"Dek!" sapa Rima. "Adek kamu sudah bangun, tuh, kasian!" ucap Rima sambil melempar lirik ke arah bayinya.
Adek kamu? Lagi-lagi Rima menyebut itu. Diam-diam Bary mendengus. Bary belum dapat menerima sebutan tersebut.
"Ayolah ... Dek!" ulang Rima.
"I-iya, Kak," sahut Bary juga pada akhirnya.
Sesaat setelah itu, Bary menyeterui sungkan, malu, hingga risih yang saling tindih di dalam dadanya.
Lalu, tangan kurus kering Bary, mulailah pula meraih kain barusan, mencelupkannya ke dalam ember berisi air panas---sedikit di atas hangat, kemudian mengarahkannya ke bawah paha Rima.
Setelah itu, dengan kain tersebut, perlahan Bary menekan-tekan, berulangkali pada bagian sensitif milik Rima. Hinggalah Rima mengatakan cukup, barulah Bary berhenti.
Sesaat setelah itu, tengah Rima membenahi diri dan peralatan mandinya barusan, Bary beredar menghampiri bayi Rima yang belum diberi nama.
"Cepat sedikit, Kak!" seru Bary. "Bayinya mungkin ngompol, nih!"
"Iya, Dek! Ini juga sudah mau selesai," sahut Rima. "Dek! Kakak pinjam baju kamu, ya!" tambah Rima.
Bary memutar wajah, menatap Rima yang masih mengenakan kain sarung basah. Tampak oleh Bary, Rima yang tengah menghadap ke dinding, menanggalkan kain sarung yang ia lilitkan ke tubuhnya, menyalinnya dengan kain sarung yang lain. Setelah itu, Rima meraih baju milik Bary.
"Baju kakak sudah tidak ada lagi yang bersih. Sudah dikencingi adek kamu," ucap Rima lagi.
"Iya, tidak apa-apa, Kak!" ucap Bary juga. "Tapi muatkah?"
"Bukan untuk saya, Dek! Tapi untuk adek kamu. Kalau kakak ndak apa-apa tidak pakai baju. Di hutan saja juga," kata Rima.
"Oh, iyalah, Kak," kata Bary juga.
Lalu, sesegera itu Bary beredar meraih baju yang lain, yang lebih baik daripada yang ada di tangan Rima. Baju yang Bary punyai ini hanya berupa baju bekas, yang oleh masyarakat setempat menyebutnya baju rombengan.
"Pakai yang ini saja, Kak!" ucap Bary sambil menyodorkan baju yang ada di genggamannya. "Tapi tidak gatal-gatalkah nanti bayinya?" tambah Bary.
"Mudah-mudahan, tidak!" sahut Rima dengan santainya.
Melihat gurat senyum di wajah Rima, diam-diam Bary merenung. Yang membuat Bary takjub akan Rima, sejak tadi malam, Bary belum melihat raut sesal atau pesimis di wajah Rima. Padahal, menurut Bary, "gara-gara" bayi ini, Rima rela kelaparan, sekian hari tidak mandi, semalaman tidur bersama nifasnya, dan sekarang Rima rela tak berbaju, karena baju milik Rima yang juga hanya beberapa lembar, tampaknya semalam sudah habis ia gunakan untuk dijadikan pengganti kain lampin bayinya.
Tudingan bahwa Rima mengalami gangguan kejiwaan, yang kadang diplesetkan menjadi kelainan jiwa, benar-benar sesuatu yang membuat Bary prihatin.
Mirisnya lagi, yang mengembuskan asumsi itu, dia adalah Bu Lija, ibu kandung yang seharusnya memuliakan Rima.
Yang Bary tidak sangka-sangka, selain lebih dulu menyebarkan gosip bahwa Rima mengalami gangguan kejiwaan, di persidangan secara adat, yang menyidangkan perkara kehamilan Rima diluar nikah, Bu Lija justru membela Kaerul, dan mengorbankan Rima, putri semata wayangnya.
Bary masih mengingat dengan jelas bagaimana tidak ada sedikitpun rasa bersalah terlihat di wajah Bu Lija, kala Bary dan Rima dinyatakan bersalah, dan wajib menjalani hukuman, dibuang keluar dari kampung.
Melihat bagaimana kondisi Rima, bayi Rima, dan dirinya sendiri di pagi ini, Bary membayangkan betapa suramnya masa depan mereka, di tanah yang sarat akan kisah dan penderitaan ini.
"Ndak turun bikin bata, Dek?"
Rima membuyarkan lamunan Bary, refleks Bary mengembuskan napas berat, lalu menjawab, "Turun, Kak! Sebentar lagi, ini masih terlalu pagi."
"Kalau gitu, tolong kasi naikkan air, ya! Kakak mau kucek-kucek kain kotor kakak. Darahnya mungkin sudah kering, sudah dari kemarin," ujar Rima kemudian.
"Biar saya saja, Kak!" ucap Bary dan langsung bergeser menuju tumpukan kain yang ada di sudut ruangan bagian dapur. Pakaian kotornya, menggunung. "Semuanya, ya, Kak?" tanya Bary kemudian.
"Ndak usah, Dek! Biar kakak saja!" tampik Rima.
"Tidak apa-apa, Kak!" balas Bary.
Setelah itu, Bary tidak lagi memberi kesempatan pada Rima. Sesegera itu juga Bary menjumputi pakaian kotor yang ada di pojokan tersebut. Sebagian Bary taruh dalam ember, sebagiannya lagi ia gendong.
Melihat Bary begitu, Rima yang tahu Bary akan kesiangan jika harus mencuci pakaian terlebih dahulu sebelum turun ke kampung, memberi saran pada Bary, untuk merendam saja pakaian.
"Atau, cuci yang gampang-gampang saja dulu, Dek. Yang ada darahnya itu tinggal saja dulu, susah hilangnya itu," tambah Rima.
"Iya, kita lihatlah nanti, Kak," jawab Bary.
Bary sudah beredar keluar rumah dengan membawa serta pakaian-pakaian kotor tersebut. Rima tak bisa lagi mencegahnya.
Sedangkan Bary, setibanya di kamar mandi, mulailah pula ia memilah, memisahkan yang mana bekas kotoran dan najis bayi, dan yang mana bekas nifas Rima. Setelah itu, Bary langsung mengeksekusi cuciannya.
"Ya, ampun ... !" gumam Bary.
Bary baru sadar, ternyata mencuci pakaian dengan jejak persalinan, tidaklah semudah yang ia bayangkan.
Berat, bahkan lebih berat dari yang dikatakan Rima.
Selain susah disikat, baunya nifasnya juga benar-benar sulit hilang. Padahal, sudah berkali-kali Bary menambahkan sabun cuci, sudah pula Bary membilasnya berulang-ulang. Akan tetapi, setiap kali Bary mendekatkan hidung ke pakaian yang ia cuci ini, bau amis darahnya tetap saja masih tercium.
Pekerjaan Bary semakin bertambah berat dikarenakan sikat pakaian yang ia gunakan, bulu sikatnya sudah jarang-jarang.
"Ndak usah terlalu bersih, Dek! Sudah siang, nih!" cetus Rima yang menganggap Bary sudah terlalu lama berada di kamar mandi.
"Iya, Kak!" sahut Bary. "Ini sudah bilasan yang terakhir."
Rima tidak menimpali Bary. Rima tahu, Bary tidak akan mudah dihentikan.
Sedangkan Bary, karena merasa tidak sanggup menghilangkan bau amis darah yang menempel di pakaian-pakaian tersebut, pada akhirnya ia menyerah. Setelah itu, Bary jemur saja cuciannya. Usai yang demikian, barulah Bary berancang-ancang turun ke kampung untuk membuat batu bata.
Seperti biasa, setiap kali hendak turun ke kampung, Bary akan selalu turun dengan membawa jerigen kosong. Hari ini Bary akan kembali bekerja keras, karena air di gumbang nyaris habis ia pergunakan untuk mencuci pakaian barusan.
Pun Bary, turun jugalah dia ke kampung.
Tiba di kampung, beberapa puluh meter sebelum bangsal tempat ia mencetak batu bata, langkah kaki Bary sontak terhenti apabila tanpa sengaja Bary melihat Bu Hajjah Maemunah, ibu Zahirah tengah berdiri di bangsal, tempat mencetak batu bata.
"Ngapain, ya, dia di situ?" gumam Bary. "Ouh, sial!" tambah Bary menggumam.
Bu Hajjah Maemunah sudah keburu menoleh sebelum Bary sempat berpikir apakah harus menghindar atau bagaimana.
Kepalang tanggung, akhirnya Bary memutuskan untuk melanjutkan langkah, menghampiri Bu Hajjah Maemunah.
"Bary!" sambut Bu Hajjah Maemunah dengan nada tinggi. "Tadi malam kamu belanja apa-apa saja di rumah?"
"Mati saya!" gumam Bary resah.
Masih dalam jarak sepuluhan meter, Bu Hajjah Maemunah sudah memberondong Bary dengan pertanyaan yang sangat mencemaskan.