Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Ini Kisah Cintaku Seorang Wanita Mandul

🇮🇩Blue_Moon99
--
chs / week
--
NOT RATINGS
12.5k
Views
Synopsis
Ini kisah tentang aku, Risma Anindira, wanita mandul yang berjuang untuk menemukan cinta sejati. Berawal dari kisah hancurnya rumah tanggaku karena orang ketiga, aku dipertemukan dengan Haris, seorang Dokter Spesialis Anak yang bekerja di rumah sakit tempat aku bekerja. Kisah kami begitu indah pada awalnya, seperti kisah cinta di negeri dongeng. Hingga sampai pada saat ibu mertuaku menginginkan seorang cucu, masalah pun bermunculan satu per satu. Akankah pernikahanku dengan Haris dapat dipertahankan? Atau aku justru akan dipertemukan dengan lelaki lain?
VIEW MORE

Chapter 1 - MEMERGOKI SUAMIKU BERSELINGKUH

Siapa orang bodoh yang mau menjemput rasa sakit hatinya sendiri? Itu aku. Aku yang seharusnya duduk diam di rumah dan menunggu suamiku pulang, memilih menyelidiki kebenaran. Buah dari rasa curigaku selama ini.

"Sayang, malam ini kamu terlihat sangat tampan. Aku merasa beruntung bisa tidur bersamamu malam ini. Di rumah pasti istrimu sedang menunggu dengan ekspresi menyedihkan. Kasian sekali dia." Suara manja seorang wanita yang tengah menggoda seseorang membuat genangan air di mataku. Aku akui, aku tidak bisa menggoda lelaki sebaik dia.

Selama ini, aku hanya melayani suamiku seperti istri pada umumnya. Menyiapkan makan, menyiapkan baju, dan tentu saja pelayanan ranjang yang ala kadarnya. Kami hanya akan memulai dan berakhir begitu saja. Tidak ada rayuan atau godaan manja yang aku lontarkan pada suamiku.

"Kamu memang selalu manja, Sayang. Sadarkah kamu kalau tingkahmu ini sangat menggemaskan? Aku yang merasa beruntung memiliki pacar secantik kamu. Masalah istriku, abaikan saja dia. Aku sudah bosan dengan wanita monoton seperti dia." Suara lembut lelaki itu terasa sangat menusuk gendang telingaku. Suara itu sangat aku kenali, suara milik Ramdan, suamiku. 

"Kamu bisa saja, Mas. Bisa-bisanya kamu bilang begitu ke orang yang sudah menemani kamu selama bertahun-tahun. Kalau dia mendengarnya, dia bisa sakit hati." Wanita itu terdengar tertawa kecil.

Aku sudah mendengarnya. Mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Sakit. Rasanya sakit sekali. Penghianatan ini tidak bisa aku terima begitu saja.

Di depan kamar 505 aku hanya bisa berdiri mematung dengan tetesan cairan bening membasahi pipi. Pada akhirnya aku mengetahui semuanya, setelah selalu disuguhkan dengan penyangkalan dari mulut lelaki yang sudah menemani hidupku selama lima tahun terakhir. Hari ini aku bisa membuktikan kalau semua dugaanku benar. Dia berselingkuh dengan teman sekantornya. 

Pantas saja Ramdan selalu marah setiap kali aku mengungkit kejanggalan sikapnya belakangan ini. Dia sering pulang larut malam dengan bau parfum wanit melekat di pakaian yang dia kenakan. Ramdan bahkan bersumpah kalau dia tidak pernah bermain gila dengan wanita lain setiap aku menuntut penjelasan. Apa artinya sumpah itu? Nyatanya aku sekarang berdiri di depan ruangan tempat dia memadu kasih dan menghianati pernikahan kami.

Aku akui, aku memang bukan wanita sempurna. Selama lima tahun pernikahan kami, aku belum bisa memberikan Ramdan keturunan. Apa aku yang bersalah untuk itu? Apa aku pantas diperlakukan seperti ini oleh orang yang aku cintai?

Sebagai seorang wanita, aku juga ingin segera mengandung, aku ingin memiliki seorang bayi, tetapi takdir itu belum berpihak padaku. Aku harus apa? Aku sudah berusaha dengan konsultasi ke berbagai tempat, baik medis ataupun non medis. Semua nihil. Bahkan mungkin menangis setiap malam pun tidak akan membuat seorang bayi hadir di dalam rahimku.

Karena hal ini juga, ibu mertuaku selalu memberikan sindiran yang sangat pedas padaku. Terutama saat aku berkumpul dengan keluarga besar Ramdan. Kakak dan adik ipar kami semuanya sudah memiliki momongan. Mereka bahkan tidak sungkan membandingkanku dengan wanita-wanita lain di luar sana. Jangan tanya rasanya, karena itu sangat menyakitkan. Bukan hanya aku, sepertinya semua wanita juga akan merasakan hal yang sama saat diperlakukan seburuk itu di lingkungan keluarga suaminya.

Hari ini, aku sengaja membuntuti suamiku. Semua berawal dari sebuah pesan singkat yang aku temukan di ponselnya semalam. Dia dan teman wanitanya itu sudah membuat janji untuk pergi ke suatu tempat. Mereka tidak menjelaskan secara gamblang kemana mereka akan pergi, tetapi sebagai seorang istri aku seperti sudah memiliki firasat kalau mereka akan pergi ke hotel. Dan ya, firasatku memang benar.

Aku merasa, hari ini aku harus menuntaskan semuanya. Aku sudah tidak sanggup lagi mempertahankan rumah tangga yang sudah tidak layak untuk dijalani. Aku ingin mencari kebahagiaanku sendiri dan aku rasa aku pantas untuk mendapatkan itu. Dia memang aku cintai, tetapi bukankah mencintai saja tidak cukup dalam sebuah hubungan? Aku juga ingin dicintai, aku ingin menjalani pernikahan yang indah, dan tentunya aku tidak mau ada orang ketiga yang muncul dalam kehidupan pernikahan kami.

Selama ini aku sudah cukup sabar dengan semua sikap tidak baik Ramdan belakangan ini. Dia memperlakukanku dengan tidak baik, seperti orang asing, jauh dari kesehariannya dulu, sebelum wanita itu masuk ke dalam kehidupan rumah tangga kami.

Di dalam genggamanku, aku memegang kunci cadangan kamar itu. Dengan sedikit trik, aku berhasil mendapatkannya. Genggaman tanganku tidak begitu kokoh dan sedikit gemetar. Mau tidak mau aku harus melakukan ini, aku harus memergokinya hingga dia tidak bisa menyangkal lagi. Aku ingin melihat orang yang aku cintai tengah bercinta dengan orang lain agar mataku terbuka, dia tidak pantas aku cintai. Aku ingin mengakhiri hubungan tidak sehat ini.

Dengan tangan yang gemetar, aku memberanikan diri memasukan anak kunci pada induknya. Rasa sakit dan sesak mendadak mendera dadaku. Dengan sekuat tenaga aku membungkam mulutku sendiri untuk tidak bersuara dalam tangis yang tidak bisa aku tahan. Meskipun sebenarnya aku ingin berteriak dan melepaskan segala beban yang mendadak menimbunku. Oh Tuhan, berikan aku kekuatan. Berikan aku kelapangan hati untuk melihat kenyataan ini.

Perlahan ku ulurkan tanganku untuk menyentuh gagang pintu kamar itu. Satu tanganku berusaha menghapus air mataku yang masih deras mengucur. Aku tidak mau Ramdan melihat kehancuranku. Aku tidak bisa membiarkan dia merasa menang dalam permainan ini. Aku membenarkan tatanan hijabku sekenanya, supaya tidak terlihat terlalu berantakan. Aku menghela napas, menyiapkan diriku untuk lebih siap menghadapi kenyataan yang sebentar lagi akan aku buktikan kebenarannya.

Aku menarik pasti gagang pintu kamar itu. Perlahan aku membukanya dengan sangat pelan. Suara-suara bermanja masih terdengar, merajam pendengaranku. Sekali lagi aku menutup mulutku sendiri. Kali ini aku seperti ingin mundur dan mengurungkan niat untuk memergoki mereka. Rasa sakit di hatiku semakin terasa. Tuhan, aku sakit. Bagaimana aku bisa baik-baik saja saat melihat orang yang aku cintai berada dalam satu ranjang dengan wanita lain?

Sekali lagi, aku gunakan kedua tanganku untuk mengelap kasar air mataku. Ku gunakan ujung hijabku untuk menyeka ingus yang mengganggu pernapasan. Aku mencoba meyakinkan diriku kalau aku pasti bisa melewati semuanya. Aku akan kuat melihat lelaki yang aku cintai berkhianat. Dengan mantap aku melangkahkan kakiku untuk masuk lebih dalam. Apa yang aku lihat membuat hatiku terasa terbakar. Suamiku membelakangiku dengan tubuh terpampang tanpa pakaian, dia tengah mencumbui seorang wanita yang berpakaian setengah terbuka di hadapannya. Aku sudah tidak tahan lagi melihatnya. Sungguh aku menyesal telah mencintai lelaki seperti Ramdan.

"Jadi ini pertemuan penting yang kamu bicarakan tadi pagi, Mas? Jadi ini hal penting yang tidak bisa kamu tinggalkan? Bagus. Aku tahu sekarang. Pekerjaan penting Mas adalah bercinta dengan wanita lain," ucapku sedikit menghina. Itu hanya bahasa kiasan supaya aku terkesan baik di hadapannya. Menyembunyikan rasa sakitku di relung hatiku yang terdalam.

Ramdan terkejut. Dia menatapku dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Mungkin dia malu karena aku memergokinya, merasa bersalah, atau justru marah karena aku lancang mengikutinya sampai ke tempat ini.

"Risma, bagaimana bisa kamu ... ." 

Aku memajukan telapak tanganku, memberinya tanda kalau aku tidak ingin mendengarkan kalimat apapun keluar dari mulutnya. Di sini cukup aku yang berbicara. Apapun yang dia katakan, tidak akan bisa mengubah rasa sakit yang sudah menggerogoti hatiku.

"Kamu tahu, Mas? Aku sudah berulang kali memaksa hatiku untuk tetap percaya padamu. Aku berulang kali menyangkal prasangka buruk tentang Mas yang menghianati aku. Apa yang aku lihat sekarang ini menamparku, membuatku sadar kalau aku terlalu bodoh. Aku terlalu lemah menghadapimu. Sekarang aku ingin memberimu kebebasan, kita memilih jalan sendiri-sendiri untuk mencapai kebahagiaan. Aku pamit. Mungkin ini hari terakhirku mencintaimu, Mas. Aku mengabulkan keinginanmu untuk menikmati semua kebahagiaan yang sedang kamu raih sekarang. Maaf, kalau selama ini aku belum bisa menjadi istri yang baik untukmu," ucapku dengan intonasi jelas sambil menahan emosi dan air mata yang akan kembali tumpah.

Aku melepas cincin yang telah melingkar di jariku selama lima tahun dan mejatuhkannya begitu saja ke lantai. Tidak peduli dimana cincin itu akan berhenti menggelinding. Aku berbalik tanpa mempedulikan reaksi dan teriakan Hamdan yang meneriakkan namaku. Hari ini aku sudah sangat siap untuk mengurus gugatan perceraian kami. Dengan langkah pasti aku keluar dari kamar tempat suamiku memadu kasih. Aku berlari sekuat tenaga setelah berhasil keluar dari sana. Tuhan yang paling tahu bagaimana perasaanku sekarang. Hidupku terasa hancur lebur.

Aku pernah berpikir kalau setelah menikah aku akan menemukan kebahagiaan, tetapi tidak. Aku justru mendapatkan kehidupan yang jauh lebih buruk dibandingkan saat aku seorang diri. Mungkin ini cara Tuhan menghukumku, seorang yang terlalu berharap dan terlalu mencintai makhluk ciptaanNya.