Chereads / The Tale of Aracelia / Chapter 4 - 3. The Precious One

Chapter 4 - 3. The Precious One

Shu Han adalah desa kecil di cekungan pegunungan di wilayah Xuan. Walau tempatnya terpencil dan masih jauh dari kata maju, Shu Han merupakan tempat yang sangat indah dan damai. Mata pencaharian penduduk di desa ini adalah sebagai seorang penebang kayu dan pemburu hewan liar. Mereka juga pengerajin yang andal, mantel-mantel yang mereka buat dari kulit hewan bahkan sudah diperdagangkan dengan layak. Lalu, tidak seperti daerah lain di Xuan, monster-monster di Shu Han sangat sedikit dan bisa dibilang langka. 

Salah satu tempat favorit Qilin di desa itu adalah air terjun naga. Bentuknya unik; meliuk-liuk seperti naga yang sedang terbang. Orang-orang mengatakan seekor monster mendiami tempat itu dan sedang menunggu siapapun yang mendekat untuk memakannya. Tapi, tentu saja Qilin tidak menghiraukannya. Setiap hari dia akan datang ke tempat itu dengan membawa peralatan menyulamnya. Tempat itu sangat cocok untuk membuatnya tetap fokus.

Air terjun naga sudah seperti tempat tersembunyi baginya. Setiap pagi dia akan menyelinap ke sana dan akan pulang sebelum matahari terbenam. Dia akan menyulam sepanjang hari dan membuat banyak motif baru. Semuanya terasa menyenangkan. Hingga suatu pagi dia menemukan seorang pria yang sedang bersemedi di bawah air terjun itu. Layaknya seorang pengguna ilmu beladiri sejati, pria itu duduk bersila, dan hanya bertelanjang dada.

Satu hari, dua hari, tiga hari, Qilin membiarkannya karena pria itu hanya berdiam dan tak melakukan apapun. Namun, hari ke tujuh Qilin sudah mulai bosan, dia tak bisa menyelesaikan sulamannya karena pria ini. Pria itu menganggu konsenterasinya. Dia bisa saja pergi dari tempat itu dan mencari tempat lain. Akan tetapi, bukankah itu tidak masuk akal? Qilin lebih dulu yang menemukan tempat ini.

Saat hari ke sepuluh Qilin memutuskan untuk pergi lagi ke air terjun naga, setelah dua hari sebelumnya dia tidak, Qilin berharap pria aneh itu sudah pergi. Dan, ya, tanpa diduga, pria itu telah pergi. Suasana air terjun itu kembali seperti semula. Qilin merasa bisa menyelesaikan sulaman ini dalam satu hari. 

"Aku lihat, kau selalu datang sendirian ke tempat ini. Apa kau tidak punya teman untuk bermain bersama?" 

Qilin menoleh. Di sampingnya telah berdiri seorang pria dengan rambut panjang dan kumis-jenggot panjang pula yang sedang menatapnya dengan penasaran. Sepasang matanya yang terlihat di antara rambut-rambut tak terurus di wajahnya itu membuatnya benar-benar terlihat seperti seekor kera yang turun gunung. Akan tetapi, bukan itu yang penting! Kenapa pria itu di sini lagi?! Ya, pria ini adalah pria yang sama yang Qilin lihat terakhir kali saat bersemedi di air terjun. Ini adalah orang yang membuat beberapa hari belakangan menjadi menyebalkan.

"Kau tidak datang dua hari lalu. Apa kau sakit?"

Qilin kembali memutar kepalanya. Memfokuskan kembali matanya pada sulaman bermotif yang dia bawa. Tidak mengacuhkan pria itu sepenuhnya. Dia sedang mencobanya.

"Wow, kau sedang menyulam rupanya. Jarang sekali bocah laki-laki yang pandai menyulam. Bentuk apa yang kau buat? Serangga? Kau membuat motif laba-laba? Luar biasa sekali, Nak!"

Qilin berusaha tidak mengabaikannya. Akan tetapi, rupannya pria ini tidak peka sama sekali. Qilin menoleh menatap pria itu tanpa ekspresi dan pria itu sedang sedikit membungkukkan tubuhnya untuk  mengintip sulamannya. Qilin berdiri, membuat pria itu hampir terjengkang ke belakang.

"Eh, sudah mau pulang? Kau tak menyelesaikan motif serangganya?"

"Anggrek. Itu bunga anggrek." Sebelum Qilin pergi dari tempat itu, entah kenapa dia ingin menegaskannya pada pria itu. Membuat si pria menggaruk kepalanya dan tak bisa berkata-kata.

Disaat-saat terakhir seperti ini entah kenapa otak Qilin  malah memutar kejadian di masa lalu. Mungkin tidak hanya punggungnya, kepalanya pasti ikut terbentur tadi. Pandangan  memburam. Qilin mengedipkan kelopak matanya yang terasa berat. Salah satu dari dua Centaur dengan wajah marah itu sudah berada di hadapannya. Si pembawa tombak. Ya, karena Centaur ini sekarang sedang menodongkan tombaknya di depan wajah Qilin. 

Centaur itu mendorong tombaknya. Sayang sekali, tiba-tiba darah menyembur dari kedua tangannya yang terpotong. Lalu, tubuh itupun roboh dengan kepala terpenggal. Apa Qilin pernah bilang kalau tubuhnya itu punya kekebalan terhadap racun tertentu? 

Walau kecepatan Qilin berkurang, dan tubuhnya yang terasa remuk, melawan musuh yang hanya berdiam di satu tempat itu sangat mudah bagi Qilin. Qilin mengusap sudut mulutnya, membersihkan bercak-bercak darah di sana. Pandangannya tertuju pada satu Centaur di hadapannya. Wajah Centaur itu terlihat super duper marah.

*

Qilin terbangun karena mendengar suara-suara sangat berisik di sekitarnya. Kedua pupilnya berusaha beradaptasi dengan cahaya yang sangat menyilaukan matanya. 

Bukit itu terbakar. Centaur-centaur terlihat berlarian panik dengan tubuh yang terbakar. Bagus setidaknya dia tak perlu lagi menyalakan sinyal asapnya.

Qilin menggerakkan kornea matanya ketika dia melihat sesuatu di sudut matanya. Mata Qilin tak mungkin salah waktu melihat sosok reptil super besar yang sedang membakar seluruh isi bukit itu dengan api yang keluar dari tenggorokannya.

"Naga?"

"Benar sekali."

Qilin mengernyitkan alisnya. Dia perlu sedikit menengadahkan kepalanya untuk melihat ke asal suara. Seorang anak laki-laki terlihat sedang duduk santai di salah satu batang pohon tepat dimana tubuh Qilin bersandar. Sambil menggigit sebutir buah apel merahnya, dia menatap Qilin dengan polos. Rambutnya yang berwarna perak kontras sekali dengan sekitarnya.

"Aku tak mengira kau akan bangun," kata anak itu. Lalu, mengakhiri apelnya dengan satu gigitan besar.

"Nagamu membakar seluruh bukit ... . Berapa lama aku tidak sadar?"

Sambil masih mengunyah apelnya, anak itu memandangi Qilin. Lalu, beberapa saat kemudian melompat turun. "Hupla! Ummm ... . Tidak sampai 3 menit."

"Bagus." Qilin merasakan nyeri yang lebih intens di sekujur tubuhnya. Dia tidak mengira rasanya akan lebih parah dari yang dia duga. "Terima kasih."

"Huh?"

Tidak memperdulikan wajah bingung anak di depannya. Qilin berusaha untuk bangkit, tentu dengan bantuan pohon di belakangnya dan dengan menahan rasa sakit.

"Aku Qilin. Kau siapa?"

"Aku Serpent."

"... . Kau membantuku, Serpent. Aku berhutang nyawa padamu."

"Serpent?"

"Apa?"

"Pffft. Hahahahaha! Berengsek! Lucu sekali!" Cahaya dari api yang bergejolak di sekitar mereka terpantul di wajahnya yang muda. Anak laki-laki itu tertawa kencang sambil memegangi perutnya. Lalu, menatap Qilin dengan sumringah. "Kau! Kau benar-benar manusia paling menarik yang pernah aku temui!"

Qilin mengernyitkan alisnya.

Anak itu meredakan tawanya. Lalu, memandang Qilin dengan lurus. "Qilin, melihat kondisimu beberapa waktu lalu, sejujurnya aku tak menduga nyawamu akan tertolong. Jadi, menurutku sia-sia saja aku membantumu. Toh, kau tidak ada hubungannya denganku. Tapi, di detik-detik terakhir, tiba-tiba saja pria besar itu ... " Dia mengendikkan jempolnya pada naga yang masih sibuk membakar seisi bukit itu. " ... datang dan menyerang para Centaur itu. Itu membuatku sangat penasaran. Kenapa makhluk sepertinya itu membantumu?! Sebenarnya kau ini siapa Qilin?"

Qilin terdiam.

"Hei, berapa usiamu?" tanya anak itu lagi.

"13 tahun." Kita seumuran, kan?

"Namaku Davi."

"Baiklah ... Davi ... Serpent ... ."

"Hehehe ... Iya. Panggil saja Davi. Qilin, apa nama keluargamu?"

"Xiu."

"AJAX!" Tiba-tiba anak bernama Davi itu berteriak. Membuat reptil besar yang berdiri tak jauh dari mereka itu mengalihkan perhatiannya pada mereka. "Sudah cukup! Kemarilah!"

Tinggi naga itu kurang lebih sepuluh meter. Bentangan kedua sayapnya bahkan mungkin lebih lebar lagi. Bisa dua kali lipat tubuhnya. Naga itu menundukkan tubuhnya. Sepasang mata berwarna kuning itu terlihat sangat mengintimidasi. "Xiu Qilin ini Ajax, dan Ajax ini Xiu Qilin." Dengan santai Davi memperkenalkan keduanya sambil menepuk-nepuk kepala naga merah di sampingnya itu.

Qilin memperhatikan keduanya. Naga itu jelas merupakan peliharaan Davi.

Davi tersenyum miring. "Kau seperti tak terkejut sama sekali? Kurasa ini bukan kali pertamamu melihat naga? Hm ... padahal kalau dipikir-pikir bukankah jarang sekali ada naga yang terlihat di benua ini."

"Sebenarnya ini kali pertamaku melihatnya." Akan tetapi, entah mengapa, Qilin merasa familiar dengan Ajax.

"Eh? Kau belum pernah bertemu atau melihatnya sebelumnya?" Davi menyipitkan matanya. Kemudian menoleh pada naganya dengan bingung. "Lalu, sebenarnya kenapa kau membantu Qilin, Ajax? Hm ... . Apa kau ingin memakan Qilin?"

Errr ... . Qilin tak bisa tak memandang Davi dengan aneh. "Memakanku?"

Davi langsung memandang Qilin dengan cengiran lebarnya. "Hahaha ... . Hanya bercanda Qilin." Dia menepuk-nepuk kepala Ajak dengan bangga. "Soalnya kau suka bermain-main dengan makananmu, ya, kan, Ajax?"

Ajax terlihat sangat nyaman dengan Davi. Seakan makhluk itu bukanlah makhluk yang baru saja membakar seluruh bukit dan memusnahkan puluhan Centaur dengan satu tarikan nafasnya.

"Ulululu~ naga pintar siapa ini~?"

Qilin tidak mengacuhkan interaksi mereka. Dia memandang bukit yang masih terbakar itu. Centaur-centaur yang berlarian beberapa saat lalu sudah tumbang dan sekarang menjadi makanan api. Gejolak api menari-nari di kegelapan. Mungkin akan menyala hingga pagi hari.

"Hei, Qilin, aku dan Ajax akan melanjutkan petualangan kami. Apa kau mau bergabung bersama?"

Penawaran yang tiba-tiba. Qilin tak bisa menutupi wajah terkejutnya dan menatap wajah penuh harap Davi dengan kedua pupilnya yang membesar. Tapi, sayang sekali Davi, sepertinya ini adalah perpisahan. Karena Qilin sama sekali tidak dalam waktu senggang untuk bermain-main dengan kalian.

"Kurasa tidak," ujarnya dengan senyum kecil. Qilin menatap Davi lurus. "Aku juga harus melanjutkan perjalananku. Ada tempat yang kutuju."

"Apa?! Jadi kau bukan berasal dari kota di bawah itu?"

"Bukan. Aku dari wilayah Xuan."

"Xuan?" Davi menyatukan alisnya sesaat. "Ah, benar juga, manusia suka membagi-bagikan tanah mereka."

Qilin terdiam.

"Yah, aku tak bisa memaksamu." Senyum ceria Davi berubah. Di balik mata abu-abunya dia menatap Qilin serius. "Tapi, kau harus mengingat ini Xiu Qilin, kau telah berhutang nyawa pada pria besar ini." Lalu, senyumnya kembali terukir. Lebih lebar. "Jadi, pastikan kalau kau akan membayarnya saat bertemu lagi."

"Baiklah."

Davi tersenyum miring. Dia kemudian naik ke atas punggung naganya. Sebelum mereka pergi, sebuah benda memantulkan cahaya bulan terjatuh dari atas. Davi melempar sesuatu pada Qilin dan langsung ditangkap Qilin dengan sigap. "Aku hampir melupakannya. Kurasa itu benda berhargamu, ya. Aku menunggu untuk melihat pertarungan yang lebih seru darimu, Xiu Qilin."

Naga itu beranjak. Lalu, menjatuhkan tubuh besarnya dari bukit. Setelah itu merentangkan sayapnya lebar, dan terbang ke kegelapan langit malam. 

Qilin menatap benda yang di lempar Davi dengan senyum. Itu adalah salah satu belati miliknya yang dia lempar pada kepala Centaur betina. Qilin hampir melupakannya. Dia mengeluarkan salah satu pasangannya dari lengan bajunya. Qilin mengakui dua belati ini memang berharga untuknya.

*

"Kau kelihatannya benar-benar tidak punya teman, Nak? Baiklah mulai hari ini, biar saudara laki-laki ini yang akan menemanimu sepanjang hari."

Qilin mengernyit. 

Pagi ini, pria aneh itu lagi-lagi datang ke air terjun naga. Ini sudah kali ke empat pria itu datang bahkan tanpa bersemedi di air terjun. Seakan sepertinya dia sengaja dan sangat ingin mengganggu Qilin.

"Haaah~ cuaca pagi inipun terlihat sangat cerah. Benar-benar waktu yang tepat untuk bermalas-malasan." Pria itu duduk di samping Qilin seperti tanpa beban. Lalu, mengeluarkan sebuah buntalan, membukanya dan memakannya dengan lahap.

Merasa dipandangi dengan menusuk pria itu menoleh pada anak yang duduk di sampingnya itu. "Kauw mauw?"

Beberapa butir nasi menyembur dari mulutnya. Pria itu menawarkan sebuah Zongzi yang separuhnya telah dia makan pada Qilin, dan masih dengan mengunyah-ngunyah dengan suara keras.

Xiu tidak mengacuhkannya. Kembali pada kesibukannya untuk menyelesaikan sulamannya. Xiu ingin sekali mengusir pria ini. Tapi, apa pria itu akan pergi? Xiu yakin jawabannya tidak. Karena pria ini menyebalkan.

"Kau ini anak yang pendiam, ya? Sepertinya kita mempunyai sifat yang sama. Aku juga cukup pendiam."

Pendiam apanya. Qilin mendengus dalam hati.

"Ngomong-ngomong. Bagaimana dengan motif laba--maksudku bunga anggrekmu itu? Apa kau sudah menyelesaikannya? Aku belum melihatnya sejak terakhir kali kau membawanya?"

Qilin menghentikan kegiatan menyulamnya. Lalu, mengemasi barang-barangnya, dan segera pergi dari tempat itu.

Lagi-lagi pria itu menggaruk kepalanya bingung. Kesalahan apa lagi kali ini yang dibuatnya.

Qilin tenggah duduk di depan rumahnya sambil memandangi sapu tangan bermotif bunga anggrek hasil sulamannya. Sulamannya itu sudah selesai dengan indah dan ini seharusnya menjadi kado ulang tahun ibunya. Tapi ...

"Dasar pengemis! Apa kau mau mencuri hiasan rambutku, huh?!"

"T-tidak."

"Apa kau tahu ayahku membelikan ini dari kota tempat Nona Sara tinggal dan kau berani-beraninya ingin mencurinya!"

"A-aku hanya menemukannya di--"

"Pembohong! Dasar pencuri! Kembalikan hiasan rambutku!"

Adegan saling rebut dan dorong itupun terjadi. Lalu, salah satu anak terjatuh, dan langsung menangis keras.

Qilin menatap keributan anak-anak itu di depan rumahnya. Dia seharusnya tak melihat ini. Tapi, pandangannya tak teralihkan kala seorang wanita muda datang dan ikut campur perkelahian antar anak kecil itu.

Wanita dengan tampilan yang sangat berwarna itu tiba-tiba saja menampar salah satu anak hingga anak tersebut jatuh tersungkur di tanah. "Dasar anak nakal! Berani sekali kau melukai anakku!"

"Ibuuuu! Dia mencuri hiasan rambut yang dibelikan oleh ayah!"

"Sudah! Biarkan saja! Kita tak akan mengambil barang yang sudah diambil oleh pengemis!" kata wanita itu tajam. Melihat anak yang ditamparnya itu seperti onggokan sampah yang tak berguna.

Anak itu masih tertunduk dengan rambut berantakan.

"Tapi, Bu!" Tak memperdulikan rengekkan anaknya, wanita itu segera membawa anaknya pergi dari tempat itu.

"Ibu dan ayah akan membelikamu yang baru dan lebih bagus. Kita akan pergi ke kota bersama."

Beberapa orang yang melintas di jalan itu terlihat tidak peduli dengan anak yang masih terduduk di jalanan becek itu.

Sebuah tangan terulur. Menawarkan sebuah sapu tangan bermotif bunga anggrek yang indah. Anak perempuan itu mendongak. Qilin menatapnya tanpa ekspresi.

"T-terima kasih," kata anak perempuan itu gugup. Dia menerima sapu tangan Qilin dan langsung mengusapnya pada pipinya yang penuh air mata. "H-harum."

Qilin tak tahu apa yang sedang dia lakukan saat ini. Dia menyerahkan sapu tangan yang dia kerjakan dengan hati-hati itu pada orang lain dengan gampangnya. Qilin berbalik dan hendak berlalu pergi. Akan tetapi, anak itu menarik ujung bajunya. 

"Kau percaya, kan, kalau aku tidak mencurinya?" tanya anak perempuan itu lirih. Anak itu sudah berdiri dan menggenggam sapu tangan yang diberikan Qilin dengan erat.

Qilin meliriknya sesaat. Sebelum melanjutkan langkahnya dan masuk ke dalam rumah. Dia akan mebuat sapu tangan baru dengan motif baru. Qilin akan membuat yang lebih bagus dari itu.

Ya, alasannya tidak membawa sapu tangan itu pagi ini karena Qilin sudah memberikannya pada seorang anak perempuan yang menangis di depan rumahnya. Akan tetapi, apa dia akan mengatakan hal itu pada pria aneh itu? Itu tidak mungkin!

Qilin berjalan pulang dari air terjun dengan perasaan kesal. Kekesalannya bertambah kala dia mendengar langkah kaki lain di belakang tubuhnya. 

Qilin segera berbalik. Dan seorang anak perempuan berambut kusut itu berdiri di belakangnya. Terlihat terkejut sekali karena rupanya Qilin menyadari keberadaannya.

"Apa kau membutuhkan sesuatu?" tanya Qilin. Qilin bahkan tidak menyadari bahwa dia berbicara pada orang asing lebih dulu.

Anak perempuan itu mendekat. Mengulurkan kedua tangannya. "Ini milikmu," ujarnya menyerahkan sebuah kain.

Qilin menatap kain sapu tangan berwarna hitam bermotif bunga anggrek emas itu dengan lurus. Lalu, kembali menatap si anak perempuan tanpa ekspresi. "Buang saja."

"B-boleh aku simpan?" tanya anak perempuan itu hati-hati.

"... . Terserah."

Qilin meneruskan langkahnya. Sementara anak perempuan itu menatap punggungnya dengan senyum lebar dan mendekap sapu tangan barunya.

Hari-hari berikutnya anak perempuan itu terus membuntutinya. Kemanapun dia pergi. Bahkan saat Qilin di dalam rumahnya dia bisa melihat dari jendela, anak perempuan itu menunggunya di depan rumah. Anak itu datang pagi-pagi sekali. Qilin berusaha tidak mengacuhkannya. Akan tetapi, dia merasa sudah muak. Pertama si pria aneh dan sekarang bertambah satu orang lagi.

"Bisakah kau berhenti mengikutiku!" bentaknya pada suatu waktu. 

"T-tapi--"

"PERGI!"

Si anak perempuan terlihat sangat terkejut. Qilin tak salah waktu melihat kedua pasang mata hijau hazel di balik rambut kusutnya itu terlihat berkaca-kaca, sebelum akhirnya anak itu berlari kabur.

Qilin jelas merasa sangat sensitif akhir-akhir ini. Terlebih dia belum menyelesaikan motif sulamannya padahal sebentar lagi hari ulang tahun ibunya.

Qilin melanjutkan langkahnya ke arah air terjun naga. Dan begitu sampai pria aneh itu sudah berada di sana. Melambaikan tangannya seperti orang bodoh.

"Hei, Nak, coba tebak. Hari ini aku membawa bakpao isi daging. Ini masih sangat hangat. Kau pasti kepingin, 'kan?"

Qilin menatap pria itu. "Bisakah kau pergi dari tempat ini?"

"Huh? Kenapa? Bukankah kita sudah berkawan baik?"

"Bisakah kau biarkan aku sendirian!"

Pria itu berjengit kaget. Ini kali pertamanya melihat anak pendiam di hadapannya berteriak marah. 

"Oke, baiklah."