Chereads / Lentera Rindu / Chapter 2 - Perjuangan si Miskin

Chapter 2 - Perjuangan si Miskin

"Tidak, Dek, tidak! Kakak hanya mau potong tali pusarnya," ucap Rima dengan intonasi melaju.

"Oh," sahut Bary yang pada akhirnya paham dengan maksud Rima.

Sedetik setelah itu, gegas Bary beredar meraih pisau dapur, lalu kembali menyodorkannya pada Rima.

"Bukan itu, Dek!" tampik Rima.

"Tapi Kak, mana ada pisau lain lagi? Atau parang, ya?" ucap Bary.

"Ya, Allah, Dek! Bukan, bukan! Gunting, Dek, gunting. Tolong cepat ambilkan," ulang Rima membenarkan ucapannya sendiri.

"O, iya, iya!" sahut Bary.

Kembali Bary bergegas meraih gunting yang dimaksud, lalu menyodorkannya pada Rima. Rima menyambutnya, lalu mulailah pula ia mengurusi bayinya. Sedang Rima mengurusi bayinya, Bary beredar ke depan pintu gubuk, lalu duduk melempar pandang ke luar gubuk.

Malam semakin larut. Kegelapan di luar gubuk sana, tidaklah segelap pikiran Bary. Rima sudah melahirkan, Bary mulai berpikir, bagaimana kehidupan mereka esok nanti, sedangkan mereka tidak punya persiapan uang yang cukup? 

"Ya, Allah ... kuatkan kami," lirih Bary dalam hati.

Lalu, diam-diam Bary melirik Rima. 

Aneh, pikir Bary.

Kata Bu Lija, ibu Rima, Rima ini mengalami gangguan kejiwaan, kenapa malam ini dia bisa secerdas ini? Apakah tadi ada Malaikat yang datang menyembuhkan penyakitnya? Atau, apakah tadi Malaikat Jibril datang memberinya banyak ilmu? 

Ajaib. Bary berpikir, andai ia menceritakan kejadian malam ini pada orang-orang di kampung sana, Bary yakin orang-orang di kampung sana akan berpikir seribu kali untuk memvonis Rima ini mengidap kelainan jiwa.

Sampai di sini, Bary mulai berpikir, Rima tidak gila. Orang-orang yang menganggap Rima gilalah yang sebenarnya gila.

"Dek, boleh tolong Kakak lagi, ndak?" Suara Rima membuyarkan lamunan Bary.

"Boleh, Kak, boleh! Tolong apa?" jawab Bary balas bertanya sembari menghampiri Rima.

Bersamaan dengan itu, meskipun gubuk mereka ini hanya berlenterakan teplok, tetapi Bary masih bisa melihat dengan jelas bercak darah di tangan Rima. 

Aroma anyirnya, juga semakin mengukuhkan bahwa apa yang Bary lihat memang adalah darah. Bary menduga, inilah yang dimaksudkan nifas.

"Tolong bawakan gentong. Ambil yang paling kecil, ya, Dek!" ucap Rima kemudian setelah barusan sempat diam hingga beberapa saat lamanya.

Tanpa kata atau bertanya terlebih dulu untuk apa gentong, Bary beredar ke ruang belakang gubuk, meraih sebuah gentong yang biasa mereka gunakan sebagai wadah air bersih.

Gentong mereka ini adalah gentong yang terbuat dari batok buah Maja kering.

Ada beberapa buah gentong menggantung di dinding belakang gubuk. Ruangan tak bersekat dengan ruangan lain, ini yang mereka sebut dapur. Usai meraih gentong berukuran paling kecil, Bary kembali pada Rima.

"Oh, iya!" ujar Rima. "Anu, Dek!" tambah Rima.

Meskipun semakin tenang, tetapi kalimat Rima masih menggantung dikarenakan kesibukannya yang mengurusi bayinya.

"Apa, Kak?" tanya Bary yang belum mendapatkan kejelasan dari Rima.

"Coba sini gentongnya!" seru Rima.

Bary pun menyodorkan gentongnya.

"Jadi ini, Dek, ya!" Rima mulai menjabarkan apa yang harus dilakukan Bary.

Sedang Rima berkata-kata, Bary malah sibuk menjiwai bayi yang kini dalam posisi menengadah. 

"Tidurkah dia?" tanya Bary dalam hati untuk bayi yang sudah tenggelam dalam balutan kain sarung.

Bayi ini tidak bersuara. Bary khawatir jika dia tidak lagi bernapas. Sesaat, jantung Bary berdesir halus.

"Ini, Dek, tolong liat dulu!" Rima minta diperhatikan. 

"Oh, um, iya," sahut Bary.

Kini Rima sudah berada dalam posisi duduk dengan kedua lutut terlipat menyamping dan saling berimpitan, dengan tumit ia gunakan untuk mengganjal sesuatunya. 

"Tolong potong ini, ya! Potong di bawahnya sedikit," ucap Rima seraya menyentuh leher gentong. "Hati-hati potongnya jangan sampai rusak," tambah Rima.

Seperti sebelumnya, usai menyambut gentong tersebut, tanpa kata, Bary langsung beringsut, mengerjakan seperti apa yang diperintahkan oleh Rima.

Kembali ke bagian dapur.

Di sini, dengan menggunakan parang, perlahan-lahan Bary mengerat gentong buah maja kering ini. Sangat hati-hati, agar keratan tangan Bary tidak sampai menimbulkan retakan serius.

Beberapa menit kemudian, Bary pun kembali pada Rima dengan gentong yang sudah terpotong bagian atas di sekitaran leher buah maja. 

Rima menyambut gentong dari tangan Bary, lalu menjumputi benda berbau anyir yang tidak lain adalah Tembuni bayinya. Tembuni atau Plasenta tersebut, Rima memasukkannya ke dalam gentong.

"Dek, tolong jaga dia sebentar, ya!" seru Rima sembari menyudahi mengurusi Tembuni barusan. "Kakak mau urus ini dulu, sekalian mau rebus air," tambahnya sembari menjumput kain sarung yang barusan ia gunakan untuk menaruh Tembuni.

"Mau diapakan, Kak?" tanya Bary. "Biar saya saja."

"Tidak usah, Dek! Biar Kakak saja. Kamu baring-baring saja temani dia di sini. Kamu sudah ngantuk, 'kan?" sahut Rima.

"Tidak, Kak, tidak!" timpal Bary. "Saya belum ngantuk! Betul, saya!" 

Memang, meskipun sudah beberapa kali menguap, tetapi Bary merasa masih cukup mampu jika hanya untuk merebus air. 

"Biar Kakak sajalah, Dek! Apalagi, kamu pasti capek bolak-balik ke kampung sana." Rima berkeras.

"Tidak, Kak! Percayalah, saya belum ngantuk!" Bary tak mau mengalah begitu saja. "Kakak pasti lebih capek. Apalagi, kata orang-orang, pamali orang yang habis melahirkan kalau langsung kerja." 

Bary mengarang bicara demi mencegah Rima melakukan pekerjaan yang semestinya belum harus ia lakukan.

"Ah, bohong itu, Dek! Orang-orang yang bicara begitu, itu hanya alasan saja," sanggah Rima "Mereka hanya takut sakit lalu mati."

Rima begitu terus. Bersikeras untuk mengurusi sendiri urusannya. Sedangkan Bary, ia juga tidak mau mengalah. Bary lebih memilih mengurusi gentong berisi Tembuni barusan daripada harus menunggui bayi. 

Meskipun Bary tidak mengatakannya, tetapi ia masih khawatir, jangan sampai bayinya benar-benar sudah mati. 

Bayi Rima benar-benar sedang tanpa suara. Andai tak merasa sungkan, ingin rasanya Bary mendekatkan jari telunjuk ke hidung sang bayi demi memastikan apakah bayi yang tengah berbalut kain sarung ini masih bernapas atau tidak.

Beberapa saat kemudian, setelah diyakinkan oleh Bary, pada akhirnya Rima mengalah.

Selain merebus air, Rima meminta Bary untuk menutup mulut gentong dengan menggunakan kresek atau apa saja agar Tembuni yang berada di dalamnya tetap berada dalam keadaan aman.

Tentu, itu bukanlah hal yang sulit bagi Bary. Beberapa saat kemudian, Bary sudah selesai melakukannya. 

Untuk mengamankan tembuninya agar tidak ada yang mengganggunya seperti kucing atau tikus, Bary menaruhnya di bawah lesung.

Tembuni sudah aman berada di bawah lesung yang ditelungkupkan, kini saatnya untuk merebus air. Selang beberapa saat kemudian, satu panci berisi air sudah berada di atas tungku tanah liat berbahanbakarkan dahan-dahan kayu kering. Ini tidak akan lama karena panci yang Bary gunakan hanyalah sebuah panci berukuran kecil. Panci dua kilograman inilah panci terbesar yang ada di gubuk mereka. 

Sedang menunggu airnya mendidih, Bary menyempatkan diri menyandarkan punggung ke dinding di depan tungku dapur.

Di sini, selain letih, sebenarnya Bary juga sudah mengantuk berat. Bary bersikeras, semata-mata hanya ingin membantu Rima.

Bersamaan dengan itu, malam terus beringsut. Di gubuk mereka yang berada di tengah ladang, yang jaraknya dari rumah penduduk sekira satu kilometer, Bary dan Rima tidak mempunyai sebarang benda yang bisa dijadikan alat penunjuk waktu. Karenanya, mereka tidak tahu pukul berapa saat ini.

Untuk penunjuk waktu di malam hari, biasanya mereka hanya berpatokan pada kicau burung, juga cahaya di ufuk timur yang menandakan bahwa hari telah berganti.

Selainnya, adalah malam membantarkan sepi.

Asik bersandar, tanpa sadar lamunan telah menuntun Bary ke alam mimpi. Bary tertidur tanpa tahu lagi bagaimana kondisi air yang ia rebus.

"Kasian adikku ini," gumam Rima sambil merenungi wajah Bary. Setelah itu, Rima mengurusi sendiri segala keperluannya.

****

Bary baru terjaga kala asap kayu bakar di atas tungku menelesup ke pernapasannya.

"Uhuk uhuk!" Bary sampai terbatuk kecil.

"Sarapan dulu, Dek! Lapa-lapanya sudah kakak panasi. Maaf, tadi kakak icip sedikit," sambut Rima kala mendapati Bary yang sudah terjaga.

Sudah pagi? Bary mengernyit. Dari celah-celah dinding, ia mengintip ke luar. Bumi telah terang benderang.

"Dek!" ulang Rima.

"Iya, Kak," sahut Bary.

Mimik Kak Rima di pagi ini kian membuat Bary bertambah pilu. 

Siapa yang tidak merasa sedih? 

Lapa-lapa* yang Rima tawarkan ini adalah Lapa-lapa yang Bary dapatkan dari sisa jamuan Halalbihalal di gedung serbaguna di kecamatan sana. 

Tadi malam, saat proses halalbihalal tengah berlangsung, Bary yang memaksakan diri ke sana, tidak berani ikut berbaur bersama para tamu undangan dan para pengunjung lainnya.

Bary hanya berani bersembunyi di belakang gedung, sembari menunggu hingga para panitia pelaksana membuang sampah. 

Sekira pukul sebelas malam, barulah Bary keluar dari persembunyian. Usai memastikan sekeliling dalam kondisi 'aman', barulah Bary menghampiri tong sampah.

Di situ, Bary tidak sendirian, tetapi ada makhluk lain yang juga butuh makanan sisa tersebut. 

Pun Bary, bersama hewan-hewan yang juga butuh, mulailah mereka berebut makanan sisa yang dibuang dalam tong sampah di samping gedung serbaguna tersebut. 

Bary kebagian beberapa potong Lapa-Lapa, serta beberapa ruas tulang ayam. Lalu, dengan menggunakan baju yang ia kenakan, Bary membungkus rezeki yang setahun sekali belum tentu bisa mereka dapatkan, kemudian membawanya pulang dengan hati yang berbunga-bunga. 

Bary tahu makanan sisa yang ia bawa pulang sudah tersentuh najis berat. Selain itu, bisa jadi telah pun terkontaminasi virus penyebab tipes.

Demi, Rima, Bary tidak peduli.

Tadi malam, Anjing dan tikus sudah lebih dulu ada dalam tong sampah saat Bary menghampiri tong sampah yang dimaksud.

Jarak antara gedung serbaguna dan gubuk mereka, cukup jauh. Sekira delapan kilometer. Butuh langkah yang cukup melelahkan untuk bisa sampai ke gubuk. 

Tadi malam, saat tiba di gubuk, di saat itulah Bary mendapati Rima yang tengah mengerang kesakitan. Dari situlah Bary sibuk mondar-mandir ke rumah Mama Yohana, yang jaraknya sekira dua kilometer dari gubuk mereka, sebelum akhirnya Bary ditolak mentah-mentah oleh Mama Yohana sang Bidan Kampung.

Selain itu, kesibukan Bary membantu proses persalinan Rima, telah membuatnya lupa dengan Lapa-Lapa yang ia bawa pulang.

Lapa-Lapa adalah makanan kesukaan Rima. Jika bukan karena Rima, Bary tidak akan mungkin pergi mengais sisa Lapa-Lapa tersebut.

***

Lapa-Lapa adalah makanan olahan sejenis Lemper, atau Buras.