.
"Tenang ya. Aku masih disini. Meskipun kita tahu pernikahan kita terasa tiba-tiba. Aku akan berusaha mencintaimu." Ucap Hana meyakinkan.
Hana masih mencoba menenangkan Tirta.
"Tenang ya. Tenang. Aku tak tahu apa yang membuatmu sekawatir ini. Tapi kalau terus begini, aku juga ikut kawatir."
"Terima kasih sebelumnya sudah mengkawatirkanku. Aku tahu kamu pernah sebegitu kecewa dengan laki-laki. Aku akan sekuat hati tak meninggalkanmu."
"Tapi sekarang, bukankah kita sama-sama sedang berproses menjadi seperti itu?"
"Saling menerima satu sama lainnya bukan?"
Mendengar berbagi usaha dan kalimat Hana, Tirta agaknya merasa kegelisahannya separuh hilang. Ia melepaskan dekapannnya.
"Aku mencintaimu, Han. Jangan pernah tinggalkan aku. Setidaknya, akupun akan sama sepertimu. Belajar mencintai sepenuhnya." Ucap Tirta lembut.
"Kamu seperti anak kecil yang takut kehilangan Ibunya." Ledek Hana.
"Aku serius, Han."
"Aku juga serius, Tirta."
"Kamu sudah mulai mencintaiku?" tanya Tirta.
"Mungkin." Ucap Hana tersenyum.
Mereka berdua beradu pandang. Saling mendekatkan wajah. Kepercayaan, menjadi satu kalimat yang kian tertanam di mata masing-masing.
Mata mereka semakin dekat. Ia tak ingin membuat kecewa dan kawatir berlebihan. Meskipun ia tak tahu, apakah pernikahannya itu benar-benar akan membawa cinta sejatinya.
Bunga-bunga yang masih terpajang di dinding ruangan sekitarnya turut jadi saksi betapa berbunganya sepasang kekasih yang sedang memadu kasih itu.
"Aku menyayangimu, Han."
"Aku juga mencintaimu, Sayang."
"Meskipun... pernikahan ini terasa tiba-tiba dan tak terduga."
"Apa dia Adi?"
"Ya. Aku lihat dia memerhatikan kita. Makanya aku cari ruangan umum, tapi sepi."
Entah kenapa, tiba-tiba Adi bisa lewat di sana, padahal tadi sudah terlihat pergi.
"Aku sengaja memancingnya apakah dia akan terus memerhatikan kita."
"Mulai sekarang kamu sudah jadi istriku. Aku janji akan menjagamu. Meskipun mungkin di luar nanti, aku tak sehangat ini. Tapi dalam diriku, aku tulus menyangimu, Han."
Hana tersipu dengan ucapan Tirta. Setengah kegelisahannya pun hilang, mengingat kecemasannya apakah Tirta akan menjadi suami yang menyebalkan atau tidak.
Nyatanya, saat itu ia membuktikan. Tirta, suaminya kini akan menjaganya penuh kasih.
Adi masih melihat Tirta dan Hana berduaan. Kecemburuan kian terlihat dari wajahnya.
"Kamu tahu kan Adi juga mengagumimu?" tanya Tirta.
"Aku sebenernya tak tahu. Aku hanya berusaha baik ke semua orang. Tapi Nia yang memberitahuku tentang Adi," tutur Hana.
"Ok. Mulai sekarang harus lebih menjaga diri, ya? Aku memang bukan laki-laki sempurna di dunia ini yang punya banyak kelebihan."
"Tapi... sebagai suamimu, aku bertanggung jawab atas apapun yang menimpamu kini. Jadi aku minta tolong, jaga diri saat aku tak di sampingmu, ya?"
"Dan lebih hati-hati dengan Adi. Kalau ada yang mencurigakan di kampus nanti, atau dimanapun segera kabari aku. Ok?"