"Jadi kalian pergi ke Bali minggu depan?" Andini excited begitu mendengar penuturan dari Mayang. Andini selalu berusaha menghubungi Mayang untuk update perihal keberangkatan ke Bali.
"Iya, aku bilang minggu depan, setelah benar-benar risen dari bank. Daud ikut saja."
"Bagus dong. Aku akan mengatur jadwal untuk pergi ke sana. Ih, udah enggak sabar ingin bertemu Daud. Aku jamin dia tidak akan bisa mengelak lagi."
Mayang tersenyum kecut. Kebahagian Andini adalah hancurnya hatinya, tapi dia harus tetap tersenyum. Walaubagaimanapun Andini punya kontribusi besar dalam hidupnya, masak merelakan Daud saja tidak bisa?
"Kamu sudah siap-siap untuk berangkat ke Bali? Kalau belum, ayo aku antar. Beli perlengkapannya."
Mayang mengerut dahi, "Perlengkapan apa Din?"
"Ya barangkali kamu mau pakai bikini, sunglass hitam, sunscreen." Andini sangat tahu kalau Mayang tidak punya pakaian 'haram' seperti itu.
"Kayaknya enggak usah deh, Din. Aku enggak biasa pakai bikini."
"Aduh, ke Bali kok enggak pakai bikini. Apa kamu takut hitam." Andini meledek.
"Enggak juga, kok. Aku gak biasa pakai pakaian terbuka di tempat umum. Pakai pakaian biasa saja."
"Ya, udah deh, kalau begitu sampai jumpa besok ya, May. Duh, beneran enggak sabar pengen cepet minggu depan."
Telepon ditutup.
Mayang menghela nafas.
Gairah berlibur ke Bali sedikit surut gara-gara dia harus menjalankan misi. Bahkan, Mayang sudah dihadiahi rumah dan mobil mewah sebagai imbalannya. Andini benar-benar tidak main-main untuk mendapatkan Daud. Apapun akan dia lakukan. Tanpa mengetahui bagaimana perasaan sahabatnya yang hancur berkeping-keping.
'Mungkin liburan ke Bali nanti, akan menjadi yang terakhir kalinya aku bersama dengan Daud. Setelah aku berhasil mempertemukan mereka. Pastinya, Daud akan sangat membenciku dan menjauh.'
Mayang tersenyum getir. Dia meraih ponsel yang ada di atas meja. Tangannya begitu lincah bergerak menuju galeri. Terpampang foto Daud yang diam-diam Mayang ambil dari akun sosial medianya.
'Kamu satu-satunya pria yang berhasil membuatku takut sekali kehilanganmu.' Mayang bergumam.
Mayang menarik nafas. Menahan air mata yang gatal ingin keluar. Dia harus siap mental apapun yang terjadi di Bali. Tidak ada yang pernah memprediksi apa yang akan terjadi ke depan. Biarkan semuanya mengalir begitu saja.
Tiba-tiba, Mayang tercenung saat teringat perhiasan yang dibawa oleh Daud. Sebenernya, perhiasan itu di beli untuk siapa?
Jelas tidak mungkin untuk Riyanti. Mereka saja dilarang untuk bertemu. Sedangkan selama yang Mayang tahu, Daud sedang galau-galaunya. Tidak mungkin dia bisa begitu cepat menemukan pengganti.
'Apa jangan-jangan untukku?'
Wajah Mayang memerah. Jantungnya berdegup cepat. Berbagai dugaan tapi yang paling kuat adalah bisa saja perhiasan itu untuk Mayang. Apa jangan-jangan Daud mau….
Mayang mengibaskan tangan. Akan jadi perang dunia ketiga kalau sampai Andini tahu Mayanglah wanita special Daud. Bisa hancur hati Andini, sekaligus persahabatan mereka selama puluhan tahun itu. Mayang berharap semoga perhiasan itu bukan untuknya. Dia lebih memilih sakit hati daripada melihat sahabatnya terluka.
*
Alarm ponsel keras sekali membangunkan Mayang. Mata Mayang nanar membuka. Butuh beberapa saat untuk mengumpulkan kesadarannya. Mayang meraih ponselnya dan melihat Note yang tertera. Ini adalah hari pergi ke Bali!
Mayang melompat dari ranjang setelah mematikan alarm yang menunjukan pukul tiga pagi.
Seminggu penantian untuk pergi ke Bali. Detik-detik yang mungkin tidak akan Mayang lupakan seumur hidup.
Mayang langsung menunju pintu kamar kost dan membukanya. Mengambil handuk. Melewati kamar Daud. Mengetuk pintunya.
"Daud! Sudah jam empat ini! jadi ke Bali enggak?" Mayang sedikit ribut pagi itu. Memecahkan kesunyian pagi buta. Bodo amat.
Samar-samar, Mayang mendengar pergerakan dari dalam. Daud bangun. Membuka pintu kamarnya, bertelanjang dada. Bulu berhamparan di dadanya yang coklat bidang itu sungguh menakjubkan.
Matanya berkedip-kedip, tapi sesungging senyum muncul di wajahnya. Dia terlihat sangat menanti hari ini. Hari berlibur ke Bali bersama dengan wanita seksi. Bu Mayang.
Setelah membangunkan Daud, Mayang mandi terlebih dahulu. Bergantian dengan Daud. Mengejar waktu supaya sampai di terminal.
Tidak membutuhkan waktu lama, baik Mayang dan Daud sudah berpakaian.
Memastikan barang barang bawaan. Tiket dan voucher Mayang yang pegang. Dia perempuan, tentu lebih teliti dan jeli dibandingkan dengan Daud. Apalagi Daud adalah tipikal pria sembrono dan berantakan. Bisa dilihat dari kamarnya yang bagai kapal pecah. Dasar bujang! Coba kalau ada istri pasti ada yang ngurusin.
"Biar saya yang bawa kopernya, Bu." Daud berinisiatif membawakan koper Mayang. Begitupun dengan ransel besar yang sudah siap nangkring dipunggungnya. Daud sekilas seperti backpacker pria yang sporty dan gagah.
Dengan menggunakan taksi yang beroperasi selama dua puluh empat jam, mereka sampai di terminal. Di sana, mereka beralih ke Bus Damri yang berangkat jam 4.30 pagi khusus ke bandara.
Selama di Bus, mereka duduk bersebelahan. Pundak kokoh Daud terasa oleh pundak Mayang. Ingin sekali dia membenamkan kepala di pundak itu. Mengingat dirinya masih mengantuk.
"Bagaimana kabar Riyanti?" Mayang membuka percakapan. Menghilangkan kantuk sekaligus juga karena perjalanan yang masih lama.
"Masih kontak, Bu. Walaupun sebenernya, aku merasa dia menghindar dariku."
Mayang ber'o' pendek. Daud sepertinya masih mengharapkan Riyanti. Pasti perhiasan waktu itu akan diberikan kepada Riyanti.
Hal yang membuat Mayang salut kepada Daud. Sekalipun keadaan sudah tidak memungkinkan mereka untuk bersatu, tetapi pria itu dengan egonya sebagai lelaki terus berusaha berjuang. Tidak pantang menyerah. Bahkan, masih berhubungan dengan Riyanti, sekalipun wanita murahan itu malah menjauh. Benar-benar keterlaluan. Feeling Mayang kuat mengatakan bahwa Riyanti pasti selingkuh. Pasti!
"Wait." Wajah Daud berubah serius ketika melihat ponselnya. Mayang yang di sebelahnya menjadi kepo.
"Ada apa?"
"Besok lusa hari apa ya, Bu?"
Mayang mengernyit dahi. Padahal jelas-jelas, Daud sedang melihat kalender di ponselnya. Kok masih tanya.
"Enggak tahu, lupa."
Daud terkekeh. Mayang kebingungan.
"Kamu ini tanya apa ngetes sih. Hari ini kan jum'at, besok sabtu, lusa pasti minggu lah."
"Iya, hari minggu, Bu. Tapi, bukan hari minggu biasa." Daud tersenyum penuh arti.
"Maksudnya?"
"Saya ulang tahun yang tiga puluh, Bu." Daud secara dramatis memandang Mayang yang terkejut. Benar-benar mendadak sekali. Duh, kenapa Mayang sampai lupa tidak mencari tahu sebelumnya, kalau sudah begini. Bagaimana dia bisa memberikan hadiah yang special?
"Enggak kerasa sudah kepala tiga, tapi jodoh masih belum jelas." Daud melihat ke depan. Matanya menerawang.
Mayang memperhatikan Daud dari samping. Memang secara perawakan Daud sudah sangat matang untuk pria seusianya. Tiga puluh tahun, di mana pria sedang bagus-bagusnya. Matang dari segala aspek. Termasuk kedewasaan yang semakin ke sini semakin membuat Mayang terkagum. Bahkan tanpa Daud sadari ada beberapa sikap Daud yang Mayang suka. Romantis dan sangat tahu bagaiman cara menghargai perempuan.
"Nanti juga ketemu jodohnya. Sabar saja."
"Iya, Bu, Makasih ya do'anya. Bu Mayang sudah aku anggap sebagai kakak sendiri."
Mayang tersenyum. Hatinya koyak ketika Daud menganggapnya hanya kakak. Tapi, mau bagaimana lagi. Mayang tidak bisa mengharapkan lebih.
Sampailah mereka di bandara, Lagi-lagi Daud membawakan kopernya. Sungguh Mayang diperlakukan layaknya ratu.
Mereka tidak perlu bagasi karena barang bawaan mereka cukup enteng kalau di bawa kemana-mana.
Di boarding lounge, tempat menunggu untuk masuk ke gate. Mayang sempat mendapatkan pesan WA dari Andini. Dia bilang hati-hati di jalan. Posisi Andini sekarang sudah ada di Bali. Tinggal menunggu Mayang membawa pangerannya ke sana.
'Semoga ini yang terbaik.' Mayang bergumam.