"Perasaan ibu sama saya bagaimana?"
Deg!
Mayang serasa ditohok. Perasaan Mayang tidak usah ditanya lagi. Dia mulai suka dengan Daud. Namun, apa gunanya Daud mempertanyakan perasaannya? Bukannya beberapa menit yang lalu dia bilang mau memperjuangkan Riyanti? Maunya Daud apa sih.
"Kok kamu tanya begitu? Dari dulu kan aku memang tidak punya perasaan sama kamu, tapi kamu tetap mengejar-ngejar saya." Mayang menjawab spontan. Tidak ingin terkesan berpikir. Apalagi gugup.
"Oh, begitu ya, Bu. Maaf kalau saya lancang bertanya. Saya tidak bermaksud apa-apa."
Mayang menghela nafas. Daud tidak tahu betapa berkecamuknya hatinya sekarang. Bagaimana Mayang berperang menahan perasaannya sendiri. Kalau bukan demi Andini. Sahabat paling berjasa di hidupnya.
"Ya sudah, Bu Mayang istirahat saja. Besok jangan lupa ya datang ke stand. Ambil hadiahnya."
Mayang langsung tenggelam di dalam kamarnya. Menyandarkan punggungnya di balik pintu. Tidak. Jangan sampai perasaan itu tumbuh. Daud memang bukan untuknya. Andini lebih berhak. Lagipula, ini adalah berita yang bagus untuk disampaikan kepada Andini bahwa hubungan Daud dengan wanita murahan itu renggang.
Dia pun melepas pakaiannya. Bersiap untuk merebahkan diri. Menghilangkan pikirannya tentang Daud. Pejantan yang entah kenapa terus terngiang di kepalanya.
Keesokan harinya, Mayang benar-benar pergi menuju pameran. Mengambil undian yang dijanjikan Daud. Mayang sengaja menggunakan waktu istirahatnya bekerja di bank. Dan dia tidak memberitahu kepada Andini bahwa dia akan bertemu dengan Daud untuk mengambil undian.
"Mbak Lina, ini Bu Mayang yang membeli mobil Porshe satu unit kemaren." Daud mengajak Mayang bertemu dengan Pemimpin dari stand itu, Lina.
"Ini, Bu Mayang ya. Silakan Bu, ambil undiannya." Lina tampak hormat sambil menyodorkan kotak berisi gulung-gulungan kecil.
Mayang memandang Daud sejenak. Kalau bukan karena menghargai Daud, Dia enggan untuk datang mengambil undian. Bukan kenapa-napa. Dia merasa tidak pantas saja. Mobil itu yang membelikan Andini.
Seharusnya Andini yang mengambil. Namun sekali lagi, Andini adalah konglomerat. Tentu tidak membutuhkan undian semacam ini.
Mayang merogoh isi dari kotak itu.
Mengambil satu gulungan kecil. Sebenernya, dia juga penasaran, tapi tidak terlalu berharap apa-apa.
'TIKET PESAWAT dan VOUCHER MENGINAP
HOTEL DI BALI 3 HARI 4 MALAM UNTUK DUA ORANG'
Mayang mengangga. Hadiahnya tidak terlalu wah karena Mayang bisa mengusahakannya. Namun, ada memori yang membekas ketika terngiang Bali. Dulu, Sapto berjanji untuk membawanya berbulan madu ke pulau dewata itu, tapi terpaksa dibatalkan karena Sapto yang mendadak harus terbang ke Papua. Hingga belasan tahun pernikahannya dengan Sapto, rencana ke Bali hanya wacana saja. Mayang yang sudah sangat ingin terpaksa berlibur sendiri dengan Novi kala itu. Meski, dia merasa ada yang hampa karena bukan dengan yang tersayang.
"Apa hadiahnya, Bu?" Daud bertanya.
"Tiket pesawat dan voucher menginap di Bali."
"Wah, selamat ya, Bu. Bisa untuk honeymoon lagi sama suaminya." Lina berceloteh tanpa tahu latar belakang Mayang.
Suami? Mana punya Mayang suami. Mungkin situasinya akan berbeda kalau ada suami. Mayang pasti akan sangat antusias. Sayangnya, jiwanya hampa sekarang. Buat apa voucher liburan ke Bali?
"Tampaknya ibu kurang antusias ya, karena biasa main ke luar negeri." Lagi-lagi Lina meledek. Mayang mana pernah ke luar negeri. Kalau Andini sih sering. Ini pasti gara-gara acting kemaren yang menganggap Mayang orang paling kaya, padahal biasa saja.
"Enggak kok, Mbak. Saya suka. Nanti saya akan pergi bareng teman saya." Mayang keceplosan.
"Lho, kenapa enggak sama suami, Bu?"
"E-e, itu suami saya di luar negeri. Jadi mungkin sama teman arisan saya."
Daud terkekeh. Dia tahu betul kalau Mayang itu single alias tidak ada gandengan. Melihat raut wajah Mayang yang tampak kikuk, dia terpingkal-pingkal.
"Kenapa kamu tertawa begitu? Meledek?" Mayang berucap setelah agak menjauh dari Lina.
"Enggak kok." Daud menutup mulutnya rapat. Menahan keras supaya tidak tertawa. Sial!"
"Ya, sudah. Ini tiketnya buat kamu saja."
Daud melongo, "Buat saya, Bu?"
"Iya, kan lumayan kamu bisa pergi sama pacar kamu itu." Mayang menekan kata pacar. Cih! Membayangkan riyanti sama Daud bulan madu di sana membuat Mayang mual. Tapi, mau bagaimana lagi. Andini jelas tidak menginginkan hadiah itu karena Mayang tahu betul. Bali sudah menjadi kesehariannya. Ada cabang restorannya di sana. Sedangkan Mayang enggan kalau pergi sendiri.
Percayalah pergi ke Bali tanpa pasangan itu hampa sekali.
"Ini kan hadiah buat ibu. Saya enggak mau."
"Sudah ambil saja. Saya sudah tua. Udah bukan saatnya jalan-jalan." Mayang berdalih.
"Tua dari mana sih Bu, Ibu itu cantik. Masih kayak dua limaan. Coba deh jalan sama aku. pasti dikira ibu adik saya."
'Ih, apaan sih Daud. Bisa-bisanya gombal seperti itu.' Mayang memalingkan wajahnya yang semerah kentang rebus.
"Atau begini saja, biar adil. Ini kan tiket untuk dua orang. Bagaimana kalau buat saya dan ibu saja?"
"Enggak ah. Terus pacar kamu bagaimana? Jangan seenaknya gitu dong."
"Pacar saya enggak dibolehkan untuk dekat dengan saya lagi, Bu. Cari mati namanya kalau aku ngajak dia."
"Terus, kamu mau jadikan aku pelarian gitu? Enggak sudi."
"Astaga, Bu Mayang salah sangka. Ini Cuma liburan, Bu."
"Pokoknya saya enggak mau. Udah ah, saya mau kembali kerja dulu."
Dengan perasaan kesal, Mayang meninggalkan Daud. Meski hanya untuk sekedar liburan, tapi Mayang tidak pernah tahu apa niat Daud sebenernya. Mayang tidak ingin terlibat terlalu jauh nantinya. Tidak mau ambil resiko disakiti untuk ketiga kalinya.
Sore harinya, sepulang bekerja. Mayang bertemu dengan Andini di restoran. Wajah wanita itu tampak sumringah karena Mayang akan membicarakan berita terkini mengenai Daud.
"Seriusan May? Bagus dong. Jadi peluangku mendekati Daud semakin besar."
Mayang tersenyum tipis. Betapa gembiranya Andini ketika mendengar hubungan Daud kandas dengan pacarnya. Masak Mayang tega mau merusaknya. Menjadi penghalang hubungan antara mereka.
"Terus apa yang aku harus lakukan berikutnya, Din? Masak aku harus memata-matai Daud terus. Kalian kapan bertemunya?"
"Benar juga, May. Gimana ya aku bisa bertemu dengan Daud. Yang jelas aku ingin bertemunya di tempat yang romantis gitu. Tempat yang nyaman. Daud juga dalam keadaan Mood baik, supaya dia tidak kabur kalau bertemu denganku."
Tempat romantis. Nyaman? Mayang menjadi teringat sesuatu.
"Kalau Bali bagaimana Din?"
"Boleh juga, May. tapi bagaimana cara memancing dia supaya mau pergi ke Bali?"
'Ini saatnya aku mengatakannya.' Mayang membatin. Hadiah kupon ke Bali akan sangat bermanfaat untuk mempersatukan mereka.
"Jadi begini, Din. Tadi siang, aku mengambil hadiah kupon pembelian mobil kemaren. Aku dapat tiket pesawat pp ke bali sekaligus voucher menginap di hotel untuk dua orang. Karena aku merasa tidak membutuhkannya, maka aku kasih hadiah itu kepada Daud."
"Hah? Kamu ngasih hadiah itu begitu saja?"
Mayang mengangguk.
"Ya ampun May. Bagaimana kalau Daud menggunakan hadiah itu dengan pacarnya? Enggak mungkin banget kan aku bisa merencanakan bertemu dengan Daud. Yang ada semuanya hancur berantakan. Apalagi aku males kalau bertemu dengan pacarnya yang mulutnya lemes banget kayak Ular."
"Terus, bagaimana Din? Sudah terlanjur aku kasih Daud."
Andini terdiam sejenak. Tampak berpikir.
"Bagaimana kalau kamu saja May, yang liburan dengannya?"