Chika segera mengikuti Damian untuk kembali ke kamarnya. Damian tersenyum bahagia dengan usulan Sany. Setidaknya dia ingin berdua walaupun sesaat saja dengan Chika. Damian segera membuka kamarnya dengan kunci magnet yang ada digenggamannya.
"Silahkan masuk Icha," kata Damian.
Dia mempersilahkan Chika memasuki kamarnya. Chika segera melangkahkan kakinya memasuki kamar Damian. Ukuran Kamar Damian sama dengan ukuran kamar mereka, View pemandangannya juga sangat bagus sama seperti kamar mereka. Kamar ini hanya beberapa saja jaraknya dari kamar Chika dan Sany.
"Silahkan Cha, kamu boleh masuk ke kamar mandinya." Kata Damian lagi.
Kamar mandinya sangat luas, Chika segera meletakkan keperluan mandinya dan menggantungkan pakaian yang akan dia pakai. Dia segera masuk ke dalam ruangan kaca dimana terdapat shower dan closet. Chika mulai menyabuni tubuhnya dengan sabun yang disediakan hotel, sambil melamun.
Chika membayangkan bagaimana tatapan Damian tadi ketika melihat aksi Chika dan Sany yang kejar – kejaran tadi. Chika sebenarnya sangat malu, tetapi bagaimanapun dia tidak menyangka kedatangan Damian.
Biasanya Damian selalu mengetuk pintu atau membunyikan bel, tapi ini Damian langsung saja menyosor masuk. Sudah tentu Chika dan Sany tertangkap basah melakukan perbuatan yang sangat kekanak – kanakan. Chika tidak keberatan atau sungkan melakukannya dengan Sany karena Sany adalah sahabat dan sekaligus saudara baginya. Tapi yang Chika rasakan sekarang adalah rasa malu yang dia derita ketika Damian melihatnya sangat childish dan tentu saja jauh dari kedewasaan.
"Icha sudah belum?" terdengar ketukan dari luar.
"Bentar kak!" jerit Chika dari dalam.
Damian heran Chika belum keluar dari kamar mandi dan waktunya di dalam sudah cukup lama. Chika segera menuntaskan mandinya karena dia tidak mau Damian meneriaki namanya lagi dari luar.
"Bagaimana sich Kamu ini Chika, Kamu di dalam melamunkan orangnya ehhh malah orangnya manggil Kamu dari luar," pikir Chika lagi dengan gemasnya.
Chika segera menatap wajahnya di kaca wastafel dan mulai mematut dirinya disana. Dia memakai rok diatas lutut dengan corak kotak – kotak wara merah dan hitam. Chika akan memadukannya dengan sepatu bots hingga sebetis. Blouse yang dia pakai berwarna putih gading dan menyampirkan sebuah syal dilehernya tidak lupa rambutnya dia ikat setengah dan setengah lagi tergerai dengan manisnya dibahunya. Kemudian dia memasang topi baret merah yang dia pakai semalam, untuk menambah penampilannya. Rencananya Chika akan memakai jaket bombardir senada dengan roknya. Menurut Chika penampilannya cukup manis dan sederhana.
Dia segera menyapukan bedak tipis di wajahnya dan memakai lip gloss tipis dibibirnya. Seandainya saja dia berdandan seperti ini sewaktu bersama Jose tentu dia akan berpikir dua kali untuk meninggalkannya.
"Untuk apa memikirkan pria itu lagi? Buat perasaan tidak nyaman saja," pikir Chika lagi.
Chika segera keluar dari kamar mandi dan melihat Damian yang menatapnya dengan terpana. Damian menatap lekat Chika dan merasakan dadanya berdebar tidak karuan. Chika telah menebarkan pesonanya sehingga Damian terpaku bengong menatapnya.
"Kak?" panggil Chika lagi.
Tapi Damian tidak bergeming dan terus terpaku menatap Chika kembali. Dia benar – benar hanyut dalam pesona Chika.
"Aloooo KaK Damian," kata Chika kembali.
Akhirnya Damian tersadar dan segera merespon panggilan Chika.
"Kakak kok bengong sich?" tanya Chika kembali.
"Ehh, hmm. Apa kamu sudah siap?" tanya Damian dengan tenang.
Chika menganggukkan kepalanya dan risih di pandangi Damian terus.
"Ayo Kak, Icha sudah siap Kok," katanya lagi.
Chika segera berbalik dan berjalan ke arah pintu, dia bernafas lega akan segera keluar dari kamar Damian. tetapi tiba – tiba sebuah tangan kekar menarik tangannya dan menariknya kedalam pelukannya.
Kali ini Chika langsung terhempas di dada bidang Damian, Chika yang kaget tidak dapat menolak pelukan Damian. Mereka kini saling menatap dan Damian memeluk pinggang Chika yang ramping. Tinggi Chika yang hanya sebatas dada Damian membuat dia harus mendongak memandang wajah Damian.
Chika merasakan jantungnya berdebar kencang, dia bahkan lupa untuk bernafas. Wajahnya kini merona kemerahan bukan hanya karena malu saja, tetapi juga kekurangan oksigen karena Chika menahan napasnya.
Damian segera menepuk lembut pipi Chika dan memerintahkannya untuk segera bernapas.
"Icha, Icha kamu harus bernafas. Icha…," katanya segera.
Chika segera menarik napasnya kalau tidak dia akan kehilangan oksigen di dalam dadanya. Kali ini dia membuka mulutnya dengan lebar karena dia ingin menarik oksigen sebanyak mungkin tidak hanya dari lubang hidungnya saja tetapi juga dari mulutnya.
Chika hanya bisa menatap Damian, dengan mulutnya yang menganga. Damian yang terbawa suasana mulai menyentuh wajah Chika dengan jari tangannya.
Damian yang terus saja menyentuh wajah Chika dengan jari telunjuknya menyusuri setiap lekuk wajah Chika hingga ke bibirnya. Bibir yang setengah terbuka itu mengundang Damian untuk mengecapnya. Damian yang menatap Chika tepat di kedua manik hitamnya, tidak dapat melepaskannya mereka seperti dua magnet berlainan kutub yang saling tertarik satu sama lain, tanpa bisa melepaskan dirinya sama sekali.
Chika merasakan sensasi berbeda dengan sentuhan Damian, kini Damian menarik kepala Chika ke arahnya dan mulai mengecap bibir Chika. Chika tanpa menyadari mulai meresponnya mereka kini saling berpagutan satu sama lain dan Damian yang tidak ingin melepaskan Chika terus saja merasakan betapa hangatnya Chika. Hingga akhirnya terdengar suara bel dari pintu yang mengagetkan mereka berdua. Mereka seperti terhempas dari alam yang indah dan harus dipaksa kembali ke alam nyata, sudah tentu Damian tidak merelakannya. Tetapi bel yang terus saja berdering dengan ganasnya tidak mau menunggu dengan sabar sampai penghuninya segera membuka pintu untuknya.
Akhirnya Damian melepaskan Chika dan berjalan ke pintu untuk melihat siapa yang datang.
"Siapa sich mengganggu saja," pikir Damian dengan galak.
Dia segera membuka pintunya karena bel terus saja berbunyi dengan tidak sabar, ternyata di pintu telah berdiri Sany dengan anggunnya. Tanpa menunggu perintah Damian, Sany masuk ke kamar Damian dengan menggeser Damian agar tidak menghalangi jalannya.
Damian melotot memandang ke arah Sany, tetapi Sany pura – pura tidak melihatnya.
Dia terus melangkah mendakati Chika, dan dia masih melihat rona merah dipipi Chika dan Sany menyadari bawah dia telah masuk pada momen yang tidak tepat.
"Kok lama sich Icha? Kamu diapakan Kak Damian lagi ha?" tanyanya dengan usil.
Mendengar pertanyaan Sany sudah tentu Chika semakin malu, dan Chika hanya menundukkan kepalanya tak kuasa menatap wajah Sany lagi. Chika ingin segera berlari menutup rasa malunya, tetapi tentu saja tidak ada tempat persembunyian.
"Kok lama sich Cha. Kamu ngapai saja?" tandasnya lagi.
"Hmm, aku…," kata Chika dengan bingung.
"Ya sudah kalau begitu, kita berangkat saja sekarang. Sebelum Kak Damian membatalkannya, soalnya Kak Damian itu seperti angin ribut ngak jelas kapan datang dan ngak jelas kapan perginya. Kak Damian kalau mau ngajak kita ngak bisa di tentukan dan kalau mau membatalkan juga ngak jelas, bisa saja secara tiba -tiba," kata Sany sambil menarik tangan Chika keluar.
"Ayo Kak kita berangkat!" kata Sany.
"Tunggu, kita jangan pergi dulu."
"Lho ada apa lagi Kak? Jangan – jangan mau batal pergi ya?" tanya Sany dengan jengkel.