Marisa menoleh dengan hati yang menggerutu. Seakan mau bilang. "Ada apa sih dia panggil-panggil aku?"
"Apa?" tanya Marisa malas.
Edi menyipitkan matanya. Kini ia yang menggerutu. Dan bertanya, "Kenapa kamu tanyanya kayak malas gitu sih?"
"Aku sedang memilih bunga. Jadi kalau ada yang penting langsung katakan saja," jawab Marisa.
"Atau kalau tidak, kamu bisa bicarakan dengan Rina dulu. Dia ada di sebelah sana," tunjuk Marisa pada suatu arah. Di sana Rina juga sedang memilih bunga, namun tidak sesibuk Marisa.
"Ini masalah pekerjaan Marisa," ucap Edi. Tanpa menunggu persetujuan dari Marisa, ia menarik pergelangan tangan Marisa.
"Ayo," ajak Edi memaksa.
Supplier bunga yang melihatnya hanya diam dan tak bereaksi apa-apa. Sementara Marisa yang merasa tidak enak lalu meminta izin untuk berbicara sebentar pada Edi.
Marisa tersenyum canggung. "Sebentar ya mbak. Saya mau bicara sama rekan saya. Dan akan segera kembali," ucap Marisa.
Supplier bunga tersebut lalu membalasnya dengan senyuman. "Oh, iya nggak apa-apa mbak, silakan."
Kalau bukan masalah pekerjaan, Marisa yang sedang konsen memilih bunga tidak akan mau diganggu sembarang seperti ini. Apalagi oleh Edi. "Awas aja kalau bukan masalah penting. Aku akan menghajarmu!" sungut Marisa.
Edi terus menarik tangan Marisa. Kemudian Marisa yang tidak mau jauh dari supplier bunganya lalu berusaha melepaskan genggaman tangan Edi. "Udah sini aja jangan jauh-jauh. Nanti capek kalau mau balik ke sini," gerutu Marisa.
"Nanti kalau capek aku gendong," sahut Edi. Yang langsung menelan ludah dengan susah payah, setelah mendapat tatapan tak suka dari Marisa, sambil menyilangkan tangan di depan dada.
Edi menghela napas. "Oke, oke. Kita bicara di sini aja." Edi mengalah. Ia lalu berhenti di bawah pohon, tak ingin membuat Marisa marah.
"Ada klien yang mau pakai jasa kita," ucap Edi.
Jika urusannya benar tentang pekerjaan seperti ini. Tentu Marisa bisa tersenyum. Tidak dapat dipungkiri, selama bekerja sama dengan Edi, bisnis floristnya berkembang pesat. Marisa bisa mendapatkan pundi-pundi banyak dari sana. Itu berkat wedding organizer Edi yang memang sudah punya nama besar.
"Hmm, oke. Kabar yang bagus," sahut Marisa.
"Klien kita orang yang sangat sibuk. Dia meminta bertemu dengan kita siang ini juga," ucap Edi.
Edi sengaja melebih-lebihkan ucapnya, agar mau tidak mau Marisa menurutinya. Ia tahu betul, bahwa Marisa akan bergerak cepat untuk meraih setiap peluang.
Marisa lalu melihat ke arah jam tangan miliknya. "Mepet banget waktunya? Harus sekarang ya?"
"Iya," jawab Edi singkat. Dalam hatinya berharap Marisa menyetujuinya.
Dan Edi berhasil. Walau waktunya mepet Marisa tetap menyetujuinya.
"Oke. Aku selesaikan dulu milih bunganya ya. Tinggal sedikit kok," pamit Marisa.
Edi lalu mempersilakan Marisa pergi. Dan dengan tergesa-gesa Marisa kembali pada supplier bunganya. Mempercepat memilih Bunga.
Sebenarnya ucapan Marisa memang benar. Bunga yang akan ia pilih hanya tersisa beberapa saja. Marisa rencananya tadi sengaja memperlambat memilih bunga agar Edi merasa bosan, dan kapok ikut dengannya.
Betapa senang hati Edi saat ini. Ia lalu menghubungi kliennya yang tadi menelepon, untuk menjadwalkan jam dan tempat bertemu.
Marisa menepati janjinya. Setelah sepuluh menit menunggu, akhirnya ia kembali kepada Edi, karena tugas memilih bunga telah selesai.
Rina menatap heran wajah Marisa yang berubah menjadi ceria. Tak kusut seperti tadi saat berangkat.
"Kamu kayaknya lagi seneng banget. Ada apa sih Sa?" tanya Rina penasaran.
"Edi mendapat calon klien baru Rin. Dan minta kita ketemu siang ini," jawab Marisa, dengan senyumnya yang tak memudar.
Rina ikut senang mendengarnya. "Wah, hebat juga ya mantan kamu yang nyebelin itu," sahut Rina, yang menyamakan langkahnya mengikuti Marisa.
Marisa berhenti sejenak dan menyipitkan matanya menatap Rina. "Ya nggak usah ingatin kalau dia mantan aku juga kali," protes Marisa. Dan Rina hanya membalasnya dengan tawa.
Melihat Marisa dan Rina mendekat ke arahnya. Edi lalu bangkit dari tempat duduknya, yang tak jauh dari mobil Marisa.
"Udah siap?" tanya Edi.
Edi lalu melambaikan tangannya. "Ayo segera masuk. Aku udah atur tempatnya."
Dan setelah itu mereka berangkat menuju ke restoran yang sudah disetujui oleh klien tadi.
***
Karena hari ini jadwal pekerjaan Kevin di kantor tidak banyak. Jadi setelah meeting di luar kantor selesai. Ia menghubungi Marisa untuk mengajaknya makan siang bersama.
Kevin mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Kemudian menekan tombol panggil untuk kontak bertuliskan 'Istriku'
Marisa yang mendengar ponselnya berdering kemiy merogoh tas untuk mengambil ponselnya. Ia langsung menggeser tombol hijau di layarnya, ketika mengetahui Kevin yang menelepon.
"Iya Vin?"
"Kita makan siang bareng yuk," ajak Kevin di ujung telepon. Dengan senyum terkembang. Walau tak dapat Marisa lihat.
"Makan siang di mana? Aku siang ini juga ada janji bertemu sama calon klien nih," tanya Marisa.
"Di restoran violet. Yang dekat kantor aku. Aku habis meeting di sini soalnya," jawab Kevin.
Jarak tempuh dan waktu dari restoran tempat Kevin meeting sekarang, menuju ke tempat yang telah Edi dan klien sepakati tidak memungkinkan untuk mereka bertemu. Jadi Marisa terpaksa menolak dengan halus permintaan Kevin.
"Aduh! Mana jauh banget lagi. Maaf Vin, kayaknya nggak bisa. Jaraknya jauh sama tempat meeting ku dengan klien. Nanti kamu keburu lapar kalau nungguin aku."
"Ya udah nggak apa-apa. Lain kali aja kita makan siang berduanya," sahut Kevin di ujung telepon.
"Kamu sama Rina aja?" Kevin khawatir pada Marisa. Karena jarak restoran itu jauh.
"Aku, Rina sama Edi sih. Klien ini Edi yang dapat tadi lewat telepon," jawab Marisa.
Kevin mengenal siapa Edi. Ia tahu bahwa Edi adalah salah satu mantan pacar Marisa. Bahkan mereka dulu sempat lama saat menjalin hubungan asmara. Yang Kevin kira Marisa akan memilih Edi sebagai suaminya.
"Oh, ya udah," jawab Kevin, terdengar nada kekecewaan di sana. Dan Marisa hanya berharap Kevin bisa memaklumi kondisinya saat ini.
"Maaf ya Vin," ucap Marisa.
"Iya, iya. Nggak apa-apa," jawab Kevin. Setelah itu sambungan telepon mereka berakhir.
Namun itu hanya ucapan Kevin saja. Ia terus menerus resah memikirkan jika istrinya harus bersama dengan Edi dalam waktu yang lama.
"Aku harus menyusul mereka. Edi sepertinya memang sengaja ingin menghabiskan waktu yang lama dengan Marisa. Dan ini tidak bisa dibiarkan."
Kevin yang tadinya sudah lapar. Akhirnya dengan rela menahannya. Dan bertekat menyusul Marisa ke restoran tempatnya meeting.
Di dalam mobil. Kevin yang sudah tidak sabar untuk sampai di restoran tempat Marisa meeting mendesak Joni untuk cepat sampai. Mungkin kalau bisa mobilnya disuruh terbang saja seperti helikopter.
"Ayo Jon, lebih cepat lagi," suruh Kevin.
Bagaimana bisa cepat. Sedang saat ini mereka terjebak macet.
Dengan perasaannya yang bertambah resah. Akhirnya Kevin nekat memesan ojek online, agar cepat sampai. Karena memiliki body yang lebih ramping, dengan menaiki motor pasti akan segera sampai.
Ketika Kevin sudah menemukan driver ojek online terdekat. Ia lalu menyuruh Joni untuk segera menyusul ke restoran tempat Marisa meeting. Dan dengan secepat kilat Kevin keluar dari mobilnya.