Mendengar tangis bayi Rima yang menelusup tajam, Bary menjeda langkah. Lalu, apabila ia coba menghayati gaung tangis tersebut, ianya laksana lembing api yang menerobos jauh hingga ke dinding batin. Karenanya, kantuk dan letih Bary, sirna di seketika itu juga.
"Ya, Allah, semoga itu bukan pertanda buruk," gumam Bary sambil melanjutkan langkah.
Bary resah.
Tadi malam, beberapa menit pasca kelahiran bayi Rima, saat tengah bermenung di depan pintu gubuk, sayup-sayup terdengar suara burung 'Koa'.
Dalam sugesti masyarakat setempat, saat burung malam tersebut memperdengarkan suara tunggal, entah jika hanya mitos atau apa, tetapi konon burung tersebut tengah memberi kabar, bahwa akan ada seseorang yang akan segera 'Pergi jauh'. Dia bisa orang tua, saudara, kerabat, dan terkadang adalah diri sendiri.
Tadi malam Bary sempat bertanya-tanya, siapakah salah satu di antara mereka yang akan pergi lebih dulu. Bary berpikir, andai sugesti itu benar adanya, biarlah Bary saja yang mewakili semuanya.
"Tuhan, tolong panjangkan umur kami, aamiin," doa Bary dalam hati.
Bary sudah tiba sekian menit barusan. Namun, ia sempat diri merenung di bagian belakang gubuk. Usai yang demikian, barulah ia naik ke gubuk.
"Assalamualaikum, Kak! Kenapa dia?" salam Bary.
"Wa'alaikum salam," sambut Rima. "Ada bayamnya, Dek?"
"Ada, Kak," sahut Bary sambil menyodorkan kresek berisi belanjaan yang ia bawa pulang.
Rima begitu kusut, sehingga tidak menyadari apa yang dibawa pulang oleh Bary. Padahal, daun bayam tersebut jelas-jelas tersembul keluar dari tas kresek yang ada di genggaman Bary.
Lalu, dengan tangan bergetar, Rima memindahkan bayi ke salah satu lengannya, kemudian meraih tas kresek yang Bary sodorkan. Bahkan sampai di sini, bayi Rima masih saja menangis.
Setelah itu, satu tangan menenteng tas kresek, dan tangan yang lain menggendong bayinya, Rima beringsut ke bagian belakang gubuk. Di situ, ia duduk tepat di depan tungku. Selang kemudian, mulailah Rima meraih pisau yang terselip di dinding.
Melihat itu, buru-buru Bary merebut pisau dan bayam dari tangan Bary. "Biar saya saja, Kak," ucap Bary.
"Kamu tidak capekkah?"
"Tidak, Kak," sahut Bary. "Saya masih bisa kalau hanya untuk potong-potong bayam."
Persendian Bary sesungguhnya serasa hendak copot dari persendiannya. Bary benar-benar letih di sepanjang hari ini. Akan tetapi, Bary tidak mungkin membiarkan Rima kepayahan seorang diri.
Tidak berapa lama kemudian, Rima kembali menguca. "Kakak mau minta tolong lagi kalau kamu tidak capek, Dek!" ucapnya.
Bary menoleh, menatap Rima. "Ya, Tuhan," batin Bary. Bukan hanya tangan, tetapi bibir Rima pun juga ikut gemetaran. Selain itu, bibir Rima tampak pucat.
"Kakak kenapa? Kakak sakit, ya?" Bary tidak bisa lagi menyembunyikan resah.
"Tidak, kakak hanya belum makan saja," kilah Rima.
Rima tahu, Bary juga tengah keletihan. Akan tetapi, Rima tidak punya pilihan. Jika bukan pada Bary, pada siapa lagi, Rima meminta tolong? "Tolong Kakak dulu ya!" ucap Rima kemudian.
"Apa itu, Kak?" sambung Bary.
"Tolong turun belikan susu. Air susu kakak hanya setetes-setetes, mungkin inilah yang bikin anak ini menangis terus. Mungkin dia lapar kasian ini, Dek! Turun sekarang ya! Mumpung belum malam."
"Iya, boleh, Kak!" sahut Bary. "Tapi Kak, saya tidak punya uang lagi."
Rima memaksakan diri menghiasi wajah kusutnya dengan satu senyum kecil. Karena apa? Padahal sangat jelas, Rima begitu letih.
"Kamu saja yang tidak mau bawa uang kakak, padahal tadi kakak sudah suruh, 'kan?" ucap Rima.
"Di mana uangnya, Kak?" tanya Bary.
"Itu! Masih di tempatnya, Dek," terang Rima sambil mengarahkan wajah ke kantung kain hitam yang tergeletak di atas tikar di bagian tengah gubuk.
"Bawa lima belas ribu. Beli susu bungkus yang dua ribuan dua bungkus, sama beras satu liter. Susu putih, ya! Pergilah! Pulang nanti, sayurnya sudah masak. Kamu belum makan, 'kan?" tambah Rima.
Tanpa kata, Bary beringsut meraih sejumlah uang dari kantung kain hitam yang dimaksud, selanjutnya beredar keluar.
Dari atas gubuk, Rima mendengar suara air yang dituang ke dalam gumbang air di kamar mandi sana. "Tidak usah lagi ambil air, Dek! Sudah malam!" Rima coba mencegah.
"Tidak apa-apa, Kak! Sekalian," balas Bary dari kamar mandi.
Kamar mandi mereka ini dalah sebuah ruang persegi empat yang berada di tanah, beberapa langkah dari badan gubuk. Berlantaikan bumi, bertiangkan tajakan kayu bulat seukuran lengan orang dewasa. Keempat sudutnya berdindingkan daun kelapa kering. Sedangkan atapnya adalah atap ciptaan Tuhan, yang berada jauh di atas sana.
Apa yang diucapkan oleh Rima barusan memang ada benarnya. Sinar matahari tinggal hanya berupa pantulan semburat merah dari ufuk barat sana, menyapa pucuk-pucuk pepohonan dengan salam damainya. Sedangkan di bumi, tinggallah piasnya yang berbujur dari barat ke segala arah. Ianya tinggallah merupa remahan cahaya samar-samar, seperti samarnya nasib.
Hari sebentar lagi gelap. Akan tetapi, jarak yang akan ditempuh Bary kali ini tidak terlalu jauh. Hanya sekitar satu kilometer dari gubuk mereka. Warung milik Haji Ghofur, sang juragan kayu olahan, dan pengusaha bata merah, adalah tempat yang hendak Bary tuju selain sumur gali di hutan jati milik Pemerintah sana
Ayunan langkah Bary kali ini tidak bisa secepat sebelum-sebelumnya. Beberapa puluh meter membelakangi gubuk, barulah Bary tersadar ternyata dia sudah terlalu letih setelah seharian mondar-mandir ke sana ke mari.
Pun, setelah kurang lebih tiga puluh menit berjalan kaki dengan membawa pikulan beserta jerigen kosong, akhirnya tiba juga Bary di halaman warung terbesar yang ada desa ini. Desa yang dimaksud ini, dua desa dari desa 'nenek moyang' Bary, tempat di mana mereka terusir tempo hari.
Setengah berteriak, Bary memanggil. "Beli," katanya.
Bary bertahan beberapa langkah dari pintu warung. Bary tidak berani masuk langsung ke dalam warung karena tempo hari, beberapa minggu setelah mereka terusir dari desa, Bary pernah dituduh mencuri mi instan di warung ini.
Ketika itu, naasnya, meskipun tidak terbukti, tetap saja Bary disuruh membayar harga tiga bungkus mi instan yang dituduhkan padanya, jika tidak ingin digebuki warga.
"Eh, Bary? Masuk! Mau beli apa?" Zahirah, anak tunggal Pak Haji Gofur keluar menyambut Bary.
"Beras yang sepuluh ribuan satu liter, sama susu putih yang dua ribuan dua bungkus," sahut Bary sembari menyodorkan uang senilai lima belas ribu rupiah kepada gadis remaja sebayanya ini.
"Ndak masuk dulu?" tanya gadis yang tempo hari sering menyontek pelajaran dari Bary.
"Tidak apa-apa, saya tunggu di sini saja," tampik Bary.
"Kalau begitu tunggu sebentar, ya!" balas Zahirah. Bary mendiamkannya.
Andai tidak putus sekolah, seharusnya masih Bary satu kelas dengan Zahirah. Tahun lalu, Bary dan Zahirahlah bersekolah di SMP Negeri yang sama, di kecamatan sana. Waktu itu, Bary hanya sempat duduk di kelas 8, sebelum akhirnya Bary harus rela dikeluarkan dari sekolah atas kasus yang menimpa ia dan Rima.
"Susunya sudah ada di dalam situ." Zahirah sudah keluar menemui Bary.
"Terima kasih," sahut Bary sambil menyambut satu tas kresek hitam berisi barang belanjaannya dari tangan Zahirah.
"Eh, Bary! Kamu sudah tau kalau bapak tirinya si Rima, sudah meninggal?" tanya Zahirah.
Bary yang sudah berancang-ancang untuk beredar ini, sontak menjeda langkah. "Belum, baru tau sekarang," jawab Bary. "Kapan dia meninggal?"
"Kabarnya sekitar jam tiga tadi malam," jawab Zahirah. "Wih! Kamu tau, tidak, Bary? Kata orang-orang, waktu dia menghadapi sakaratul mautnya, dia berteriak-teriak macam Kambing yang mau disemb*lih. Mulutnya berbusa. Bau ... bau sekali orang bilang. Hi, ngeri!" tambah Zahirah sambil menggerakkan pundaknya.
"Akhirnya dapat balasannya juga itu orang tua," gumam Bary dalam hati.
Bary sudah menduga, Kaerul, bapak tiri Rima, tetapi dialah juga orang yang menghamili Rima, selanjutnya kesalahannya dilimpahkan pada Bary, cepat atau lambat, pasti akan mendapatkan balasan dari apa yang ia perbuat.
"Eh, masuk dululah! Biar kita ngobrol di dalam!" Zahirah membuyarkan keheningan Bary.
"Terima kasih! Maaf, lain kali saja, saya buru-buru mau singgah ambil air dulu. Permisi! Assalamualaikum!" ucap Bary dan langsung beredar.
"Jam tiga?" gumam Bary sambil melangkah satu-satu. Kini Bary sudah menjauh dari rumah Zahirah. "Jangan-jangan suara burung Koa tadi malam mengabarkan kematian Kaerul? Kaerul meninggal, pada saat yang bersamaan anaknya terlahir dari rahim Rima. Apakah ini hanya kebetulan?"