Chereads / The Last Leave On The Spire / Chapter 3 - Gadis dengan Bola Mata Orange

Chapter 3 - Gadis dengan Bola Mata Orange

Sebuah dinding yang menjulang tinggi pembatas kota Nate dengan hutan Athena. Dinding itu dijaga oleh beberapa tentara dengan penampilan gagah. Mereka berdiri di atas dinding itu seperti paku yang berbaris dengan rapi untuk memastikan keamanan bagi kota. Siap bertempur kapan saja dibutuhkan dengan alat keamanan yang mumpuni, seperti teropong, panah, peledak dan lainnya. Beberapa dari mereka mengawasi dari menara TOWL dan sisanya menjadi pejaga gerbang masuk kota. Seakan-akan, mereka tengah berlindung dari sesuatu yang sangat berbahaya di luar sana.

Meski wajah-wajah itu terlihat sangar dengan pakaian besi yang terpasang ditubuh mereka. Namun, wajah itu tetap terlihat ramah saat berhadapan dengan penduduk asli kota, terlebih anak-anak. Bahkan mereka kerap kali bermain dengan anak-anak yang selalu mengganggu para penjaga yang berada di depan gerbang. Memaksa mereka untuk membuka dinding besar itu. Terkadang beberapa anak ingin sekali melihat dunia di luar sana. Mungkin orang tua mereka tidak memberitahu tentang monster mengerikan yang tinggal di dalamnya.

"Memangnya ada apa di sana, Paman?" tanya salah seorang gadis kecil dengan rambut di kepang dua.

Ia memilit gaunnya. Berjingkrak, sambil terus menggoda pria di hadapannya. Sudah lebih dari setengah jam memperhatikan apa yang dilakukan dua pria yang terus diam itu. Penuh penasaran.

"Yang pasti, tidak ada pangeran tampan seperti yang sering kalian dengar sebelum tidur. Kau tahu, mungkin ada puluhan monster besar dengan taring yang sangat tajam di dalam sana. Oh, bagaimana dengan air liur yang keluar dari mulutnya? Berwarna hijau dan, ew bau sekali," jelas penjaga yang memiliki wajah paling muda di antara yang lainnya. Namanya Hirosaki, ia adalah salah satu penjaga yang biasa meladeni pertanyaan anak-anak yang tidak akan ada habisnya. Juga sekaligus salah satu penjaga favorit Tarlos.

"Astaga, itu menjijikkan!" celetuk anak lain. Mereka mulai menutup mulut dengan dua tangan kecil itu.

"Tapi kelihatannya hutan itu tidak semenyeramkan itu," celetuk si gadis kecil. Tidak seperti yang lain, sepertinya ia sama sekali tidak terpengaruh dengan cerita Hirosaki.

Pria itu berpikir sejenak. Gadis itu benar. Hutan itu terlihat lebih baik dari sebelumnya. Apakah masih ada penghuni lainnya? Bukankah dengan begitu mereka punya harapan untuk masa depan kota Nate? Hirosaki menggelengkan kepala dengan keras. Ia pasti sudah gila karena anak-anak di depannya.

Tarlos berjalan melewati penjaga yang berusaha menjelaskan pada gadis kecil yang ngotot sekali ingin ke luar gerbang. Berusaha menedang pria dengan tubuh kekar di depannya. Pria itu berpura-pura terjatuh membuat gadis kecil dan beberapa anak lain di depannya tertawa lebar.

"Hebat sekali mereka," gumam Tarlos. Ia melambaikan tangan pada pemuda yang tergeletak di atas tanah itu.

"Hai paman Saki!" sapa Tarlos.

Pria itu mengangkat tangan sambil memegang perutnya, masih berpura pura terluka.

"Kau tidak usah membohongiku, Paman. Tendanganku tidak sekuat itu!" gadis itu melipat ke dua tangan. Jelas sekali tenaganya terlalu kecil untuk membuat pria itu terjatuh.

"Perutku benar-benar sakit, kau tahu? Ia dari pagi belum makan sesuatu." Hirosaki berdiri sambil menggendong gadis kecil itu.

"Ah kau ini, sangat tidak cocok jadi penjaga gerbang kota. Paman lemah!" gadis itu menarik hidung mancungnya.

"Kau benar sekali, Viola. Kenapa Tarlos menaruhku di sini? Kau tahu?"

Gadis itu menggeleng. Menatap Tarlos meminta jawaban. Tarlos mengalihkan pandangan, berpura-pura tidak melihat.

Gadis kecil itu hanya tertawa girang melihat wajah Tarlos yang sangat lucu menurutnya.

Tarlos menatap pria yang sedang menggendong Viola dengan seksama. Tentu saja ia akan menempatkan pria itu di sana. Wajah yang masih muda dengan kekuatan yang masih segar bugar. Ia telah berpotensi menjadi panglima sejak ia masih umur tujuh belas tahun. Tidak seperti dirinya yang di umur itu masih bermain di sungai bersama makhluk di sana. Namun hal itu hanya terjadi empat tahun yang lalu, sebelum dinding besar ini menghalanginya. Sebelum pertempuran itu terjadi.

"Baiklah, Saki. Nanti aku akan menempatkanmu menjadi pelayanku," ucap Tarlos terkekeh.

Saki menyerngitkan alis. "Apa kau sengaja mempermalukanku di depan gadis cantik ini?" omelnya.

Tarlos tertawa. Berlalu meninggalkan dua orang itu bermain kembali.

"Viola, adukan saja pada gadisnya bahwa paman Saki menggodamu!" teriak Tarlos sambil berlari menghindari amukan pria tampan itu.

Gadis kecil itu hanya tertawa girang di gendongan Saki.

Tarlos kembali melanjutkan perjalanannya. Entah ke mana tujuannya sekarang. Ia menatap dinding yang menjulang tinggi di hadapannya, membuat kenangan masa lalu terungkit kembali. Memori yang ingin ia buang. Namun, sangat mustahil.

Lama ia mengamatinya, meraba ukiran yang ada di sana. Sebuah sayap kecil dan ukiran pohon dengan aliran sungai, ukiran itu sudah tertutup oleh tumbuhan paku yang tumbuh di sana. Ia ingat, dulu dirinya yang menggambar ukiran itu empat tahun lalu.

Ia memejamkan mata, memilih menghadapi rasa sakit itu perlahan. Kota Nate dalam keadaan krisis, air sungai dari hutan itu sudah tidak lagi mengalir sejak dua tahun lalu. Tarlos mengingat kembali kejadian hari itu, hari di mana semuanya di mulai.

***

Gadis muda dengan gaun yang menjulang panjang ke tanah terlihat gesit sekali menghindari kejaran dua orang pria di belakangnya. Sesekali ia menoleh, memastikan dua orang itu sudah jauh tertinggal, kemudian tertawa penuh kemenangan melihat mereka menghentikan pengejaran.

"Dasar pencuri!" teriak mereka. Namun gadis itu tidak perduli, ia menjulurkan lidahnya mengejek, membuat dua orang di sana semakin kesal.

Bug!

"Aw, astaga."

Terlalu gesit berlari membuatnya menabrak seseorang. Seorang pria berkulit putih dengan bibir tipis memakai baju khas penghuni menara TOWL. Pria itu terbaring di depannya dengan wajah di penuhi lumpur, karena kebetulan sekali ia terjatuh pada genangan air di jalan itu.

"Hei." gadis itu menarik baju pria itu, memastikan pria di hadapannya masih bernapas.

Matanya terbelalak saat menyadari bahwa orang yang berada di depannya saat ini adalah anak dari pemimpin kota Nate.

Tidak perduli apa yang terjadi padanya, ia harus segera pergi meninggalkan pria itu atau masalah yang lebih besar dari dua roti yang ia ambil akan datang kepadanya.

"Maaf." Perlahan ia menarik gaunnya berniat kabur.

Gaunnya lagi-lagi tersandung pada sesuatu, membuatnya kembali terjatuh.

"Kau mau ke mana?"

Habislah riwayatnya hari ini. Gadis itu perlahan meraih dua roti yang terjatuh tidak jauh darinya. Itu adalah makanannya untuk hari ini, ia tidak boleh kehilangan roti itu lagi.

"Kau membuat wajahku terluka. Kau harus belajar bertanggung jawab," ucap pria itu. Ia mulai berdiri menarik pergelangan tangan si gadis.

"Baiklah, kau mau apa?" tanyanya menyerah. Sudah terlanjur tertangkap juga.

"Aku tidak punya apa-apa. Kau mau rotiku?" tawarnya dengan senyum sumringah.

"Itu bahkan bukan rotimu," celetuk Tarlos.

"Nah, tepat sekali. Aku tidak punya apa-apa untuk dijarah, jadi lepaskan saja aku," ucap gadis itu penuh percaya diri.

"Memangnya siapa yang mau menjarahmu?" Tarlos mengerutkan alis. Entah gadis model apa yang ia temui saat ini, tetapi ia benar-benar butuh bantuan.

"Baiklah kau mau apa? Aku minta maaf, benar-benar tidak sengaja menabrakmu, Tuan."

"Aku mau ikut."

Mata gadis itu terbelalak. "Apa?" tanyanya memastikan.

"Kau akan ke hutan itu, bukan? Aku ikut!" tegasnya. Ia sudah lama mengamati gadis di hadapannya, mendengar cerita dari penduduk kota tentang kehidupan liarnya yang suka mencuri dan kabur ke hutan. Tarlos juga sudah lama mencarinya dan secara tidak terduga bertemu dengan gadis itu saat ini, tentu ia tidak akan melewatkan kesempatan emas itu.

"Kau gila? Bagaimana kalau mereka mengira aku menculikmu? Tidak!" tolak gadis itu tegas. Ia membersihkan gaunnya yang terkena debu dan memilit-milit kembali agar tidak tersangkut dan bersiap untuk meninggalkan Tarlos.

"Atau kau akan kulaporkan pada Ibuku bahwa kau telah mencuri setiap hari, mengganggu para pedagang dan terakhir melukai jidatku," ancam Tarlos.

Langkah kaki gadis itu terhenti dan berbalik menatap ke dua sudut mata Tarlos. "Aku tidak melukai jidatmu. Aku hanya menabrakmu, itu tidak termasuk bagian!" bantahnya.

"Tidak perduli. Aku hanya ingin ikut ke sana. Kumohon, setelahnya aku akan memberikanmu lebih banyak roti," bujuk Tarlos. Ia tidak tahan terus diawasi dan berdiam diri di kota, ia ingin sekali pergi ke hutan sejak masih kecil.

"Kau serius?" tanya gadis itu memastikan. Tawaran yang cukup menggiurkan membuatnya berpikir sejenak, namun tetap saja ia tak boleh gegabah. Bukankah pria di depannya adalah anak pemimpin kota? Buat apa ke hutan?

"Tidak mau!" tolaknya tegas.

"Lagi pula untuk apa orang sepertimu ingin ke hutan? Bosan dengan menara tinggimu, Tuan?" gadis itu melangkah tidak perduli lagi dengan Tarlos. Ia melepaskan secara paksa pergelangan tangannya dari tangan pria itu.

"Ayolah, aku bahkan punya banyak berlian jika kau mau, tapi bawa kau ke sana," bujuk Tarlos putus asa.

"Tidak! Kalau mau ke sana, kenapa tidak pergi sendiri? jangan libatkan aku!"

Tarlos mendengkus lelah, apa gadis di hadapannya benar-benar tidaka melihat dua pria berbadan kekar yang menguntitnya di belakang? Tarlos memberi isyarat dengan melirik ke salah satu dinding di belakang mereka. Di sana ada dua penjaga dengan wajah yang menyeramkan bersembunyi.

"Astaga hidupmu menyusahkan sekali," gerutu gadis itu.

"Bawa aku kabur. Aku akan memberimu roti sebanyak yang kau mau," bujuk Tarlos sekali lagi. Ia sangat berharap bisa pergi dari sana secepatnya.

Gadis itu berpikir sejenak, lalu tiba-tiba menarik tangan Tarlos. Ia mengajak pria itu berlari mengelilingi beberapa pedagang untuk mengecoh penguntit yang mengikuti Tarlos.

Cukup menyusahkan untuk kali ini, karena ke dua penjaga itu segera menyadari bahwa Tuan mereka hilang dari pandangan dan segera mengejar mereka.

Kara berbelok ke arah gang kecil di mana di sana terlihat pedagang ikan yang cukup ramai pembeli. Ia menarik tangan Tarlos dan membawanya menyelip di antara mereka sampai ke ujung pasar, sampai mereka tidak lagi melihat dua penjaga itu.

"Hussst!"

Jangan ditanya, gadis itu sudah dikenal sebagai gadis paling gesit dan lincah di kota itu, jadi, untuk sekedar membawa Tarlos hilang dari pandangan dua orang penjaga adalah hal yang mudah baginya. Apalagi ia sangat mengenal seluk beluk tempat itu lebih dari siapa pun.

Tarlos benar-benar tidak siap dengan pelarian itu. Ia sedikit terengah dan kesulitan bernapas mengikuti kecepatan gadis di sampingnya.

"Hei, namamu siapa?" tanya Tarlos. Ia berusaha mengatur napas dan kembali mengikuti gadis di depannya yang sudah kembali berjalan.

"Kara," jawab gadis itu mengulurkan tangan.

Tarlos menatap bola mata yang unik pada mata Kara, berwarna orange seperti mata kucing. Benar-benar unik.

"Aku Tar-"

"Aku sudah tahu," potong Kara.