Chereads / Terjebak Pernikahan yang Salah / Chapter 4 - Prosedur Medis Usai

Chapter 4 - Prosedur Medis Usai

"Mr Ferdi Adiyaksa from Indonesia," panggil Asisten Dokter yang keluar ruangan, setelah pasien sebelumnya keluar.

Radit, Pak Ferdi dan Bu Alin bangkit dari tempat duduk dan memasuki ruangan dokter kandungan tersebut.

"Silakan duduk," ucap Dokter Richard ramah.

Mereka duduk di kursi yang berada di depan meja kerja sang dokter. Kemudian memulai pembicaraan dengan bahasa internasional.

"Begini, Dok, maksud kedatangan kami ke mari adalah ingin melakukan prosedur medis donor benih. Kami ingin memiliki keturunan, akan tetapi saya dinyatakan mandul," jelas Pak Ferdi dengan setenang mungkin.

Dokter Richard nampak menarik napas panjang sebelum bicara. Sepertinya soal donor itu cukup pelik.

"Begini, harus ada pemeriksaan dulu sebelum melakukan prosedur untuk donor benih. Baik pada suami, istri, maupun pendonor jika disediakan. Pendonor pun mesti menjalani serangkaian pemeriksaan kesehatan," tutur Dokter Richard memulai obrolan serius soal prosedur medis yang akan dijalankan.

"Pertama untuk Bapak sendiri mesti benar-benar terbukti secara medis mengalami infertilitas. Lalu, izin dari selaku suami dan harus menyediakan sertifikat atau bukti nikah yang sah." Dokter Richard menjelaskan secara perlahan agar mudah dipahami.

"Kedua untuk Ibu, juga akan menjalani rangkaian prosedur kesehatan untuk melihat kesuburan. Setelah terbukti ada sel telur yang dapat dibuahi maka ada dua cara yang dapat dipilih untuk proses pembuahan yaitu 'intrauterine insemination' dan 'in vitro fertilization' begitu."

Semua memerhatikan dengan seksama penjelasan sang dokter, terkadang mengangguk-ngangguk sebagai respon mengerti.

"Intrauterine insemination adalah proses dengan cara menyuntikan benih secara langsung ke dalam rahim, sementara in vitro fertilization prosesnya dicampurkan di luar tubuh hingga terbentuk zigot atau biasa disebut bayi tabung. Bagaimana mau pilih yang mana?" tanya Dokter Richard di akhir penjelasannya.

"Kami sudah sepakat dengan proses bayi tabung, Dok," jawab Pak Ferdi cepat dan diangguki oleh Bu Alin yang mengiyakan.

"Oke, baiklah. Selanjutnya soal pendonor, jika memang tidak akan mengambil benih dari bank. Maka ada beberapa persyaratan yang mesti dipenuhi, yaitu:

1. Masuk kategori usia pendonor yaitu dari 18 sampai 39 tahun.

2. Lolos pemeriksaan kesehatan untuk dipastikan tidak ada penyakit bawaan yang akan diturunkan seperti cystic fibrosis dan anemia sel sabit, serta penyakit menular, seperti HIV, hepatitis B, dan hepatitis C.

3. Lolos pemeriksaan air mani, jadi sebelum pengambilan tidak boleh ejakulasi selama tiga sampai lima hari. Agar benar-benar tahu kualitas, kuantitas dan pergerakan benihnya.

4. Lolos pemeriksaan riwayat pribadi, seperti tidak meminum alkohol, tidak tinggal di daerah rawan HIV dan tidak penyuka sesama jenis.

Bagaimana, siap?" tanya Dokter Richard di akhir penjelasan soal syarat menjadi pendonor.

"Siap, Dok," jawab Radit mantap.

Kemudian mereka menyetujui tindakan medis yang akan dilakukan dengan menandatangani surat tertulis.

Bu Alin diminta berbaring di bed yang disediakan untuk pemeriksaan dengan ultrasonografi. Hasil pemeriksaan memang ia ternyata tak memiliki kendala untuk memiliki keturunan.

Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan Pak Ferdi, sementara Radit diminta untuk mengisi riwayat hidup sebagai uji kelayakan pendonor.

***

Satu bulan berlalu, prosedur medis sudah hampir rampung. Tinggal menunggu memasukan zigot calon anak mereka ke rahim Bu Alin.

Pagi ini mereka sedang duduk di balkon hotel, sambil menikmati secangkir teh.

Tiba-tiba ponsel Pak Ferdi berdering, tanda ada panggilan masuk. Rupanya dari Bu Nani yang akhir-akhir ini memang sering menelepon.

Pak Ferdi menggeser tombol hijau yang muncul di layar, kemudian mendekatkan ponsel ke telinga.

"Halo, Ma, ada apa?" tanya Pak Ferdi ketika sambungan telepon terhubung.

'Kapan kamu pulang, sih?! Berhasil apa tidak? Sudah satu bulan ini!' cerocos Bu Nani dari seberang telepon.

"Sebentar lagi, Ma. Nanti kalau sudah beres kami pasti pulang," jawab Ferdi santai.

'Ya sudah, cepetan!' bentak Bu Nani.

"Iya ... iya. Sudah dulu, ya, Ma," ucap Pak Ferdi ingin mengakhiri sambungan telepon.

'Iya, sudahlah,' kata Bu Nani yang langsung mematikan sambungan telepon tersebut.

Pak Ferdi melirik Bu Alin yang sudah berwajah masam karena mendengar percakapan telepon tadi.

"Kenapa, Sayang?" tanya Pak Ferdi lembut sambil tersenyum.

"Mama kamu itu selalu begitu," jawab Bu Alin ketus.

"Tenang saja, nanti juga kalau pulang kita 'kan, bakal pindah ke rumah baru. Biar kamu enggak stres dengan sifat Mama," tutur Pak Ferdi.

Mereka diizinkan tinggal mandiri jika sudah akan punya anak. Padahal dari dulu Bu Alin sudah sangat ingin pisah rumah. Tapi, apalah daya ia tak punya kuasa untuk menentang keputusan mertua dan suaminya.

"Yuk, kita jalan-jalan, mumpung tak ada jadwal bertemu Dokter," ajak Pak Ferdi.

Kemudian mereka berjalan-jalan dengan kendaraan umum. Selama satu bulan di sana, mereka sudah hapal tempat-tempat menarik di daerah itu.

Diantara tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi yaitu Gardens by The Bay, Singapore River, Merlion Park, Universal Studios, Singapore Flyer dan banyak lagi.

Bu Alin tersenyum lebar saat melihat ponselnya.

"Mas, besok dedek bakal dimasukin ke rahimku!" seru Bu Alin bersemangat, ia baru saja membaca pesan masuk dari Asisten Dokter Richard.

"Syukurlah, kita akan segera punya momongan," ucap Pak Ferdi tak kalah bahagia.

Keesokan paginya, Bu Alin telah berada di bed ruangan operasi. Proses memasukan zigot ke dalam rahimnya akan dilakukan.

Ada beberapa dokter yang melakukan operasi ini, mereka memegang peranan masing-masing dalam proses ini.

Pak Ferdi duduk dengan harap-harap cemas di luar ruangan operasi. Beberapa kali ia melirik jam dan mengusap wajahnya. Tak hentinya ia berdoa untuk keselamatan dan keberhasilan proses operasi tersebut.

Satu setengah jam kemudian pintu operasi terbuka, seorang dokter keluar dari sana diikuti seorang suster.

Suster itu langsung menghampiri Pak Ferdi dan menyuruhnya menuju ruangan dokter, ada hal yang perlu disampaikan dokter.

Pak Ferdi mengangguk dan berjalan cepat menuju ruangan dokter yang dimaksud.

Pak Ferdi segera menduduki kursi di depan meja kerja dokter tersebut.

"Selamat, ya, Pak. Semua prosesi berjalan lancar, tinggal menunggu masa pemulihan. Setelah itu, Bapak dan Ibu bisa pulang beserta bayi yang ada di kandungan istri," tutur Dokter Richard dengan sumringah.

"Terima kasih banyak, Dok, atas semuanya." Pak Ferdi mengungkapkan rasa bahagianya dengan berterima kasih.

Meskipun anak yang ada dalam kandungan istrinya bukan berasal dari benihnya, tapi ia berjanji akan menyayangi anak itu sepenuh hati.

Setelah itu, ia keluar dari ruangan dokter.

Dua minggu kemudian, kondisi Bu Alin telah memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh dengan pesawat.

Mereka tengah bersiap untuk pulang, Radit juga ada di kamar hotel itu. Menunggu sepupunya untuk diantar ke bandara.

"Selamat, ya, Bang. Akhirnya bakal punya momongan," ucap Radit.

"Ini juga berkat bantuanmu, Abang yang harusnya berterima kasih," timpal Pak Ferdi.

Setelah selesai semua persiapan, mereka pun check out dari hotel dan pergi menuju bandara.