Setelah berhasil lolos dari penguntit yang mengikutinya. Kara mengajak tarlos masuk ke dalam hutan seperti yang ia minta. Hanya membayangkan jika pria itu benar-benar memberinya banyak roti, maka ia tidak perlu mencuri lagi. Tidak, mungkin sebenarnya ada alasan lain.
Tidak banyak orang yang tahu tentang hutan itu. Bagi sebagian penduduk kota, hutan itu hanyalah hutan yang dihuni binatang buas yang berbahaya, sehingga mereka sama sekali tidak tertarik masuk ke dalamnya.
Mungkin hanya sebagian orang yang memasuki hutan tersebut, mereka biasanya adalah para pemburu atau para tabib yang membutuhkan tumbuhan obat langka yang hanya tumbuh di tengah hutan Athena.
Hutan itu berada di bawah kota Nate. Mengelilingi kota itu dengan Pohon besar yang menjulang tinggi, beberapa di antaranya memiliki buah dengan aneka ragam rasa.
"Waaah, ternyata benar, hutan ini sangat indah di dalam." Tarlos menatap takjub beberapa tumbuhan aneh yang tidak ada di kotanya.
Beberapa kupu-kupu berwarna-warni terbang menuju aneka macam bunga yang tumbuh di pinggir sungai. Ikan kecil terlihat berloncatan dari sana. Seperti tidak pernah tersentuh oleh manusia. Benar-benar menakjubkan.
"Aku heran, kenapa orang-orang tidak mengetahui tempat indah ini," gumam Tarlos. Ia terus berjalan mengikuti kecepatan Kara.
"Kau tinggal sendirian di sini?" sambungnya.
Kara diam sejenak, berpikir apakah pria di sampingnya dapat di percaya atau tidak.
"Tidak," jawabnya. Bahkan ada ratusan penghuni di sini, batin Kara di dalam hati tentunya.
"Kau serius? Lalu kau tinggal dengan siapa?"
Tarlos mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari seseorang yang tinggal dengan gadis itu. Berpikir apakah hutan ini memang memiliki penghuni selain si gadis.
Namun hutan itu terlalu sunyi. Lagi pula gadis itu tidur di sebuah gua yang terletak di pinggir sungai. Aneh sekali bagi Tarlos.
Matanya menatap sesuatu yang bergerak di balik semak-semak. Tarlos semakin penasaran, lalu perlahan mendekatinya.
Suara lonceng terdengar begitu nyaring membuat Tarlos Terkejut. Tidak melihat akar yang menjulur di depannya, hingga Ia jatuh tersungkur ke dalam semak-semak itu.
Semakin terkejut saat ia membuka mata, ternyata ada mahluk kecil tepat di depan matanya sedang berdiri kebingungan sambil memegang buah strawbery yang lebih besar dari tubuhnya. Wajahnya mirip sekali dengan manusia, hanya saja memiliki tubuh yang amat kecil dengan sebuah sayap seperti capung.
Ia terlihat sama terkejutnya dengan Tarlos.
"Aaaa!" Tarlos segera bangkit dan mundur menghindari mahluk itu. Begitu juga sebaliknya.
"Kau tidak apa-apa, Vetlete?" tanya Kara menghampiri peri kecil di depan Tarlos.
Yang terdengar hanya suara lonceng yang berisik dari tubuhnya.
"Tidak apa-apa, aku yang mengundangnya," jelas Kara. Seperti tahu apa yang dipikirkan oleh peri kecil itu. Setiap kali ia marah atau terkejut, maka tubuhnya akan mengeluarkan suara seperti lonceng yang indah.
Vetlete mulai mendekati Tarlos, terbang tepat di depan wajah pria itu. Mengamatinya lama, membuat Tarlos sama sekali tidak bergerak.
"Kau siapa?" tanyanya. Suara itu terdengar begitu kecil namun masih bisa terdengar oleh telinga dengan jarak tertentu.
"Aku pasti bermimpi," gumam Tarlos tak percaya.
Ia mencubit pipinya, lalu menampar wajahnya berkali-kali hingga memerah.
"Kenapa kau tidak menghilang?" Tarlos bingung. Jika ini memang mimpinya pasti mahluk di depannya akan menghilang seperti yang ia pikirkan.
"Apakah kau sangat berharap aku menghilang?" ketus Vetlete.
"Jangan berlebihan. Kau tidak bermimpi, Pangeran," celetuk Kara.
"Mahluk apa dia?" Tarlos mencoba berdiri, menelan ludah berkali kali. Wajah gadis mungil di depannya terlihat sangat tidak bersahabat.
"Aku tinggal dengannya," jelas Kara.
"Dengan makhluk itu?"
"Hei berhenti memanggilku begitu!" protes Vetlete.
"Mm, Maaf. Siapa namamu tadi?"
Mata vetlete terbelalak. Tidak percaya dengan pria yang berada di hadapannya. Ia pikir manusia itu sangat pintar, apalagi jika melihat status sosial Tarlos yang sering kali diceritakan oleh Kara.
"Apa dia Pangeran yang sering kau ceritakan itu?" bisik Vetlete pada Kara.
"Husst diamlah!" Kara mencoba menghindari topik Vetlete. Bisa kacau jika pria itu tau kalau dirinya sangat mengagumi kehidupan mewahnya.
"Aku Vetlete. Peri alam yang tinggal di hutan ini dan menjaga mereka. Kau pikir tumbuhan ini bisa sebesar ini karena siapa?" Vetlete menyombongkan diri.
"Kau?" Tarlos menjawab ragu.
"Dengan tubuh kecil itu?" sambungnya sambil menunjuk Vetlete. Tubuhnya memang sangat kecil, hampir setara dengan jari jempol pria itu.
"Kau meremehkanku?" Vetlete tak terima dengan nada bicara Tarlos.
"Astaga cukup! Vetlete, dia akan memberiku roti setelah ini. Kita tidak perlu mencuri lagi jika ingin makan roti." Kara mencoba menengahi.
"Baiklah maafkan aku. Hanya saja kau terlihat aneh." Tarlos menyentuh sayap Vetlete, memastikan bahwa itu asli dan mulai menunjuk wajah peri itu.
Merasa kesal, Vetlete sontak menggigit telunjuk Tarlos yang seenaknya saja menoyor wajahnya.
"Kau menggemaskan sekali," puji Tarlos. Melihat peri kecil itu menggigit telunjuknya dan ia hanya merasa geli.
Wajah Vetlete memerah. Merasa sangat kesal.
Lama berada di dalam hutan itu, berkeliling melihat hewan yang terlihat lima kali lebih besar dari pada biasanya. Seperti lebah yang berukuran setara dengan genggaman orang dewasa dan bunga raksasa tempat ia hinggap.
Tarlos bermain dengan Kara dan Vetlete begitu lama di dalam hutan hingga menjelang sore.
"Hai, Kau harus pulang," Kara menghampiri pemuda yang sedang asik merendamkan kaki ke sungai, membiarkan ikan ikan kecil di sana menggigitnya.
"Benarkah?" Tarlos menatap langit yang semakin gelap, ternyata ia sudah seharian penuh di sana.
Tarlos bangkit. Menyerahkan setangkai bunga yang ia temukan ketika ia berjalan jalan di hutan itu pada Kara.
"Kupikir perempuan itu suka bunga." Tarlos masih menyodorkan bunga itu.
Vetlete yang menyaksikan kejadian itu segera merampas bunga dari tangan Tarlos. Lalu terbang tepat di depan wajahnya. Mengancam, tidak ada yang boleh mendekati Kara-nya.
"Baiklah aku pulang," celetuk Tarlos. Sepertinya peri kecil itu masih belum menerimanya.
Ia mulai berjalan ke luar dari hutan, meski terasa berat meninggalkan tempat itu, ia harus tetap kembali atau ibunya akan marah habis-habisan pada para pengawalnya. Tarlos menghentikan langkah dan berbalik menatap Kara dan Vetlete yang masih berdiri di belakang dan memperhatikannya.
"Aku akan datang lagi besok!" Ia tersenyum, kemudian ia berlari dan meninggalkan dua orang itu terpaku di tempat.
***
Udara semakin dingin di Kota Nate. Tarlos tidak ingat sudah berapa lama ia berdiri di depan dinding itu, menyentuh ukiran cantik di sana sepanjang waktu. Mulai memikirkan Vetlete yang benar-benar menghilang.
"Apa kau masih hidup, peri kecil?" lirih Tarlos.
Ia membalikkan badan. Melihat kota Nate yang keceriaannya telah hilang. Sama seperti dirinya.