"Pun Hana. Hana sangat sayang padanya."
"Namun apa? Menjelang hari pernikahan, Bu. Ia tiba-tiba pergi begitu saja. Hana bisa apa? Apa Hana mau mengutuknya?"
"Dan yang kedua, Ibu juga masih ingat bukan? Bapak juga mulai menerimanya dengan baik. Pun Ibu yang selalu mendukung Hana juga. Namun, apa? Dia malah main di belakang Hana."
"Hana sangat drop. Depresi kala itu. Hana sempat berpikir apakah Hana tak layak menikah? Apa Hana sangat pantas disakiti?"
"Hana berusaha jalani hidup, layaknya orang yang diberi motivasi dan mimpi-mimpi. Apa motivasi dan mimpi itu? Sesederhana aku tak mungkin membuat Bapak dan Ibu bersedih melihatku terpuruk."
"Aku tak ingin Bapak dan Ibu bertambah sedih melihatku kehilangan harapan hidup."
"Sampai suatu hari menyedihkan itu datang. Ternyata, Tuhan juga mengambil Bapak dari kehidupanku. Tepat saat Hana percaya bahwa segala duka bisa bersanding dengan bahagia."
"Hana masih sangat ingat pesan Bapak dulu. Dengan wajah tersenyum. Terlihat begitu ceria, beliau berpesan ingin melihat Hana menikah dan hidup bahagia."
"Bukankah itu sederhana, Bu?"
Ibunya memeluk Hana seketika. Air mata Hana tak terbendung lagi.
"Nak... Ibu tahu kamu anak yang berbakti. Ceria seperti Bapakmu. Namun, kalau dengan pesan Bapakmu kamu melakukan ini, Ibu yakin Bapak juga akan menanyakan hal yang sama dengan Ibu."
"Ibu cuma tak ingin melihatmu berduka kesekian kalinya."
"Ya. Hana tahu. Tapi Hana tak melakukan ini karena Bapak. Tidak sepenuhnya. Ibu masih ingat juga kan? Gimana kondisiku saat kembali mempercayai seorang laki-laki?"
"Kembali jatuh cinta, menyimpan nama, kenangan dan segala dukanya. Sebagaimana sepasang kekasih yang memadu cinta. Ibu ingat kan laki-laki itu?"
"Sudah, Nak. Tak usah dilanjutkan. Ibu mengerti sekarang." Ibunya menepuk-nepuk pelan pundak Hana. Memastikan dan menenangkan hati anaknya.
"Tidak. Hana cuma ingin melanjutkan cerita itu. Meskipun pahit. Hana yakin bisa menceritakannya kembali."
"Di hari pernikahan. Ya. Rencana pernikahan ketiga, tapi belum dikehendaki Tuhan juga. Bedanya, ini bagian paling menyakitkan. Namun, setelah Hana pikir juga cara Tuhan membahagiakanku."
"Hum?"
"Ya. Memang saat itu dia menghianatiku begitu miris. Namun, bukankah itu baik? Setidaknya Tuhan masih menjagaku untuk tak berlama-lama menjadi istri laki-laki tak setia sepertinya."
"Ya. Seharusnya aku bahagia kan, Bu?" Hana berkaca-kaca mengucapkannya. Bulir mata memang tak jatuh kembali. Namun, Ibunya seperti bisa merasakan betapa hati anaknya sangat pilu.
"Hana sudah berusaha menerimanya. Namun, dengan cara inilah Hana berusaha membalut itu semua. Aya tak ingin menyimpan nama laki-laki sebelum pernikahan itu benar-benar terjadi."
"Setidaknya, kalaupun hal itu terulang kembali, aku tak punya ingatan banyak tentangnya. Karena aku tak pernah menyimpan namanya."
"Dalam waktu sekarang ini, aku lebih takut menyimpan daripada merelakan, Bu."
"Ibu mengerti kan sekarang?" Hana merebahkan tubuhnya di pangkuan Ibu.
"Ssst... sudah, Nak. Ibu mengerti. Maafkan Ibu membuatmu menangis."
"Ibu tak perlu meminta maaf. Hana masih beruntung masih ada Ibu yang bisa dengarkan keluh dan duka Hana."
"Hana yang minta maaf belum bisa menunaikan pesan Bapak."
"Sudah, Nak. Bapak di sana pasti bahagia, kalau melihat putrinya bahagia. Semoga keputusan yang kamu buat ini, bisa jadi jalan bahagiamu, Sayang."
"Aamiin. Terima kasih sudah mengerti, Bu." Hana memejamkan mata di pangkuan Ibunya. Seperti anak kecil yang sangat merindukan kasih sayangnya.
Dalam benaknya sebenarnya bertanya-tanya, "Apa benar ini keputusan yang akan membahagiakanku?" "Apa yakin aku bisa menikah dan mencintai orang yang bahkan tak ingin kusimpan namanya sama sekali? Entah kenapa sekarang aku merasa yakin dan ragu dalam satu waktu."
***
Dua bulan kemudian...
Hari itu tiba. Hari dimana penantian jadi hal yang harus dilakukan. Apakah hari itu juga dinantikan kedua orang itu?
"Sejak aku bertemu dengannya, hanya kebencian yang kurasa, dalam sekian bulan, takdir memerjalankanku menikah dengannya. Ya Rabb, apakah ini yang terbaik?"
"Nak... kamu sudah siap?"
"Iya, Bu."
"Nia dimana?"
"Tadi dia di belakang, Bu. Mungkin bentar lagi kesini."
Baru saja dikatakan, perempuan berwajah ceria itu hadir dengan senyum sumringahnya.
"Hana! Aku akan di sampingmu."
"Bu..." sapa Nia sambil mencium tangan Laras, Ibunya Hana.
"Nak... doakan Hana, yah?" pinta Ibunya Hana.
"Iya, Bu. Aku akan selalu doain Hana yang terbaik."
Dari jarak beberapa meter, suasana meriah memenuhi pandangan mata Hana. Berbagai tamu datang menyambut hari pernikahan itu. Hari pernikahan dua orang yang sama sekali tak tertebak akan menikah.
Tirta, laki-laki karismatik yang dikenal sangat misterius di kampusnya. Pintar, cukup diidolakan banyak perempuan di kampusnya. Meskipun begitu, Tirta tak peduli segala hal tentang ketenaran.
Hana, perempuan pecinta novel yang sama sekali tak menyukai sosok seperti Tirta. Entah takdir mana yang memerjalankannya menjalani pernikahan itu. Keyakinan, barangkali semacam energi terbesarnya memutuskan pilihan berat itu.
Kabar pernikahan Hana dan Tirta menjadi buah bibir hampir di seluruh kampus. Hana, mahasiswa berprestasi yang populer juga sangat diincar para laki-laki di kampusnya. Tak terkecuali oleh sahabat Tirta sendiri, Adi.
"Gila! Tega kau!" gerutu Adi, melihat Tirta yang sedang bersiap mengucapkan ijab qabul di depan penghulu.
Rambut Tirta yang awalnya gondrong, sedikit dipotong, tapi masih terlihat panjang. Hanya saja kini lebih nampak rapi. Rahang tegas dan hidung mancungnya adalah suatu padu padan ciptaan Tuhan yang sangat elegan.
Matanya tajam tapi teduh. Hanya bibirnya yang cukup pelit untuk tersenyum. Ia terlihat monoton, jarang sekali nampak ceria. Entah apa yang membuat mahasiswi di kampus begitu tergila-gila pada sosoknya.
"Gue gak nyangka. Diam-diam lo nusuk gue dari belakang, Tir!" Adi terus menggerutu sedemikian rupa. Menatap Tirta yang sebentar lagi akan mengucapkan janji sakral itu.
"Nak... kamu terus berdoa, ya. Sebentar lagi Nak Tirta akan mengucapkan janji." Pinta Ibunya.
"Iya, Bu."
Hana memandang Tirta dari kejauhan. Wajahnya teduh, meskipun tak tersenyum. Ada aura berbeda yang dilihatnya hari ini. Bukan Tirta yang menyebalkan. Pun, bukan Tirta yang seperti jadi musuh bebuyutan.
"Ya Rabb, jika dia yang terbaik bagi dunia dan akhiratku, lancarkanlah."
Para hadirin dan tamu undangan juga mulai lebih khidmat. Menanti janji suci itu diikrarkan Tirta. Nuansa berdebar itu barangkali merasuk siapa saja yang melihatnya. Kecuali Adi.
Dia masih mematung kesal melihat sahabatnya itu. Gerutu di wajahnya kian kentara begitu Tirta mulai mengucapkan ijab qabul.
"Saya terima nikah dan kawinnya Hana Amalia binti Herman Nugraha dengan mas kawin dan perlengkapan sholat tersebut dibayar tunai," dengan lancar, Tirta mengucapkan janji suci itu.
"Bagaimana saksi, sah?"
"Sah!!"
"Alhamdulillah...."
Doa dilantunkan penghulu dan diaamiinkan para hadirin yang datang di sana. Kecuali Adi, yang tak mengangkat tangan. Wajahnya kian beringsut kecewa.
Ia masih mematung melihat suasana yang dibencinya itu.
"Alhamdulillah, Nak. Sekarang kamu sudah sah menjadi istri Nak Tirta," ucap Ibunya.
Hana menitikkan bulir mata. Entah, apa yang kini sedang dirasakannya.
"Nak... kamu ndakpapa?" tanya Ibunya.