Chereads / LUCIFER'S TRAP / Chapter 1 - Putri Pelacur Gila

LUCIFER'S TRAP

Veedrya
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 15.7k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Putri Pelacur Gila

Candice's POV

"Disa, buang sampah di pojokan toko saat kau pulang nanti."

Gadis itu mengangguk sambil tersenyum ceria. Membuat pria paruh baya yang sudah menjadi bosnya sejak tiga tahun yang lalu itu menatapnya kasihan.

"Kunci juga pintunya saat kau pulang nanti." Lagi - lagi mengangguk. Senyum tak pernah hilang dari wajahnya. "Salju turun lagi dengan lebat. Hati - hati saat kau pulang."

"Oui, Monsieur! (Ya, Tuan) Hati - hati di jalan. A demain! (sampai jumpa besok!)"

Orang - orang menganggapnya gila. Tidak waras. Tidak normal. Bahkan idiot. Hanya karena dia lahir dari rahim seorang pelacur gila yang menjajakan tubuhnya di gang sempit di pemukiman kumuh dekat pelabuhan terbesar Prancis selatan, Le Havre. Hal yang dilakukannya karena terpaksa hanya demi sesuap nasi untuk bertahan hidup sehari - hari.

Ya, Ibunya memang terlahir kurang beruntung. Otaknya tidak berkembang sesuai umurnya, meskipun memiliki wajah ayu dan tubuh molek. Membuatnya dibuang dan dikucilkan dari keluarga dan kerabat. Memaksanya untuk bertahan hidup di dunia yang keras, satu - satunya yang dia tau adalah membiarkan lelaki menjamah tubuhnya. Tidak apa - apa. Dia akan diberi uang setelahnya. Kadang banyak, kadang sedikit, tidak tentu, yang penting dapat uang.

Jadi, ya, dia adalah anak pelacur yang kurang waras. Dia tidak pernah tau siapa ayahnya. Tapi Ibunya menyayanginya. Mengurusinya. Mencukupi dan menjaganya seolah dia adalah hartanya yang paling berharga. Setidaknya, orang-orang mensyukuri kemampuan Ibunya mengurusnya terlepas dari keterbelakangan mentalnya.

Sekarang Ibunya sudah tiada. Mati karena penyakit kelamin ganas yang menggerogoti tubuhnya hampir dua tahun lalu. Meninggalkannya sebatang kara.

Tidak juga. Dia punya Oma. Perempuan tua yang bersama Ibunya sejak dia hamil. Tapi nasib mereka pun sama, tak ada beda. Sama - sama sebatang kara. Tak punya keluarga. Tak apa, mereka punya satu sama lain. Mereka saling menjaga. Keluarga tidak harus memiliki darah yang sama, kan?

***

"Oma, Candice pulang." Dia berkata pelan saat memasuki apartemen kecil satu kamar yang ditempatinya bersama Omanya.

Tubuh kecil kurus yang bergelung di balik selimut di ruang tamu itu bergerak. "Bonsoir, Cherie (Selamat malam, Sayang), Harimu menyenangkan?"

Candice, yang lebih sering disapa Disa mengangguk, tersenyum.

"Oma sudah makan? Hari ini dingin sekali. Kuambilkan selimut lagi biar Oma tetap hangat."

Dia bergegas masuk ke satu - satunya kamar di rumah itu yang ditempatinya untuk mengambil beberapa lembar selimut. Tak ada penghangat ruangan disini. Mereka mengandalkan selimut saat cuaca membeku seperti ini. Perapian? Apa apartemen murahan punya fasilitas mewah seperti perapian? Membayangkannya saja sudah terasa berdosa.

Mereka hanya mampu menyewa satu unit apartemen murah di lingkungan kumuh di pinggiran kota Marseille. Satu kamar ditempati olehnya dan bagian ruang tamu ditempati oleh Omanya. Tidak usah risau tentang tamu. Satu - satunya tamu yang pernah datang hanya pemilik apartemen yang menagih uang sewa. Tentu saja tikus dan kecoa tidak dihitung.

Dia tidak tahu Ibunya berasal dari mana. Dia tidak pernah bercerita. Dia hanya bercerita dulu sambil menyisir rambut panjang kecoklatannya bahwa rumahnya bagus, Papanya selalu memakai jas dan terlihat tampan sedang Mamanya selalu terlihat anggun, cantik dan berpakaian bagus seperti putri saat makan malam. Dia punya satu adik laki - laki yang manis dan sangat pintar. Sudah. Hanya itu saja.

Sedang Oma, orang tuanya adalah peminta suaka dari negara konflik di Asia. Jadi mereka berdua benar - benar sebatang kara tanpa tau kerabat yang lain.

"Merci, Cherie (terimakasih, Sayang)." Jawabnya. Dia duduk saat Disa juga ikut duduk di sebelahnya.

Tidak ada benda berharga disana. Satu - satunya yang berharga bagi mereka berdua adalah keberadaan satu sama lain.

"Kau selalu saja tersenyum dengan cantik seperti ini. Tapi orang - orang malah mengira kau tidak waras. Sungguh, mereka kejam sekali."

Itu adalah kenyataan yang dilupakan oleh semua orang. Meski terlahir dari seorang Ibu yang kurang waras, Candice sama sekali tidak gila seperti Ibunya. Sebaliknya, dia amat sangat normal. Mana ada orang gila yang bisa lulus sekolah menengah seperti dirinya? Dan nyaris menerima beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke sebuah uni ternama di kota Marseille. Tapi diurungkan karena saat itu penyakit Ibunya sudah semakin parah dan memerlukan biaya besar untuk berobat setiap bulan.

Sebagai satu-satunya orang yang bisa bekerja di rumah ini, akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan tawaran tersebut dan memilih untuk langsung bekerja.

Pekerjaan yang sama dengan yang dilakoninya sekarang. Menjaga toko roti. Ini adalah pekerjaan pertama dan terlamanya. Dia biasanya memiliki dua hingga tiga pekerjaan sekaligus untuk menutup kebutuhannya. Tapi sepertinya sekeras apapun dia bekerja hingga lupa siang dan malam, hasilnya tidak pernah cukup untuk mereka.

"Oma, aku harus mencari pekerjaan tambahan lagi." Katanya meminta ijin.

"Untuk apa? Bukankan kau bilang saat ini penghasilanmu cukup untuk membayar sewa apartemen?"

Dia menggeleng, masih tersenyum. "Oma sakit. Harus berobat. Dan apartemen ini terlalu dingin untuk ditinggali. Jika aku bisa memiliki penghasilan lebih, Oma bisa berobat dan kita bisa tinggal di tempat yang lebih layak. Kita tidak harus kedinginan saat tidur, dan tidak harus mandi air dingin setiap hari."

"Cherie (Sayang), pardonne-moi (Maafkan aku). Aku hanya menjadi beban bagimu. Tidak perlu berobat. Kau tidak perlu menghamburkan uang untuk perempuan renta ini."

"Non (tidak) bukan itu maksudku, Oma. Aku ingin kita terus bersama untuk waktu yang lama. Makanya, Oma harus sembuh. Laisse le a moi, okay? (Serahkan saja padaku, okay?)

***

Keesokan harinya hujan turun dengan deras. Tapi Candice tetap berangkat ke toko. Mungkin, seperti biasanya, dia adalah satu - satunya pegawai yang datang. Dia amat rajin, karena itulah, pemilik toko tidak memberhentikan dia seperti pegawai yang lain. Dia juga pandai membuat resep baru yang disukai pelanggan toko.

Hari itu, saat pemilik toko akhirnya datang, dia mengutarakan keinginannya untuk mencari pekerjaan tambahan. Seringnya, pekerjaan tambahannya adalah rekomendasi dari pemilik toko. Pria tambun paruh baya ini memiliki koneksi yang bagus. Dia mendengar berita dari mana - mana sehingga Candice lebih suka mengobrol langsung dengannya.

"Kau bilang kau bersedia bekerja apapun?"

"Oui, Monsieur (Ya, Tuan). Apapun."

"Apa kau sedang butuh uang?" Tanyanya.

Candice menggeleng cepat. "Aku memang butuh uang, tapi tidak mendesak. Itulah kenapa aku ingin mencari pekerjaan. Sama seperti sebelumnya."

Toko sedang sepi. Saat ini jam dua siang. Normalnya, mereka akan sepi dari setelah makan siang hingga menjelang jam empat sore. Waktu inilah yang dimanfaatkan Candice untuk berbicara pada pemilik toko. Mereka sedang menimkati kopi sembari beristirahat di dekat perapian.

Tokonya amat unik. Masih mengusung konsep klasic dengan lonceng, perapian dan oven kayu besar di sudut ruangan untuk membuat roti.

"Untuk saat ini, aku belum mendengar apapun. Akan aku kabri lagi nanti setelah aku punya info yang kau butuhhan."

"D'accord. Merci beaucoup, Monsieur! (Baiklah. Terimakasih banya, Tuan!)"