Chereads / The Last Leave On The Spire / Chapter 2 - Yang Tersisa

Chapter 2 - Yang Tersisa

Matahari terbenam melewati puncak menara tertinggi di kota NATE. Berlian diujung menara berbentuk api memantulkan cahaya merah menyala yang indah. Seorang pria dengan mantel tebal duduk di puncak menara, di mana di sana terdapat taman dan kolam ikan yang menyejukkan.

Pria itu membuka mantelnya, berjalan ke sisi pagar besi, membiarkan tubuhnya terbuka dan bernapas sesaat, setelah seharian penuh mendekap di kamar. Sinar merah menyala khas sore hari menjadi penutup aktifitas. Ia menatap kota Nate yang tertutup oleh salju. Memang dingin, tetapi tubuhnya lebih suka menyentuh butiran salju itu. Merasakan kembali apa yang telah lama hilang darinya. Sesekali mengibas rambutnya ke belakang yang mulai basah.

Kota Nate yang dikelilingi oleh tembok besar dan tinggi memiliki kenangan dan cerita tersendiri bagi penduduk kota terutama dirinya. Menara TOWL menjadi menara tertinggi yang dibangun di tengah kota Nate, sebagai tempat pertahanan terkuat di seluruh kota dan tempat tinggal orang-orang tertentu.

Penghuninya hanya para pahlawan dan pejabat kota, serta beberapa orang penting kota Nate. Termasuk pria yang kini tengah asik menghirup udara dingin di atas menara paling tinggi tanpa ada yang mengganggunya.

Ia hanya pria lemah yang beruntung bisa tinggal di sana. Tidak seperti penghuni menara yang kebanyakan mereka adalah para panglima perang terkuat yang pernah menyelamatkan kota Nate dari kehancuran.

Pria itu menghembuskan napas pelan. Membiarkan cahaya matahari sore menyentuh wajahnya. Sesekali menatap sebuah hutan yang terletak di luar dinding kota yang tinggi itu. Dulunya, ada banyak sekali kehidupan di sana, tanaman yang subur, pohon yang menjulang tinggi dengan buah yang bermacam, ada yang manis, asam, bahkan buah tanpa rasa sekali pun. Aliran sungai yang jernih mengalir menuju ke dalam Kota.

Matanya seketika menjadi sendu. Kini pemandangan itu telah hilang dalam sekejap. Tidak, bahkan sudah benar-benar hancur. Tidak ada yang tahu bagaimana keadaan di hutan itu sekarang, setelah pertempuran yang menewaskan hampir setengah dari penduduk kota. Dinding Athena mulai dibangun untuk menjadi pembatas wilayah yang aman bagi kota.

"Kara, aku merindukanmu," lirih pria itu. Ia menghembuskan napas pelan, menciptakan uap putih di udara. Menandakan cuaca semakin dingin.

Ia kembali memasang mantel dan meraih sesuatu di dalam sana. Sebuah kalung berlian berbentuk bunga mawar merah dengan sembilan kelopak yang indah.

Kenangan lama terukir kembali di kepalanya. Bagaimana gadis itu tergeletak tak berdaya di sampingnya, menyebut nama pria itu berkali-kali.

"Tarlos, l-lari." Lirih gadis itu dengan tubuh yang sudah tergeletak tak berdaya. Darah mengalir deras dari punggungnya. Luka gores pada dahi dan luka lebam lain membuatnya sudah kehilangan banyak darah. Gadis itu benar-benar sekarat.

"Aku tidak akan meninggalkanmu, Kara!" tolak Tarlos tegas. Ia berusaha mengangkat tubuh gadis itu dengan sisa tenaga yang ia miliki.

Meski ia tahu bahwa dirinya sendiri juga terluka parah. Beberapa anak panah menembus kaki Tarlos membuatnya tidak bisa berjalan. Ia terjatuh, namun kembali bangkit dan meraih tubuh gadis itu-- mengangkatnya. Percuma saja, tenaganya tidak cukup untuk menggendong, apalagi dengan kaki pincang seperti itu.

"L-lari, Tarlos" lirih gadis itu untuk ke sekian kali.

"Tidak akan!" tolak Tarlos tegas.

Sekali lagi mencoba mengangkat tubuh kara. Ia terisak. Memang tidak bisa membohongi diri. Rasa sakit yang menikam seluruh tubuh, darah yang mengalir semakin banyak dari tubuhnya membuatnya semakin lemah. Ia tahu, bahwa ia tidak akan mampu, tetapi bagaimana mungkin ia akan meninggalkan gadisnya di sana. Sementara si gadis terluka parah di sekujur badan akibat menghalangi tembakan anak panah yang seharusnya mengenai tubuh Tarlos.

"Bodoh! Kenapa kau melakukannya? Harusnya kau membiarkannya mengenaiku. Kau memang bodoh!" Air mata tak tertahankan mengalir deras begitu saja.

Ia mengomel sepanjang waktu, membuat tenaganya semakin lemah.

Keadaan semakin kacau, orang-orangnya telah berjatuhan. Mereka tidak akan bertahan lama, melihat kondisi musuh yang begitu banyak dan kuat. Ia memegang erat tangan Kara, bertekad tidak akan meninggakan gadis itu, apa pun yang terjadi.

"Aku bersumpah, akan membencimu selamanya jika kau tidak lari sekarang!" ancam gadis itu dengan sisa tenaga. Ia melepaskan tangan Tarlos dan menampar pria itu.

"Jangan menjadi bodoh, pecundang! Kau hanya orang lemah yang tidak bisa bertarung. Jadi larilah selagi masih bisa!" teriak Kara putus asa. Ia kehabisan akal untuk membuat pria di hadapannya segera pergi dari medan perperangan untuk membawa kunci kota Nate pada pemimpin agar segera mengakihiri perang ini.

Darah keluar lebih banyak dari mulut Kara. Ia kembali tersungkur di pangkuan Tarlos.

"K-kumohon," tangis gadis itu.

Tarlos menggeleng keras. Ia tidak akan meninggalkan kara sendirian. Tidak akan pernah!

"Kara bertahanlah," lirihnya.

"Aku mencintaimu, Tarlos. Kumohon, selamatkan kota demi aku. Ini adalah permintaan terakhirku."

Perlahan kara melepaskan tangan Tarlos, menarik kalung berlian dari lehernya dan mendorong pria itu agar menjauhinya. Ia bergerak menuju pertempuran. Memberikan Tarlos waktu untuk kabur. Sementara ia memancing musuh untuk memperhatikannya. Musuh yang tidak akan pernah ada dalam sejarah perang mana pun.

Tarlos yang putus asa hanya mampu melihat tubuh lemah itu terkoyong-koyong menuju pertempuran. Lihatlah, betapa kuat gadis itu. Ia bahkan tidak akan pernah mampu menghentikan langkahnya.

Perlahan ia mengusap air mata, Tidak ada pilihan, lari atau membiarkan pengorbanan Kara sia-sia. Maka Tarlos mulai berlari sekuat tenaga meninggalakan pertempuran dengan isak tangis yang tak dapat dibendung. Hatinya perih, tidak dapat dijelaskan. Ia bahkan tidak masalah menerima hujaman anak panah menembus tubuhnya, tetapi gadis itu tidak pantas mati, Kara tidak pantas mati untuknya.

Tarlos berlari sekuat tenaga, menggenggam kunci kota Nate dengan erat. Memaki diri sendiri sepanjang jalan. Memaki takdir yang harus merenggut gadisnya. Memaki semua kejadian ini.

___

Seketika air mata Tarlos mengalir. Ia menaruh kembali kalung berlian itu. Menarik napas. Berteriak sekeras-kerasnya memanggil nama Kara.

Matahari kini sempurna tenggelam membuat langit menjadi semakin gelap. Sementara Tarlos masih terduduk dipinggir besi itu, menunduk dalam, menatap kalung berlian itu lama, mengelus setiap ukiran yang menjadi favorit Kara. Ia menyesali setiap waktu dari hidupnya.

Kemudian matanya menatap hutan yang dulunya sangat indah. Hutan yang membuat hidupnya seperti dongeng dan hutan yang membuat hidupnya sekacau sekarang.

Tarlos mengingat sesuatu. Mulai mengais tanah di bawah pohon peri yang terletak di antara kolam ikan yang membeku. Akhirnya ia menemukannya.

Sebuah lonceng kecil milik seorang gadis yang pernah menjadikan tempat itu rumahnya. Dirinya, gadis itu dan Kara memiliki kenangan di puncak menara itu. Sekali lagi air mata Tarlos mengalir deras. Peri kecil itu, di mana dia sekarang?

Udara malam yang semakin dingin menusuk tubuh. Sepertinya salju turun semakin lebat. Pria itu sama sekali tidak bergerak dari tempat. pikirannya kembali melayang ke suatu tempat yang jauh, sambil terus memperhatikan lonceng kecil di tangannya.

"Apa yang terjadi padamu, Vetlete?"