Chereads / Dunia Appeally / Chapter 5 - Hoodie Misterius

Chapter 5 - Hoodie Misterius

Keesokan harinya, aku berangkat kuliah dengan mata yang masih sedikit sembab.

Aku pun menggunakan kunciran yang diberikan oleh Danur padaku sebagai hadiah yang semalam baru saja kubuka. 

Saat Danur sampai rumah untuk menjemputku, rasanya malu untuk pergi bersamanya, namun ku hilangkan rasa maluku kepadanya untuk tetap ikut bersamanya, mau bagaimana lagi? Mau tidak mau aku harus pergi bersamanya.

"Selamat pagi, Apel," sapa Danur padaku dari tempat duduk kemudi.

Aku pun tidak menjawab sapaannya saat itu dan langsung duduk disampingnya, Danur pun memperhatikanku lebih tepatnya melihat kunciran yang aku kenakan. 

Saat diperjalanan hanya ada suara musik yang diputar di radio mobilnya.

"Kamu sudah membuka kadoku?" tanya Danur tiba-tiba padaku.

"Sudah, bisa kau lihat sendiri aku sudah menggunakannya bukan?" kataku sambil memalingkan wajah ke arah yang berlawanan dengannya.

Aku memalingkan wajahku darinya dan tiba-tiba saja air mata ku tumpah lagi, Danur yang menyadari hal itu pun langsung menghentikan mobil ke pinggir jalan.

"Kamu kenapa, Pel?" tanya Danur heran.

"Gak apa-apa," jawab ku singkat.

"Serius?"

"Ya gak lah, kenapa sih mas bro gak jujur dari awal sama aku kalau mas bro itu ya mas bro yang selama ini aku kenal?" kataku marah-marah padanya.

"Maaf Apel, aku pikir kamu akan langsung mengenalku saat acara dirumahmu, kenyataannya tidak. Aku pun sedikit kecewa saat itu," kata Danur menjelaskan dan aku hanya bisa menangis. "Maafkan aku," sambungnya lagi.

"Gapapa mas bro, mungkin memang aku yang salah tidak mengenalmu saat itu."

"Sudah ya jangan nangis lagi, kan sekarang kamu sudah mengingatku dan aku tidak pernah sedikitpun melupakan kamu. Lagi pula kamu masih sama seperti Apel yang kukenal sejak kita masih kecil," kata Danur panjang lebar sambil mengusap air mata yang ada di pipiku.

Aku pun reflek memeluknya dan menangis histeris karena rasa rinduku padanya. Aku masih merasa tidak enak padanya saat aku tidak mengenalnya, tapi aku bersyukur pada Tuhan masih tetap mempertemukan aku dengannya.

"Tuhan itu baik ya," kata ku dalam hati.

Kami berdua pun melanjutkan perjalanan kami yang sempat tertunda untuk ke kampus. Danur pun banyak bercerita banyak hal padaku saat itu, saat dia di SMP yang salah mengira anak perempuan di sekolah lain adalah aku, tapi anehnya aku tidak mendengar sedikit pun cerita tentang boy dari nya. Lagipula aku pun tidak mau bertanya duluan tentang boy, aku hanya mendengarkan tanpa berkata apapun tentang ceritanya.

Sesampainya kami di kampus, aku langsung membawa motorku ke bengkel dekat kampus supaya saat pulang nanti motorku sudah bisa digunakan kembali dan aku tidak perlu berangkat dan pulang dengan Danur lagi, tapi saat aku menaruh motorku di bengkel Danur pun menemaniku dan dia berbicara padaku.

"Emang gak bisa ya kita tetap pulang dan pergi bersama?" tanya Danur padaku dengan nada yang sedikit kesal.

"Emang kenapa? Kau mau menjemputku setiap hari?"

"Oh sudah jelas, 'kan aku tidak mau melihatmu sendirian."

"Gak usah lebay! Aku bukan anak kecil lagi mas bro," kataku sambil mengernyitkan dahi.

"Bukan seperti itu maksudku, tapi aku hanya ingin terus bersamamu, Pel," kata Danur sedikit memohon padaku.

"Ya sudah ini biar nanti aku minta tolong papah yang menyuruh orang mengambil motorku di bengkel biar kita juga bisa pulang bersama."

"Benar ya?"

"Iya, bawelmu tidak berubah sejak kecil ya?" sungut Danur sambil tertawa kecil.

"Hem," Aku hanya tersenyum sinis. Lebih tepatnya salah tingkah.

Setelah itu kami langsung pergi ke kelasku karena Danur pun senior yang bertanggung jawab di kelasku.

Saat sampai di kelas, Ratih memperhatikan kami terus-menerus, entah apa yang dia pikirkan saat itu, bahkan hingga saat ini aku tidak pernah tahu apa yang dia pikirkan. 

Kulihat ada seorang pria bertutupan jaket hoodie yang duduk dibelakang Ratih dengan posisi seperti tertidur diatas meja.

"Siapa dia, Tih?" tanyaku pada Ratih.

"Dia juga anak kelas ini, tapi kemarin dia belum masuk," jawab Ratih.

"Oh," jawabku singkat dan tidak memperdulikannya lagi.

Sirine tanda dimulainya ospek pun berbunyi, tapi anehnya aku sudah tidak melihat anak yang tadi duduk dibelakang Ratih, aku pun tidak bertanya kepada Ratih lebih lanjut. Acara ospek hari kedua pun dimulai.

Seperti biasa perasaan bosan dan malas mulai merasuki jiwaku, tapi aku tidak bisa izin lagi.

Tiba-tiba kak Rini memanggilku.

"Hey kamu, siapa namamu?" tanya kak Rini menunjuk ke arahku.

"Siap, Reina kak," jawabku.

"Kamu yang kemarin bolos seharian kan? bilangnya ke kamar mandi tapi sampai kelas selesai tidak kembali," kata kak Rini sedikit membentakku.

"Apa sih Rin bentak-bentak? lebay banget lo," kata Danur pada kak Rini.

"Lo juga kemana kemarin seharian bukannya bantuin?" kak Rini pun makin sewot.

"Santai dong Rin."

"Ya sudah kamu Reina lari keliling lapangan 10 kali," kata kak Rini menunjuk ke arahku lagi dan menunjuk arah lapangan.

"Gue juga dong Rin? Gue kan bolos juga kemarin," ucap Danur.

"Ngapain lo ikut-ikutan sih bro? heran gue!" bentak kak Rini pada Danur.

"Lo lagi dapet ye Rin? galak amat sih," kata Danur meledeknya.

"Sudah cepat, Reina lari di lapangan!"

"Siap kak," jawabku dan pergi meninggalkan ruangan kelas.

Tidak lama aku memulai berlari mengitari lapangan. Danur pun menghampiriku dan ikut berlari bersamaku, anehnya aku tidak mempermasalahkan itu, malahan aku senang saat Danur menemaniku lari saat ini. 

Setelah selesai kami berdua berlari keliling lapangan, Danur langsung pergi ke kantin untuk membeli minum untukku.

Dari kejauhan aku melihatnya hampir jatuh, dan secara reflek aku menahannya dengan kekuatanku agar dia tidak terjatuh. Awalnya Danur bingung karena mungkin dia merasa aneh, dirinya seperti ada yang menahan ketika akan terjatuh. Dengan wajah yang masih kebingungan, dia menghampiriku. Setelah selesai istirahat, kami beranjak dari sana.

Sesampainya kami di kelas, kak Rini melihatku dengan tatapan sinisnya dan aku melihat Ratih yang masih sibuk mencatat sesuatu di papan tulis entah apa itu, aku juga melihat pria yang tadi tidak kulihat kehadirannya sebelum aku dihukum untuk mengitari lapangan, yang duduk di belakang Ratih. Pria itu terlihat cuek dengan tatapan sinis melihat kearahku. 

Danur melihat ke arahku dengan memberikan senyumannya, lalu memalingkan wajahnya dan pergi keluar meninggalkan kelas entah pergi kemana. Aku langsung melanjutkan kegiatan ospek hari ini dengan perasaan malas dan merasa agak takut dengan tatapan pria yang terus menerus menatapku sinis di bangku belakang.

"Tih, kamu tahu siapa cowok di belakangmu?" tanyaku pada Ratih dengan nada sedikit kesal.

"Kenapa memang?" tanya Ratih dengan raut wajah penasaran.

"Bukan apa-apa. Tidak jadi," kataku pada Ratih.