Chereads / The Tale of Aracelia / Chapter 2 - 1. The Lost Boy and The Hunters

Chapter 2 - 1. The Lost Boy and The Hunters

Buih-buih kuah mendidih berwarna kemerahan yang mulai mengental dari dalam periuk itu nyatanya tak lebih menggiurkan dari kumpulan potongan daging mentah yang teronggok begitu saja di atas tanah. Suara gemerisik diikuti geraman agresif dari semak membuat anak laki-laki itu mendesah pendek. Mengalihkan pandangannya dari isi periuk yang sudah menggugah perutnya, anak lelaki itu, Qilin, meraih sebuah potongan di atas tanah dan melemparkannya ke dekat semak-semak itu.

Sepasang mata menyala kekuningan itu bergerak menjauh dengan cepat. Akan tetapi sesaat kemudian kembali mendekat. Masih dengan waspada, sebuah cakar berukuran tak lazim terulur dari dalam semak, meraih potongan tulang rusuk itu ke dalam persembunyiannya. Entah apapun yang ada di balik kegelapan itu, yang jelas makhluk itu pastilah sangatlah kelaparan.

Di pinggir sebuah telaga di tengah hutan itu. Kegelapan dan keheningan membuat semua indra lebih sensitif dari biasanya. Aroma anyir dari darah yang terkubur di dalam tanah basah. Tumpukan tulang-tulang yang telah dipisahkan dari otot yang melekat padanya. Suara mengaruk, dan cabikan dari dalam semak dari hewan karnivora. Semua itu sama sekali tak mempengaruhi Qilin. Dia telah melihat berbagai kengerian sepanjang hidupnya bahkan yang lebih buruk dari itu. Jadi, hal seperti ini bisa dibilang biasa saja untuknya.

"Kalau masih kurang, kau bisa kemari dan mengambilnya sendiri," katanya pendek.

Sambil mengaduk supnya, dia kemudian bergumam, "Aku tidak tahu kalau makhluk sepertimu juga masih mengharap belas kasihan dari manusia, bukankah kau bisa memburunya sendiri dengan kekuatanmu itu?"

Membagi jatah makannya pada hewan liar memang bukanlah kebiasaanya. Akan tetapi, makhluk yang telah mengikutinya selama beberapa hari ini cukup membuatnya tertarik. Dia bahkan dengan sukarela memberikannya daging hasil buruannya secara lebih.

Biasanya makhluk-makhluk liar yang pernah dia temui akan langsung pergi begitu mengambil apa yang dia berikan untuk memakannya di tempat lain. Akan tetapi, makhluk ini selalu makan di dekatnya. Ya, walaupun masih dengan cara sembunyi dan masih sangat waspada.

Mungkin Qilin akan mengadopsinya menjadi makhluk peliharaannya. Beberapa hari ini dia bisa makan dengan tenang tanpa takut diserang saat lengah (tentu saja berkat makhluk itu). Jikalau makhluk itu tak berniat pergi untuk beberapa hari ke depan atau dia tak kekurangan daging buruan tentunya. Ya, kita lihat saja beberapa hari kedepan apa yang akan dilakukannya pada makhluk itu.

Perhatiannya kembali pada masakannya di atas bara api itu. Dia mengusap hidungnya yang tiba-tiba gatal. Dengan santai dia kembali mengaduk kuah kental rebusan di dalam periuk itu. "Kurasa ini sudah empuk," komentarnya melihat daging-daging matang berwarna kecoklatan yang menyembul tiap dia mengaduk.

Qilin menyendok kuah berisi potongan-potongan kecil daging dan kentang itu ke dalam mangkuk. Uap panasnya mengepul di udara yang dingin. Dia segera meniupnya beberapa kali untuk kemudian menyeruput kuahnya dengan perlahan.

"Ah, ini akan lebih enak dengan nasi atau roti." Qilin sedikit lupa bagaimana rasanya roti. Sudah lama sejak terakhir kali dia memakannya. Pasti hidangan ini akan sangat lezat sekali jika karbohidrat yang terbuat dari gandum itu ada. Tapi, dia bisa menghabiskan semua isi di periuk ini. Tanpa roti.

Hidungnya gatal lagi. Mungkin dia akan pilek esok hari. Sial sekali, ini semua terjadi karena dia harus terjatuh ke telaga.

Suara geraman makhluk di semak itu kembali terdengar.

"Ambillah kemari." Anak lelaki itu tengah menikmati makan malamnya dengan lahap. Ini sudah isi mangkuk yang ke limanya.

Namun, makhluk itu bergeming. Keheningan rerimbunan semak-semak itu akhirnya membuat anak itu penasaran. Masih dengan membawa mangkuknya dia perlahan menyibak dedaunan.

Nihil. Makhluk itu tidak ada. Hanya menyisakan sebuah potongan tulang rusuk yang bersih di atas tanah.

"Hm. Seharusnya aku memotongnya," sesalnya.

Pada akhirnya makhluk itu kabur. Pikirnya. Dia menyeruput kuah supnya. Menandaskan isi mangkuk ke limanya. Padahal dia berniat mengadopsinya.

Dia berbalik, hendak kembali menyendok ke dalam isi mangkuk ke enamnya ketika indra pendengarnya menangkap sesuatu.

Anak lelaki itu menatap bingung sekumpulan pria yang tiba-tiba sudah berada di dekatnya dan menodongkan pelbagai senjata; kapak, pedang, dan busur yang siap menembakkan anak panah. Siap mencabik-cabik tubuhnya, jika dia bergerak sedikit saja.

Anak itu berpikir. Dari cara berpakaiannya dan perlengkapan yang mereka bawa, Qilin sering melihat orang-orang seperti ini, di desa maupun di hutan. Mereka tak lain adalah Para Petualang atau yang bisa disebut Pemburu Monster. Sekumpulan orang gila yang gemar bunuh diri. Apakah dia termasuk juga?

Mereka selalu bergerak dengan berhati-hati. Langkahnya sehening langkah kucing dan intunisinya secerdas hidung anjing. Tak mengherankan mereka bisa menemukannya. Mungkin karena kuah supnya tercium terlalu sedap dan ganjil di tengah hutan belantara ini.

"Apa identitasmu sebenarnya, Nak?" Seorang pria berjenggot lebat dengan bekas luka memanjang dari tulang pelipisnya hingga dagu itu bertanya. Pedang di tangannya masih teracung sempurna ke arah anak lelaki itu.

Hening.

Pria-pria paruh baya dan berwajah letih itu menatapnya tajam. Menunggu jawabannya dengan was-was.

"Kalau yang sedang kalian cari monster, jelas kalian salah sasaran," ujar anak itu mencoba meyakinkan. "Aku hanyalah anak yang tersesat di hutan ini."

"Lalu siapa yang menghabisi makhluk itu?" Seorang pria lainnya dengan kapak di tangannya itu bertanya.

Qilin melirik arah di mana dagu pria itu terarah, ke sebuah gundukan tanah dengan beberapa helai rambut yang tak terkubur sempurna. Serta tumpukan tulang belulang yang sudah dibersihkan di dekatnya. Ah, iya, jangan lupakan sisa daging yang telah dikuliti masih teronggok di atas tanah.

"Itu ... aku," jawab Qilin apa adanya. Walau dia tahu, mereka takkan mungkin percaya. Dipikiran mereka anak semuda dirinya menghabisi seekor monster di tengah hutan. Sendirian. Itu jelas sekali mustahil. Kalau bukan anak itu juga salah satu dari makhluk, itu tidak mungkin, 'kan?

"Jangan bercanda, Bocah! Kau tak ingin kepalamu melayang dalam sedetik jika kau berkata bohong?!"

"Tenanglah, Biil."

Pria bernama Biil itu terlihat sangat marah. "Bagaimana aku bisa tenang, Oleg?! Nyawa kita sedang dipertaruhkan sekarang!"

"Kau membuat anak ini ketakutan."

"Aku tidak peduli, keparat! Aku hanya ingin pulang dengan tubuh utuh hari ini!"

"Sial! Kecilkan suaramu, idiot! Kau akan mengundang monster-monster datang mendekat!"

Mendengar perdebatan pria-pria di hadapannya itu, Qilin menarik sebuah kesimpulan. Rupanya Pemburu Monster --para Pria Bunuh Diri ini-- juga takut akan kematian. Mau bagaimanapun manusia hanyalah manusia. Sekeren apapun julukan dan pekerjaan mereka, mereka adalah makhluk mortal yang hanya hidup sekali.

"Aku membunuh sendiri makhluk itu," kata anak itu enteng.

Semua perhatian kembali terarah padanya.

"Itu benar-benar aku yang melakukannya," ulangnya. Hati-hati, dia menunjuk sebuah tali tergulung yang masih tergeletak di atas buntalan kainnya. "Aku mengunakan itu untuk menangkapnya."

Pria-pria itu masih menatapnya curiga.

"Dengar, Tuan-tuan Petualang. Aku sama sekali tidak berbohong. Kalau tidak percaya kalian bisa menggali lagi kuburan makhluk itu dan melihat bekas jeratan di lehernya.

"Aku mengunakan tali itu untuk membuat semacam ikatan laso untuk menangkapnya dari jauh. Sebelumnya aku telah lebih dulu mengikatkan bagian tali yang lain ke sebuah pohon untuk menariknya dan menjaganya agar tidak memberontak lalu kabur." Dan yang paling penting adalah keberuntungan. Qilin mempelajarinya cara ini sejak lama, namun melakukannya langsung ... "Agak menyusahkan memang menggunakan cara ini. Karena aku harus menunggu makhluk ini keluar dari telaga saat bulan penuh atau opsi yang lebih buruk aku harus memancing makhluk itu keluar telaga--"

"Makhluk apa yang sedang kau bicarakan ini?" Oleg memotong penjelasannya tak habis pikir.

"Uhm. Kalian tidak mengenali struktur bentuk dari tulang-tulang itu?"

"Jawab sajalah!" Biil membentak penasaran.

"Aku lupa sebutannya. Tapi, dia mempunyai setengah badan manusia dan setengahnya seperti ekor ikan."

"Itu pasti Siren," tebak pria berhidung melengkung yang memegang busur dan anak panah.

"Nah, mungkin itu!" sahut anak itu.

"Makhluk Air." Oleg menarik kesimpulan. "Aku tak mengira makhluk itu benar-benar ada."

"Iya." Qilin mengangguk. Mengerti. Semua monster-monster yang berkeliaran bebas di benua ini memang seharusnya tidak ada. Walaupun begitu... "Rasanya lezat."

"Apa?" Seakan ada yang salah dengan indra pendengarannya, Oleg bertanya.

"Siren itu, maksudku. Dagingnya lezat."

"HUEKK!" Tiba-tiba Biil memuntahkan isi lambungnya. Tepat di hadapan anak lelaki itu dan kedua kawannya.

Empat pasang mata itu menatap anak lelaki itu terkejut sekaligus ngeri. Seakan Qilin lebih mengerikan dari monster-monster yang berkeliaran di benua ini.

"Kau memakannya?!"

Menjawab keterkejutan si Hidung Bengkok, Qilin kembali mengangguk polos. Apa ada yang salah dengan memakan Siren? Apakah makhluk itu mengandung sesuatu yang berbahaya atau racun di tubuhnya?

"Makhluk itu monster!"

"Ya, aku tahu." Hei, ayolah, apakah mereka tak pernah memakan monster sebelumnya? Terlebih disaat genting dan suplai bahan makanan Para Petualang itu menipis. Bukankah daging dari hewan buruannyalah merupakan satu-satunya yang harus mereka makan. Walau menjijikkan, lebih baik daripada mati konyol karena kelaparan, kan?

"Monster itu memiliki sebagian bentuk tubuh manusia." Pria Hidung Bengkok hampir histeris. Dia menoleh menatap Oleg, meminta pembenaran.

"Tidak. Makhluk itu adalah monster."

"Mungkin dulunya dia manusia! Dan, dan--!"

"Dia monster! Kau tak tahu bagaimana kalau makhluk itu mungkin saja telah memakan pemburu-pemburu malang yang tersesat di hutan ini dengan kidungnya! Menenggelamkan mereka ke telaga! Entah sudah berapa banyak kerangka manusia di dalam telaga itu! Kalau saja bukan karena anak ini mungkin kita juga sudah menjadi kerangka! Berhentilah bersikap irasional!"

Ada jeda beberapa saat. Anak itu menatap kedua orang di depannya. Oleg yang menatap kawannya dengan sengit dan si Hidung Bengkok yang terlihat terkejut karena kemarahan si Oleg.

"Baiklah. Maafkan, aku." Pria itu akhirnya menurunkan busurnya. Menunduk, dia menyingkir bersama Bill yang telah terlihat pucat.

"Uhm. Apakah kalian sudah percaya padaku sekarang?" tanya anak itu hati-hati pada Oleg.

Wajah sengit Oleg sedikit mengendur. Dia mengangguk.

Qilin mendesah lega.

Namun, sepertinya itu tidak selesai begitu saja, karena setelahnya dengan cepat Oleg menorekan ujung pedangnya pada leher Qilin itu.

Qilin terkejut. Namun, dia yakin kepala masih tersambung pada tubuhnya. Dia menatap Oleg dengan tajam.

"Aku perlu mengeceknya." ujar Oleg sembari melihat leher Qilin dengan seksama beberapa saat. Sebelum akhirnya menyarungkan kembali pedangnya.

Qilin terdiam. Dia juga pernah mendengarnya kalau sebagian monster-monster itu memiliki regenerasi yang sangat cepat dan darah mereka berwarna berbeda.

"Baik. Kau manusia," ujarnya pendek. Oleg melemparkan sebuah kain lusuh pada Qilin. "Ambil ini. Kami akan mengantarmu hingga ke desa terdekat setelah kami beristirahat."

Pria itu berjalan menghampiri kedua temannya yang duduk di dekat api unggun.

Qilin mengikuti. "Permisi, apakah aku boleh meminta roti?"

Biil yang masih pucat menatap anak itu dengan jengkel. "Untuk apa?"

"Bukankah sup lebih lezat dengan roti?"

"HUEKK!"

*

"Bukankah menurutmu berandal ini terlihat seperti Xuan? Lihatlah pakaiannya, itu seperti pakaian tradisional Xuan." Biil diam-diam berbisik pada Richard yang duduk tepat di sampingnya. Dia sudah terlihat baikan sejak muntah-muntah beberapa saat lalu.

Pria berhidung panjang nan melengkung yang sedang memakan roti sisa dari bagiannya yang diberikannya pada si anak pemakan siren itu menjawab acuh. "Hm."

"Kalau dilihat-lihat dia juga punya mata sipit. Bukankah hutan ini sudah terlalu jauh dari Xuan? Ada urusan apa bocah Xuan di Caltherion?"

"Entahlah."

"Jangan-jangan dia assassin. Dari keterampilannya mengguliti lalu ... ugh ... memakan ... ugh ... brengsek aku ingin muntah lagi."

"Hei, nak, darimana asalmu?" Tak tahan dengan bisik-bisik Biil yang sangat keras untuk disebut bisik-bisik itu, Oleg pada akhirnya bertanya.

Qilin yang sedari tadi sibuk mengemasi perlengkapannya menoleh. Tanpa ragu dia menjawab, "Aku dari Xuan."

"Benar, kan, kataku!" sentak Biil dengan bangga seakan baru saja menebak isi kotak harta. Dia menatap Xiu curiga. "Kenapa bocah Xuan bisa tersesat sampai kemari? Kau tersesat atau kabur dari rumahmu?"

Qilin berpikir tak ada gunanya dia berbohong sekarang. Sejak awal pria-pria ini menemukannya, Qilin tahu kesempatannya untuk berbohong amatlah kecil. Jadi, dia katakan saja tujuannya. "Aku dengar tahun ini mereka akan kembali mengadakan kompetisi Raven Heart, aku akan mengikutinya."

"UHUK!" Seseorang tersedak. Lalu terbatuk-batuk keras sekali. Itu adalah Richard yang tadi sedang menenggak air dari kantung kulit. Qilin tak akan heran kalau monster-monster akan tiba-tiba menyergap mereka sekarang juga.

"Raven Heart." Oleg bergumam dengan wajah terdistorsi.

Biil tampak bingung. "Huh?"

Richard yang telah menetralkan batuknya segera memandang Qilin dengan matanya yang memerah dengan melotot. "Tunggu! Apa aku tak salah dengar, kau mau mengikuti Raven Heart?"

Qilin mengangguk.

"Kompetisi omong kosong itu! Sialan! Bukannya sudah tidak ada, kenapa mereka mau memulainya lagi?!" Richard terlihat gusar.

"Tunggu, tunggu, tunggu! Apa yang sedang kalian bicarakan ini?"

Richard mengabaikan pertanyaan Biil. Dengan wajah penuh teror dia memandang Qilin. "Dengar, nak, aku peringatkan, itu hanyalah kompetisi omong kosong. Entah darimana kau mendengarnya, tapi sebaiknya kau pulang saja dan batalkan niatmu itu. Kompetisi itu hanyalah akan mengundang malapetaka."

Biil yang tak tahu apa-apa langsung ingin tahu setengah mati. "Raven Heart seperti Jantung Gelap! Kompetisi sialan macam apa itu? Aku tak pernah mendengarnya. Dan siapakah 'mereka' ini? Seseorang bisakah menjelaskannya padaku?"

Dan jelas segera memancing bentakan lainnya dari Richard. "Astaga! Bisakah kau tutup mulutmu sebentar, Biil."

"Aku hanya ingin tahu!" balas Biil tak mau kalah.

"Raven Heart adalah ajang kompetisi terbesar di benua. Begitulah kira-kira yang orang-orang pikirkan beberapa abad silam ... Kompetisi untuk menunjukan siapa yang terkuat di dunia."

Semua mata langsung tertuju pada Oleg.

Pria itu kembali berbicara. "Kau tahu Gerbang Dunia? Ditempat itulah kompetisi ini dilangsungkan."

Gerbang Dunia yang dikatakan Oleg ini diketahui sebagai salah satu bangunan tertinggi di benua. Sebagian orang menyebutnya Gate End, yang merupakan monumen kuno berupa bebatuan berbentuk lima pilar yang berbaris. Bagian tengah pilar sebagai pilar terrendah yang bertuliskan rune-rune kuno terdapat sebuah lubang pintu raksasa setinggi lima puluh meter. Puncak pilar tertinggi itu sendiri setinggi hampir dua ratus meter. Monumen kuno itu berdiri di antara pegunungan dan tersembunyi di hutan wilayah Elayne.

"Dewasa ini orang-orang mulai beranggapan Raven Heart hanyalah legenda yang belum tentu benar adanya dan mengabaikannya begitu saja. Di beberapa lukisan atau teks-teks kuno yang di temukan mengatakan bahwa kompetisi Raven Heart merupakan kompetisi Dewa-dewa. Kompetisi sakral yang katanya mereka-Para Dewa itu saling bertarung demi menunjukkan dan membuktikan siapa yang terkuat di dunia."

"Kompetisi para Dewa? Terdengar luar biasa sekali." Biil berdecak kagum.

"Tentu seperti kataku itu hanyalah legenda. Benar tidaknya aku tak tahu. Namun, kebenarannya kompetisi itu memanglah pernah diadakan. Tepatnya seabad silam. Terakhir kali, oleh pendiri wilayah Elayne. Pesertanya tentu bukanlah Dewa-dewa seperti yang dongeng-dongeng itu ceritakan.

"Lantas siapa? Tentu saja manusia-manusia terpilih yang sudah melewati pelbagai macam ujian. Ratusan manusia-manusia terpilih ini lalu akan memasuki Gate End. Entah apa yang terjadi di dalam sana, pokoknya siapapun yang berhasil keluar akan dinobatkan menjadi yang terkuat dan apapun keinginannya akan dikabulkan oleh sang Raja sendiri."

"Manusia-manusia itu seperti umpan di kail ... ," potong Richard.

"Apa maksudnya?" tanya Biil.

"Sebab lelucon buruk mereka itulah monster-monster tak masuk akal ini berkeliaran dan menyebar di seluruh penjuru benua," sambung Richard. Dia bergumam, "Kompetisi itu membawa kutukan.

"Karena bukannya manusia terkuat yang keluar dari dalam gerbang itu, monster-monster bersama malapetaka beserta kutukan-kutukan yang mereka bawa itulah yang keluar bagaikan air bah. Hampir bisa kau bayangkan, bagaimana manusia-manusia di jaman itu menghadapi monster-monster yang tak terhitung jumlahnya itu. Monster yang tak pernah mereka lihat sebelumnya tiba-tiba muncul dan menghabisi mereka seperti serangga." Wajah Richard terlihat lebih pucat. Kengerian tercetak di kedua matanya, jelas dia tak pernah melihat kejadian yang sebenarnya. Akan tetapi, membayangkan monster-monster yang diburunya sebagai petualang cukup membuatnya tidak harus melihat untuk tahu kengerian masa-masa Kegelapan umat manusia itu.

"Ketika ratusan manusia itu memasuki Gerbang. Manusia juga seperti telah membuka Gerbang itu pada apapun yang ada di dalamnya. Setelahnya diketahuilah, Gerbang itu merupakan Kotak Pandora dunia ini. Umurnya bahkan mungkin lebih tua dari bumi ini," kata Oleg.

Richard melanjutkan dengan sinis, "Orang-orang konyol itu tak lebih hanyalah kelinci percobaan Raja terdahulu demi memuaskan rasa ingin tahunya pada onggokan batu itu. Entah apa yang tersimpan di dalamnya seharusnya tetap menjadi rahasia. Intinya apa itu Raven Heart tidak ada yang tahu apa maksud dan arti persisnya sebenarnya."

"Dan sudah menjadi rahasia umum berkat Raja dan orang-orang konyol itu, kita di sini menjadi Petualang dan menghasilkan banyak uang." Oleg terkekeh sumbang.

"Oh .... Jadi selama ini monster-monster itu berasal dari Gerbang Neraka. Itulah alasan mengapa Guild melarang Petualang-petualang menginjakkan kaki di wilayah Elayne," bisik Biil. "Hei, Oleg, Richard, kenapa kalian bisa tahu tentang Raven Heart ini? Kenapa aku tak tahu apapun?"

"Karena kau bodoh," kata Richard. Membuat Biil mengumpat.

"Para Kesatria Tinggi menjaga tempat itu sepanjang waktu," ujar Oleg.

"Dan sekarang mereka akan mengadakan kompetisi omong-kosong itu lagi," gumam Richard.

"Nak, darimana kau mendengar kalau Raven Heart diadakan?" tanya Oleg.

"Lady of Xuan yang mengabarkannya pada semua orang."

"Itu perintah Kaisar." Oleg memandang Richard serius. "Mereka pasti juga sudah mengabarkannya ke seluruh wilayah."

"Kenapa kita tidak tahu, ya?" Biil bertanya heran.

"Tentu karena kita terlalu sibuk menghabisi monster-monster sialan itu di hutan ini! Astaga ... Apa Kaisar juga telah kehilangan akal sehatnya?!" Richard tak habis pikir.

"Kaisar pastilah juga penasaran dengan onggokan batu itu," tebak Biil.

"Mungkin Gerbang itu memanglah arena khusus yang dibuat Para Dewa untuk bertarung satu sama lain dan unjuk kekuatan." Qilin menyela. Dia yang sedari tadi terdiam tak tahan lagi mengungkapkan pendapatnya. "Monster-monster itu sengaja dibuat sebagai salah satu ujiannya."

Semua orang terdiam. Sebelum beberapa detik setelahnya Biil menyentak. "Hei, berandal kalau orang dewasa sedang berbicara--"

"Nak, siapa namamu?" tanya Oleg.

"Woy! Apa pentingnya namanya sekarang--!"

"Qilin."

"Qilin, kenapa kau ingin mengikuti Raven Heart?"

"Aku ingin menjadi yang terkuat."