Gedung Pernikahan
Vian tersentak kecil ketika sang mama memanggil, sepertinya ia tidak sadar melamun memikirkan jawaban apa yang akan diberikan tentang kedua orang tua Aliysia.
"Kamu melamun? Bagaimana, apakah Mama dan Papa bisa menemui orang tua Aliysia?" Abelina kembali mengulangi pertanyaan, ketika Vian hanya melamun.
"Mah, sebenarnya kedua orang tua dan sanak saudara Lysia sedang di luar kota. Tapi Mama tenang ya, jangan khawatir, saat kami ada waktu untuk mengunjungi mereka, kami akan memberi tahu berita ini," jelas Vian dengan nada setenang mungkin.
Dari hati yang paling terdalam, ia sangat berharap sang mama tidak bertanya lagi dan untung saja sang papa ikut menenangkan, sehingga mama pun akhirnya mengangguk dengan senyum lega terpasang di bibirnya.
"Ya sudahlah Mah, Papa yakin kalau kata Vian mereka akan bahagia pasti seperti itu adanya."
"Iya, Papa benar Mah," sahut Vian. "Maafkan aku, aku hanya tidak ingin mama menanggung malu karena kegagalan pernikahanku," lanjutnya dalam hati dengan perasaan bersalah.
Sementara itu di tempat Aliysia, ia tampak duduk dengan beberapa perias yang membantunya melepas gaun dan kali ini sedang dibersihkan pula dari make-up yang menempel di wajah.
Ia masih duduk dengan pikiran entah kemana, menatap pantulan cermin sambil membayangkan tentang kejadian hari ini.
Di dalam pikiran polosnya, Aliysia mengira jika tugasnya membantu Vian sudah selesai dan setelah ini bisa pulang ke kosan untuk istirahat.
Ah! Ia sampai melupakan latihan vokalnya hari ini, berharap saja Miss Nina—coach yang membimbingnya tidak murka ketika besok ia kuliah.
Terserah deh, yang penting aku habis ini bisa istirahat, batinnya.
"Sudah selesai Nyonya."
"I-iya terima kasih."
Sedikit kaget mendengar apa yang dikatakan seorang perias, Aliysia mengulas senyum canggung dan berdiri dari duduknya.
Ia berniat kembali menuju Vian, ingin pamit pulang, inginnya sih seperti itu.
Sedangkan Vian masih berbincang dengan mama dan papanya, membicarakan masalah kehidupan rumah tangga. Ia melihat 'istri' yang kini hiasan dan rambutnya sudah kembali kesedia kala. Rambut lurus panjang sedikit menggelombang, juga wajah yang natural terlihat lebih cantik, dibandingkan dengan wajah berhiaskan make-up.
Shit! Apa-apaan ini? Sejak kapan aku memperhatikan wajah tanpa make-up si bocah. Aku rasa ada yang salah dengan otakku, batinnya sambil berusaha biasa.
"Sudah Lysia?"
Dengan nada sebisa mungkin, Vian memanggil Lysia dengan mesra agar kedua orang tuanya yakin, jika ia dan si bocah adalah sepasang kekasih yang kembali bersatu.
Ya, nyatanya memang Vian mengaku jika ia dan Lysia dulunya sepasang kekasih yang putus. Maka itu sang mama, meskipun tidak setuju pada akhirnya mengikuti keinginannya juga.
Ceritanya juga ngaco dan asal, mengatakan jika Lysia yang pindah keluar kota karena pendidikan maka itu putus.
Keluar kota dari mana?
"Sudah," jawab Aliysia singkat. Ia juga tersenyum ramah ke arah kedua orang tua Vian dan seketika tersentak kaget, saat tiba-tiba saja merasakan pelukan hangat khas seorang ibu.
"Lyisa Sayang, jika Vian macam-macam atau membuatmu sakit hati lagi segera kasih tahu Mama ya. Pokoknya kamu tenang saja, biar Mama yang urus sisanya ya," ujar Abeliana seraya mengusap rambut sang menantu sayang.
Senyum hangat juga diulas olehnya, tidak tahu saja si bocah yang ditemukan putranya sudah berkaca-kaca ingat dengan mendiang mamanya.
Meski demikian, Aliysia tetap mengangguk dengan perasaan senang, kemudian menatap Vian dengan pandangan aneh, membuat yang ditatap curiga jika setelah ini sang istri akan berbuat sesuatu yang aneh kepadanya.
Kenapa dia menatapku seperti itu, aku jadi curiga, batin Vian.
"Tentu saja, Tant-
"Loh! kok masih manggil Tante? Panggil Mama dong Sayang. Mama ini 'kan juga sudah menjadi Mama kamu? Bukankah begitu, Sayang?" sela Abeliana sambil menatap tegas.
Aliysia yang mendengarnya tanpa sadar mengangguk patuh, dengan wajah yang kembali sedih dan Vian yang melihat perubahan ekspresi itu dibuat bertanya-tanya di dalam hati.
Ada apa dengannya, kenapa bisa sedih begitu? Apakah ada sesuatu yang berhubungan dengan seorang mama? Hum, bisa saja, batinnya menebak.
Ya, apalagi ketika melihat wajah Aliysia yang awalnya seperti merencanakan sesuatu, berubah menjadi sayu dan sedih seperti itu.
"Lysia boleh memanggil Tante dengan sebutan Mama juga?" tanya Aliysia dengan suara berbeda dan ini lagi-lagi membuat Vian penasaran, sebenarnya ada apa dengan si bocah yang dari awal dikenalnya sebagai sosok yang bar-bar dan seenaknya.
Hum, ini mencurigakan, batinnya.
"Boleh dong, Sayang. Kamu 'kan sekarang sudah menjadi istri Vian dan itu artinya kamu juga sekarang sudah jadi anak Mama. Jadi jangan sungkan mengatakan apapun kepada Mama ya," jawab Abeliana dengan nada antusias.
Ia menatap berbinar, mengusap pipi menantunya dengan senyum lebar yang ikut diulas. Sedangkan Vian sendiri memperhatikan keduanya, baru ini pula mendapati sang mama terang-terangan seperti ini.
Sepertinya mama belum menyadari perubahan nada suara Lysia. Tapi, kenapa aku bisa merasakannya? Apa aku yang terlalu sensitive ya, batinnya.
Ya, Vian lagi-lagi hanya bisa mengungkapkan segala pertanyaan bingung di dalam hati, meski tatapannya menghunus ke arah dua wanita di hadapannya.
"Baiklah Mah, terima kasih sudah mengizinkan aku memanggil Tante dengan sebutan Mama. Aku senang sekali," balas Lysia kali ini dengan nada senang kembali.
Sungguh, Vian jadi ingin tahu segala hal tentang Aliysia. Namun, detik berikutnya ia mengernyit dan merasa ini bukan urusannya karena ia sadar, jika pernikahan ini sama sekali tidak sah tanpa kehadiran orang tua sang istri.
Meskipun secara agama dan negara sudah diakui, tapi tetap saja pernikahan yang berlangsung hanya rencana tiba-tiba, karena ia dan Lysia sama sekali saling mengenal, apalagi saling mencintai.
Ia pun melakukan ini hanya karena sang mama semata. Mama yang saat ini sedang merangkul hangat Aliysia yang sedang tersenyum lebar saat sang papa pun menepuk-nepuk kepala istrinya akrab.
Tunggu! Sejak kapan papa menjadi ramah dengan orang asing. Padahal dengan Theresa pun beliau tidak seperti itu.
Vian menatap horor apa yang disaksikannya, merinding pula saat mendengar suara ceria papanya yang menyahuti setiap perkataan Aliysia.
Seketika ia merasa telah salah memilih wanita untuk dinikahi dadakan olehnya. Bukan apa, terlihat sekali jika wanita itu mampu membuat kedua orang tuanya menyukai dalam waktu singkat dan firasatnya mengatakan akan ada kejadian yang tidak sedap setelah ini, percayalah.
Shit! Sepertinya aku harus melakukan sesuatu, kalau Mama semakin sayang dengan Lysia sama saja aku cari mati jika tiba-tiba saja menceraikannya, batin Vian.
"Nanti temani Papa main catur oke, Ly?"
"Tentu saja Pah!"
"Temani Mama belanja juga."
"Tenang Mah, bisa diatur!"
Hei! Kenapa jadi bertambah akrab seperti iti!?
Bersambung