Setelah selesai semua persiapan, mereka pun check out dari hotel dan pergi menuju bandara.
"Bang, salam buat semua keluarga di Indonesia. Kayaknya ... aku enggak akan ketemu lagi, deh, sama mereka," ucap Radit yang sedang menyetir mobil.
"Wah, kalau semuanya kebanyakan, Dit. Paling sama mamaku aja lah." Canda Pak Ferdi.
"Hehe, iya juga, enggak apa-apa, deh, sama Tante Nani aja. Ngomongin mama, aku juga udah kangen banget sama mamaku," papar Radit sendu.
"Ingat Dit, jangan sampai ada yang tahu." Pak Ferdi kembali mengingatkan Radit soal perjanjian mereka.
"Tenang saja, Bang. Lagian siapa yang mau dengar orang tak bicara." Radit meyakinkan Pak Ferdi.
Kakak sepupunya itu mengangguk puas.
Entah apa maksud dari perkataan Ferdi, wajahnya datar tanpa ekspresi dan fokus menyetir mobil. Tapi perkataannya seakan ia hendak pergi jauh.
Sesampainya di bandara, Pak Ferdi dan Bu Alin pamit untuk pulang ke Indonesia. Mereka memeluk Radit sebelum memasuki area bandara.
Tak lama kemudian, mereka telah berada dalam pesawat untuk perjalanan pulang. Perjalanan dua jam setengah itu begitu menyiksa Bu Alin yang sedang hamil muda.
Sesampainya di Bandara Internasional Soekarno Hatta, mereka memutuskan untuk beristirahat dulu di hotel semalam. Kondisi Bu Alin sungguh memprihatinkan, ia nampak sangat lemas karena perjalanan pesawat.
Baru saja mereka masuk ke kamar hotel, telepon Pak Ferdi sudah berdering tanda panggilan masuk. Seperti biasa dari Bu Nani.
Ia menggeser tombol hijau dan mendekatkan benda pipih itu ke telinga.
"Halo, apa Ma?" tanya Pak Ferdi langsung, tanpa basa-basi.
'Kalian sudah di mana?!' tanya Bu Nani cepat.
"Kami sudah di hotel, menginap dulu semalam di sini," jawab Pak Ferdi.
'Kenapa enggak langsung pulang aja, sih. Orang hamil itu mesti banyak gerak!' Bu Nani mulai mengeluarkan petuahnya.
"Eh, ya sudah. Sudah dulu ya, Ma, bye." Pak Ferdi menutup sambungan telepon.
Ia sadar mesti menjaga perasaan istrinya yang sedang hamil. Itu pun untuk kesehatan janin yang berada dalam kandungan Bu Alin.
Keesokan harinya, Pak Ferdi dan Bu Alin meneruskan perjalanan ke Kota Bandung.
Perjalanan menggunakan mobil travel yang sudah dipesan sebelumnya.
Setelah melewati perjalanan panjang antar kota, akhirnya mereka sampai di depan rumah mewah.
Mendengar suara mobil berhenti di pekarangan rumahnya, Bu Nani segera keluar untuk melihat kedatangan anaknya.
"Kalian sudah pulang, syukurlah. Bagaimana proses bayi tabung ya? Berhasil?" tanya Bu Nani antusias.
"Iya, berhasil, Ma," jawab Pak Ferdi pendek.
"Tuh, kan, istri kamu aja ini yang susah hamil. Kalau dari keturunan Mama pasti subur." Bu Nani berkata dengan begitu bangga.
Mereka berjalan memasuki rumah, ada beberapa asisten rumah tangga yang membawakan barang-barang.
Pak Ferdi dan Bu Alin langsung pamit menuju kamar mereka. Bu Nani nampak kesal karena ingin mengobrol lebih banyak hal dengan anak sulungnya tersebut.
Pak Ferdi tak menghiraukan kekesalan ibunya, yang terpenting sekarang adalah kesehatan dan kebahagiaan istri dan calon anaknya.
***
Keesokan paginya, Pak Ferdi belum berangkat ke kantor. Ia teringat permintaan Bu Alin yang tak mau seatap dengan mertua.
"Ma, aku sama Dek Alin mau pindah rumah hari ini. Kami ingin menempati rumahku yang tak jauh dari kantor," ucap Pak Ferdi ketika mereka sedang duduk santai di taman.
Menikmati hangatnya sinar mentari pagi ditemani secangkir teh.
"Loh, kenapa mesti pindah? Mama 'kan, bisa ajarin istri kamu mesti gimana selama hamil. Biar enggak terjadi apa-apa!" Protes Bu Nani yang tak setuju dengan keputusan Pak Ferdi.
Padahal rumah yang dimaksud Pak Ferdi sudah dibelinya sejak beberapa tahun lalu. Sudah lengkap dengan perabot rumah. Tapi, terkendala izin dari Bu Nani.
"Ma, ini sudah keputusanku. Terserah mau Mama setuju ataupun tidak. Hari ini aku akan pindah bersama istriku ke rumah baru kami!" tutur Pak Ferdi tegas.
Bu Nani mendengkus kesal, baru kali ini anaknya itu menentangnya.
Pak Ferdi kemudian menarik tangan Bu Alin untuk masuk ke dalam rumah. Untuk mengambil barang-barang yang akan dibawa ke rumah baru.
Setelah berkemas dan memasukan semua barang ke beberapa mobil pribadi. Mereka berangkat ke rumah baru.
Lima bulan kemudian, di usia kehamilan Bu Alin memasuki enam bulan. Ada kabar bahwa Radit meninggal karena kecelakaan.
"Innalilahi," ucap Pak Ferdi ketika membaca pesan dari Pak Andra—ayah Radit—.
"Kita harus ke sana, Mas," ucap Bu Alin.
"Bagaimana dengan kandunganku?" tanya Pak Ferdi khawatir.
"Sudah semester dua, enggak apa-apa, kok. Percayalah," jawab Bu Alin meyakinkan.
"Baiklah." Pak Ferdi segera mengambil keberangkatan ke Singapura hari itu juga.
Mereka berangkat ke Singapura dan langsung menuju kediaman Radit. Rumah itu telah ramai dengan para pelayat. Mulai dari keluarga serta tetangga.
"Om, apa kabar?" tanya Pak Ferdi sambil menyalami Pak Andra. Mereka pun ikut duduk di karpet dan berada di dekat jenazah.
"Baik, kamu bagaimana?" Pak Andra balik bertanya.
"Saya baik juga, ini istri saya." Pak Ferdi menunjuk Regina.
"Wah, sudah menikah kamu. Sudah punya anak?" tanya Pak Andra.
"Lagi hamil, Om. Doakan saja," jawab Pak Ferdi dengan senyum.
"Iya, iya. Sejak tantemu meninggal Om seakan dibuang oleh keluarga Adiyaksa," ucap Pak Andra dengan senyum getir.
Memang sejak meninggalnya ibu Radit. Pak Andra seakan menghilang dan tak diketahui rimbanya. Keluarga Adiyaksa seakan menutup mata dari Pak Andra dan anaknya yang hidup pas-pasan setelah istrinya meninggal.
Keluarga Adiyaksa memang terpandang dan kaya. Maka ketika istri Pak Andra meninggal ia kembali hidup biasa. Meski tidak miskin, tapi dibawah keluarga Sultan tersebut.
Setelah cukup lama berbincang, Pak Ferdi dan Bu Alin pamit untuk menuju ke hotel. Mereka berencana untuk pulang keesokan harinya.
Tiga bulan kemudian, lahirlah bayi mungil nan cantik dengan cara cesar.
Bayi itu disambut gembira oleh seluruh anggota keluarga.
Bayi itu diberi nama Fira Putri Adiyaksa.
Kini, bayi mungil itu telah menjadi gadis dewasa yang matang. Bahkan sudah hendak menikah di usianya yang memasuki 27 tahun.
Bu Alin tersadar dari lamunan masa lalunya. Ia berada dalam kamar luas miliknya.
Terdengar pintu kamar diketuk oleh seseorang dari luar. Bu Alin berjalan ke pintu untuk membukanya.
Saat pintu kamar terbuka, nampak Bi Ijah berada ambang pintu.
"Ada apa, Bi?" tanya Bu Alin pelan.
"I—itu, Nya, ada keluarga tuan. E ... Nyonya Nani," jawab Bu Ijah gugup, ia juga sepertinya takut dengan sifat buruk Bu Nani.
"Iya, saya dan Papa segera ke sana," ujar Bu Alin.
"Iya, Nya. Kalau begitu, saya ke dapur lagi," pamit Bu Ijah dan Bu Alin mengangguk.
"Pa, ada Oma." Bu Alin memberi tahu suaminya yang masih duduk di sofa yang berada di bawah tempat tidur.
Mereka kemudian turun dari lantai dua untuk menemui Oma Nani.
"Lama sekali kalian ini!" bentak Oma Nani saat mereka baru saja sampai.