Bary tidak lagi melihat adanya celah untuk menghindar. Karenanya, meskipun dengan penuh keraguan, perlahan ia hampiri Bu Hajjah Maemunah.
"Maaf, Bu Hajjah tanya apa barusan?" tanya Bary.
"Anak ini! Jangan pura-pura tuli, kamu!" Bu Hajjah Maemunah semakin berapi-api. "Kamu mau dikutuk Tuhan, jadi tuli betulan, mau?" berondongnya kemudian.
Bary sudah terjebak. Perlahan ia letakkan pikulan beserta jerigen-jerigennya. Lalu, dengan nada yang sangat terukur, Bary mengucap.
"Anu Bu Hajjah," ucap Bary. "Tadi malam itu saya beli beras satu liter, sama susu putih dua bungkus!"
"Beli atau utang?" Suara Bu Hajjah Maemunah semakin meninggi.
"Beli, Bu Hajjah," desis Bary dengan wajah tertekuk dalam. "Mana berani saya ngutang," tambahnya.
Sampai di sini, Bary semakin tidak kuasa walau setakat meluruskan wajah.
Bu Hajjah Maemunah mendengus keras, Bary semakin cemas. Entah kenapa, Bary merasa, ini adalah pertanda buruk.
Tidak berapa lama kemudian, puas menerawangi wajah Bary, Bu Hajjah Maemunah menggerutu tak jelas, lalu melangkah dengan tergesa-gesa.
Bu Hajjah Maemunah sudah menjauh di jalan raya sana, barulah Bary menegakkannya wajah.
"Kenapa Bu Hajjah tadi?" tanya seseorang yang tiba-tiba muncul dari belakang Bary.
Bary menoleh. Tampaklah oleh Bary, seorang wanita tiga puluhan yang juga salah seorang pengrajin batu bata. Bary biasa memanggilnya dengan sebutan Mbak Risma.
"Tidak tau juga, Mbak," sahut Bary pelan.
"Jahat memang perempuan itu," sambung Risma.
"Jangan begitu, Mbak," ucap Bary seadanya.
"Tapi kenyataan, kok!" Risma bersikukuh, Bary mendiamkannya.
"Oh, ya, Bary, si Rima sudah melahirkan, belum?" tanya Risma kemudian. Nada bicara Risma sudah mulai teratur, tidak berapi-api seperti sesaat barusan.
"Sudah, Mbak," sahut Bary. Bary pun sudah sedikit lebih baik dari sebelumnya.
"Laki, perempuan?"
"Laki-laki, Mbak," jawab Bary lagi.
Risma, seorang berstatus janda dengan dua orang anak yang masih balita ini, masih menanyakannya beberapa hal.
Bary yang sejatinya tengah dalam suasana batin tidak menentu, hanya menimpali Risma dengan seperlunya saja.
Sesungguhnya Bary sangat menghormati Risma. Meskipun kondisi perekonomian Risma ini hanya beberapa tingkat di atas Bary, tetapi Risma punya kepedulian yang tinggi terhadap sesama.
Selain itu, yang membuat Bary merasa simpati pada Risma, entah apa penyebabnya, sebagaimana dirinya dan Rima, Risma juga adalah seseorang yang tidak seberapa dianggap oleh warga.
Tidak berapa lama kemudian, tiba-tiba Risma mengucap, "Sudah dulu, ya! Itu Bu Hajjah sudah datang lagi."
Setelah mengucapkan itu, Risma buru-buru beredar. Saat Bary menoleh, Bu Hajjah Maemunah telah pun berdiri tepat di hadapan Bary.
Bug!
Tiba-tiba saja pula jantung Bary berdetak kencang. Betapa gugupnya Bary saat mendapati roman penuh amarah di wajah Bu Hajjah Maemunah. Mimiknya sangat menyeramkan. Sorot mata mendelik tajam yang Bu Hajjah Maemunah perlihatkan, sekonyong-konyong hendak menelan Bary mentah-mentah.
Lalu, belum sempat Bary menguasai diri, Bu Hajjah Maemunah sudah menohok Bary dengan begitu beringasnya.
"Tadi malam berasnya kamu beli atau minta?" cecar penuh amarah Bu Hajjah Maemunah.
"Be-beli, Bu!" sahut Bary tergagap. Di sini, jatuh lagi tatapan Bary.
"Penipu!" sergah Bu Hajjah Maemunah dengan begitu sengitnya. "Mau saya panggilkan Zahirah ke sini? Mau?"
Bary semakin gugup! Sampai di sini, Bary sudah tidak ubahnya seekor anak ayam yang tengah berhadapan dengan dengan seekor Musang.
Bary tidak bisa berkutik lagi. Yang Bary risaukan sejak tadi malam, tampaknya akan segera terjadi.
Menit berikutnya, Bu Hajjah Maemunah menghujani Bary dengan berbagai macam cercaan, menikam Bary dengan kata-kata yang sarat akan hinaan.
Bary yang telah pun terpojokkan dengan sempurna, pada akhirnya hanya bisa diam, mengunci lidah sembari menebalkan pendengaran.
Yang Bary lakukan, ia berpikir, andai menangis bisa menyelesaikan masalah, sudah barang tentu Bary akan melakukannya saat ini juga.
Bary sudah berusaha keras, tetapi telinga hingga batinnya yang seperti tengah ditusuk-tusukkan lembing api, telah membuat Bary terbakar. Menyala-nyala, tetapi tidak kunjung mati.
Sedangkan Bu Hajjah Maemunah, puas menganiaya Bary secara moral, ia mengusir Bary laiknya mengusir seekor hewan.
"Manusia najis seperti kamu ini, tidak pantas berada di sini," caci Bu Hajjah Maemunah. "Mulai hari ini, kamu tidak boleh lagi bikin bata di sini!"
"Tapi, Bu Hj, saya masih punya utang."
"Itu urusan kamu!" sambung Bu Hajjah Maemunah dengan begitu cepatnya. "Pergi pergi! Kalau sampai saya masih lihat muka kamu di sini, saya suruh orang-orang supaya mereka seret kamu ke Rumah Besar sana. Dasar penipu! Kamu ini pasti sudah guna-gunai Zahirah. Iya, 'kan?"
"Itu fitnah, Bu ...."
"Pergi ... !" potong Bu Hajjah Maemunah sambil melempar jauh-jauh jerigen-jerigen Bary.
Usailah sudah.
Sesaat kemudian, dengan air mata yang nyaris tumpah, usai meraih jerigen-jerigen tersebut, Bary beredar dengan wajah tertekuk.
Bu Hajjah Maemunah terus saja mencaci-maki Bary, sedangkan Bary, terus saja melangkah tanpa berani menoleh walau setoleh pun juga.
Kini, Bary sudah berada di jalan raya.
Langkah gontai yang tanpa arah, tanpa sadar telah menuntunnya ke hutan jati, tempat dimana biasa dia mengambil air. Sampai di sini, air matanya yang sejak tadi ia tahan-tahan, pada akhirnya tumpah juga. Tidak perlu menunggu lama, Bary sudah sesenggukan.
Lalu, dengan air mata yang berderaian, perlahan Bary merapat ke bibir sumur, menjatuhkan tatapan ke permukaan air sumur.
Di situ, tampak oleh Bary sesebayang, bayangan wajah manusia yang tengah terpuruk dengan seterpuruk-puruknya.
Betapa menyedihkan wajah itu. Itu adalah wajah si miskin, yang tidak lain adalah wajah Bary sendiri.
Segantang Lara.
Di sini, andai mengakhiri hidup tidak akan mendapatkan murka dari Ilahi, maka sudah pasti Bary akan terjun ke dalam sumur untuk mengakhirinya semuanya.
Lalu, Bary bertanya pada pantulan wajahnya yang berada pada permukaan air sumur. "Bary!" lirih Bary. "Sebenarnya dosa kamu ini, apa? Kenapa semua orang membenci kamu?"
Bary masih ingin menanyakan banyak hal, tetapi Bary tidak tahu bagaimana cara merangkai tetanyaannya. Akan tetapi, Bary tahu, air mata yang ia tumpahkan telah pun mewakili segala-galanya.
Nian ... jatuh lagi air mata si fakir.
Bary menangis bukan karena cercaan Bu Hajjah Maemunah semata. Tangis Bary menggurita, itu dikarenakan adanya bayang-bayang adangan hidup yang maha mengimpit.
Bary mulai berpikir, jika ia tak lagi bekerja, kelak, ia dan Rima akan makan apa?
"O, Tuhan, beri hamba sedikit lebih banyak air mata lagi untuk bekal dera hidup di esok hari," lirih Bary.
Sampai di sini, bayang-bayang kelaparan semakin pekat menjelagai pikiran Bary.
"Ujian apa lagi yang Kau berikan pada kami, Tuhan? Kenapa di saat kami sedang butuh-butuhnya uang justru saya kehilangan pekerjaan? Ini terlalu berat, Tuhan ... terlalu berat." Bary meraung-raung.
"Tuhan ... !" desis Bary lagi di sela-sela tangisnya. "Kata orang, Kau Maha Adil. Benarkah? Di mana letak keadilan-Mu, Tuhan, di mana ... ?"
Tangis Bary semakin menjadi hingga membuatnya serasa tak kuat lagi untuk berdiri. Lunglai, ia mundur beberapa langkah, menjauh dari sumur, lalu menjatuhkan bokong, duduk bersandar pada sebatang pohon jati.
Cukup lama Bary sesenggukan sembari berpekur. Hingga tanpa sadar, ia pun tertidur dalam waktu yang cukup lama.
"Saya?" gumam Bary saat terjaga dari tidur.
Sejenak, Bary menyempatkan diri memindai sekeliling. Hari sudah gelap.
"Ya, Tuhan, Kak Rima?" desis Bary kemudian apabila ia teringat akan Rima. Karenanya, gegas Bary bangkit dari duduknya, lalu menimba air untuk ia bawa pulang.
Tidak berapa lama kemudian, Bary sudah melangkah satu-satu, membelah kegelapan malam, meninggalkan sumur gali.
Sepanjang perjalanan menuju ladang, lautan kesedihannya yang tadi sempat teduh, tiba-tiba saja bergelombang dengan sendirinya.
Bary sukar membayangkan, bagaimana reaksi Rima saat tahu apa yang tengah ia alami di ketika ini.
Pun langkah lesu Bary, pada akhirnya mengantarkan raganya yang lesu, kembali ke ladang. Tiba di sini, Bary melangkah satu-satu sambil menajamkan pendengaran.
Tenang. Untuk sementara ini tidak ada suara apa pun yang terdengar dari atas gubuk sana.
Lalu, dengan gerakan yang sangat terukur agar tidak menimbulkan bunyi, diam-diam Bary meletakkan pikulan beserta jerigen-jerigen berisi air yang ia bawa pulang. Menaruhnya di kamar mandi, kemudian beringsut ke kolong gubuk, duduk diam di situ.
Sekira satu jam kemudian, lamunan yang telah mengembara ke mana-mana, akhirnya terjeda saat terdengar suara Rima dari atas gubuk.
"Dek!" sapa Rima. "Naik makan dulu. Sudah malam betul, nih!"
Rima tahu, sejak tadi Bary duduk diam di kolong gubuk. Tak ada tanggapan, Rima mengulang panggilan. "Dek!"
Setelah itu, barulah Bary menyahut. "Iya, Kak, sebentar!"
"Naiklah, Dek!" seru Rima lagi. "Kakak sudah ngantuk."
"Iya, baiklah, Kak!" sahut Bary. Sedetik kemudian, Bary pun naik ke gubuk.
"Maafkan, kakak, Dek," ujar Rima saat Bary sudah berada dalam gubuk.
Sontak Bary menatap Rima. "Kenapa Kakak bicara begitu?"
"Tidak kenapa-kenapa, Dek. Kakak hanya ingin minta maaf saja," jawab Rima. Rima tahu, Bary pasti sangat letih di dua hari terakhir ini.
Sedangkan Bary, ia merasa ada yang aneh dengan ucapan Rima. Bahkan, Bary sampai merinding. Kembali Bary menatap Rima.
"Kak! Kakak kenapa? Kakak sakitkah?" selidik Bary saat mendapati raut lesu di wajah Rima.
"Tidak, Dek!" jawab Rima yang merasa diri baik-baik saja. "Kalau mau makan, nasi jagungnya ada dalam lesung. Kakak mau tidur duluan, ya! Kakak capek, Dek!" tambah Rima.
"Iya, Kak," sahut Bary. "Terima kasih, Kak," tambahnya.
"Sama-sama," sahut Rima.
Setelah itu, diam-diam Bary menerawangi wajah Rima. Ada yang berbeda dengan Rima di malam ini. Hanya saja, Bary tidak tahu apa, dan kenapa. Akan tetapi, yang jelas, semakin Bary menatap Rima, maka semakin pilu pulalah hati Bary.
Karenanya, tanpa Bary sadari, jatuh lagi air matanya.
Di tempatnya berbaring di samping bayinya, Rima sudah terlelap. Sedangkan Bary yang duduk beberapa jengkal dari pintu, diam-diam keluar dari gubuk, lalu turun ke tanah.
Kenapa Rima tiba-tiba minta maaf padahal dia tidak melakukan kesalahan apa pun? Memikirkan hal itu, Bary semakin tidak mampu menahan air mata. Bary sesenggukan seorang diri di kolong gubuk.
Keesokan paginya, Bary masih berlaku seperti biasa. Usai membantu Rima mandi, Bary akan mencuci pakaian kotor yang ada. Usai menjemurnya, Bary meraih pikulan beserta jerigen-jerigennya, selanjutnya turun ke kampung sebagaimana biasanya.
Tiba di kampung, Bary yang tidak tahu harus kemana, seharian suntuk ia duduk diam, dan terkadang mondar-mandir dalam hutan jati, sekedar menunggu sore sebelum pulang ke gubuk.
Beberapa hari Bary terus seperti itu, berlaku baik-baik saja di hadapan Rima, seolah-olah rutinitas menjadi pengrajin batu bata masih terus berlanjut.
Hinggalah enam hari pasca diusir oleh Bu Hajjah Maemunah, Rima mengucap 'Pinjam uang' pada Bary.
Bary yang sudah sangat hapal bagaimana Rima. Jika sudah seperti ini, itu artinya Rima sudah kepepet.
"Pinjam uang kamu dulu, ya, untuk beli jagung. Jagung kita tinggal dua literan. Kata orang, pamali kalau habis sama sekali baru kita beli lagi," ucap Rima.
Di sini, air mata yang menjawab. Sedangkan ujung lidah Bary, terkunci rapat.
Melihat Bary meneteskan air mata, sontak Rima memeluk Bary.
"Kamu kenapa, Dek! Jangan bikin kakak jadi sedih begini." Rima yang sangat menyayangi Bary ini, ia sambil mengelus rambut Bary.
"Sudah lama saya diberhentikan Bu Hajjah, Kak! Saya tidak lagi bikin bata," jawab Bary dengan begitu lirihnya.
"Ya, Allah ...," desis Rima dengan begitu lirihnya. Perih, Rima pun tak kuasa menahan air mata. "Apa maksud-Nya Dia kasi kita ujian seberat ini?"
Rima meratap sendu?
Nian ... amsal tersayat sembilu, setumpah-tumpahnya air mata, ianya tiadalah cukup untuk membahasakan perih.
Segantang lara. Rima perih, Bary bahkan tak sanggup membahasakan laranya.