Chereads / Ini Kisah Cintaku Seorang Wanita Mandul / Chapter 3 - PESONA SANG DOKTER

Chapter 3 - PESONA SANG DOKTER

Waktu berlalu begitu cepat. Aku berhasil melewati pagi hariku dengan baik. Menyelesaikan pekerjaan yang semestinya aku kerjakan. Menyisakan lelah yang sekarang menghinggapi tubuhku. Tidak masalah, ini baru hari pertama. Nantinya aku akan terbiasa dengan pekerjaanku sebagai tukang bersih-bersih.

Di jam makan siang, aku menyempatkan diri untuk mengisi perutku di kantin rumah sakit. Sedikit canggung memang, karena aku hanya sendirian, dan memang belum ada yang ku kenal dengan baik di sini. Aku sengaja memilih menu makanan yang sederhana, sekali lagi itu adalah trikku untuk meminimalisir pengeluaran. 

Seporsi nasi putih, tempe goreng dan sambal sudah cukup untuk mengenyangkanku. Segelas teh hangat sengaja kupilih karena aku tidak terlalu suka minuman dingin.

Kalian pernah merasakan seperti hilang dan tidak punya siapa-siapa di suatu tempat? Itu yang sedang aku rasakan sekarang.

"Maaf, boleh saya duduk di sini?" suara Haris mengejutkanku. 

Aku menatap ke arah sumber suara dan dia memang benar-benar Haris. Hampir saja aku mengira kalau diriku sedang berhalusinasi. Siapa yang akan menyangka, dia mau makan siang bersamaku yang notabene hanya tukang bersih-bersih di rumah sakit tempatnya bekerja.

"Boleh, silakan Dok." Aku tidak bisa menolaknya. Bukan tanpa alasan, aku orang baru di rumah sakit ini, aku harus mencoba membuka diri untuk setidaknya mengenal salah satu orang yang mungkin bisa membantuku di masa depan.

Haris sepertinya orang yang baik. Dia tidak hanya memiliki paras yang rupawan,  dia ramah, dan juga sopan. Sebagai wanita aku merasa lebih dihargai. Caranya menatap juga sangat lembut. Hatiku hampir meleleh karenanya.

"Jangan panggil saya dok, panggil saja Haris. Sepertinya kita seumuran," katanya tanpa sungkan. Ini nyata, tetapi aku tetap ingin memastikan kalau telingaku tidak salah mendengar.

"Saya sungkan, takutnya jadi tidak sopan. Saya hanyalah seorang tukang pel di rumah sakit ini, bagaimana bisa saya selancang itu," sahutku dengan sangat hati-hati.

Haris tersenyum. Sungguh, senyuman lelaki itu seperti senyuman maut. Aku tersedot dalam pesonanya. Padahal selama setahun berpisah dengan Ramdan, aku tidak tertarik dengan lelaki mana pun. Tapi pesona Haris memang susah untuk ditolak. Lelaki itu benar-benar menarik. Beruntung akal sehatku tidak bosan untuk mengingatkan kalau dia dan aku tidak berada di level yang sama.

"Santai saja. Kamu makan nasi, saya juga makan nasi. Jadi apa bedanya kita? Dalam hubungan pertemanan, saya tidak mementingkan pekerjaan atau status sosial seseorang. Anggap saja kita ini sama, jangan sungkan," kata Haris lembut. Lagi-lagi dia tersenyum. Senyumnya terlalu murah, kepribadiannya juga hangat.

Sungguh luar biasa. Seorang dokter muda seperti Haris tidak kusangka dia sangat rendah hati. Kebanyakan seseorang yang memiliki pangkat akan memilih siapa yang pantas menjadi temannya atau tidak. Ternyata Haris tidak termasuk di antara mereka. Dia sosok yang istimewa.

"Baik kalau begitu, Dok ... eh, maksud saya, Haris." Aku sedikit tersipu. Tuhan, jangan biarkan aku terbawa perasaan karena kebaikan Haris. Jangan biarkan aku terbawa arus perasaan yang terus mengalir deras ini. Apalagi ini baru hari pertama kami bertemu. Rasanya terlalu cepat.

"Nah, begitu. Kita jadi terlihat lebih akrab. Kamu jangan sungkan kalau misalnya butuh bantuan, saya akan siap sedia membantu selagi mampu." Setiap kata yang keluar dari mulut Haris benar-benar mengalun merdu di telingaku. Tidak kusangka dia bahkan mau menawarkan bantuan padaku. Padahal kami baru saja saling mengenal.

"Terima kasih sebelumnya," jawabku singkat. Lidahku benar-benar kelu, sehingga aku tidak tahu harus berkata apa. Haris seakan mengintimidasi, padahal dia tidak berbuat apa-apa.

"Kamu warga asli kota ini?" Haris seperti sedang mengorek informasi tentang diriku.

"Bukan, saya baru tinggal di kota ini. Saya sedang berusaha menemukan kehidupan baru," jawabku jujur.

Aku memang sedang berkelana, mencari ketenangan yang tidak aku dapatkan saat tinggal di rumah orang tuaku. Jarak rumah orang tua yang dekat dengan rumah yang pernah ku tinggali bersama Ramdan memang membuatku sedikit resah. Belum lagi aku dengar baru-baru ini dia berencana menikahi selingkuhannya. Sebagai seorang wanita yang pernah menjadi bagian dari hidupnya aku masih merasakan goresan cemburu dan sakit hati, meskipun tidak banyak.

"Jadi kamu tinggal seorang diri di kota ini?" 

Aku mengangguk.

"Kamu hebat. Di kota yang tidak ramah terhadap perempuan ini kamu berani tinggal seorang diri, saya salut dengan keberanian kamu," pujinya.

"Kamu berlebihan, Ris. Saya yakin, saya bukan satu-satunya perempuan yang tinggal seorang diri di kota ini," sahutku seraya tertawa kecil tanpa sadar.

Haris tampak memperhatikanku lalu dia ikut tertawa kecil.

"Ternyata kamu bisa tertawa, saya pikir kamu akan terus bicara dengan serius," komentarnya. Aku tidak menyangka kalau dia menganggapku sekaku itu.

"Saya juga manusia, pasti bisa tertawa, dong. Maaf, saya ingin bertanya hal pribadi, ini supaya tidak terjadi salah paham di kemudian hari. Kamu sudah menikah?" tanyaku serius.

Aku tidak ingin terjebak. Aku takut kedekatanku dengan Haris justru menjadi bumerang. Aku juga tidak ingin statusku menyebabkan aku tertuduh sebagai wanita penggoda atau perebut suami orang. Sebelum mengenal Haris lebih jauh, aku pikir mengetahui statusnya bukanlah hal yang salah.

"Aku belum menikah. Pacar saja tidak punya, siapa yang mau saya nikahi?" Haris tergelak. Ya Tuhan, kenapa aku senang saat mengetahui dia masih sendiri? Apa yang aku harapkan dari pertemuanku dengan Haris?

"Masa sih, seorang yang seperti kamu tidak memiliki pacar, sepertinya tidak mungkin," ledekku. Aku sedikit memberanikan diri.

"Atas dasar apa kamu bisa bilang seperti itu? Tidak semua gadis yang mendekati saya berhasil menarik perhatian saya. Bahkan diantaranya malah bikin saya jadi ilfil. Saya juga bukan tipe orang yang bisa sembarangan memilih pasangan," jelasnya. Oh, ternyata Haris tipe orang yang pemilih juga. Ya ... itu wajar. Dia memiliki pangkat, wajah tampan, postur tubuh bagus, jadi tidak mungkin dia akan menikah dengan sembarang orang, bukan?

"Jangan kebanyakan milih, nanti dapatnya malah salah, loh," ledekku lagi. Suasana di antara kami sedikit mencair.

"Sebenarnya pemilihnya saya itu bukan tergantung ke fisik atau materi, tetapi lebih ke kepribadian dari si gadis tersebut. Masalah dia cantik atau profesinya apa, itu penilaian yang kesekian dan bagi saya tidak begitu penting," jelasnya. Oh, kali ini aku salah menduga. Ternyata apa yang ada di pikiranku berbeda dengan apa yang ada di pikiran Haris.

Entah mengapa penjelasan dia semakin membuatku tertarik. Seorang lelaki dengan profesi dokter, tampan, ramah dan rendah hati sudah sangat langka untuk ditemui dan aku bertemu salah satu dari mereka. Dia sangat luar biasa, aku tidak tahu lagi harus berkata apa. Intinya aku sangat kagum.

"Wah, jarang sekali ada pria seperti kamu. Biasanya seorang lelaki selalu memandang wanita dari segi fisik. Dia tidak peduli seperti apa kepribadian wanita itu yang penting secara visual mereka menarik," sahutku, ini berdasarkan pengalaman pribadiku dengan Ramdan.

"Jangan samakan saya dengan mereka. Saya punya cara pandang tersendiri pada sosok wanita. Saya suka pada sosok wanita yang mandiri seperti kamu," katanya. Aku sedikit terkejut, tetapi aku pikir itu hanya ucapan asal.

Sungguh, perkataan Haris sempat membuatku berangan-angan, seandainya dia menjadi pengganti Ramdan. Meskipun aku sadar, khayalanku itu terlalu muluk-muluk. Bagaimana mungkin seorang Haris mau menikahiku yang seperti ini. Sepertinya tingkat kehaluanku sudah sangat parah.

"Saya do'akan semoga kamu bisa mendapatkan jodoh yang sesuai dengan impianmu. Banyak sekali wanita di luar sana yang mandiri, saya yakin kamu bisa menemukan salah satu dari mereka." Aku menyemangati Haris.

Dia lelaki yang baik, aku yakin dia akan dipertemukan dengan seorang perempuan yang baik dan menyempurnakan hidupnya. Bagiku, bisa berteman dengan seorang lelaki seperti Haris sudah merupakan keberuntungan.

"Amin, do'a terbaik juga untukmu, Risma. Kamu juga wanita yang baik. Kamu pasti akan menemukan seseorang yang terbaik," katanya lembut.

Seandainya lelaki itu kamu, Haris. Aku sadar, harapanku terlalu besar. Sekilas berharap sepertinya sah-sah saja, kan? Oh Tuhan, tolong hilangkan perasaanku pada Haris. Dia tidak mungkin bisa aku gapai kecuali engkau menakdirkan dia untukku.