Berlian sedikit terhenyak ketika dirinya membuka pintu sudah ada seorang wanita berdiri di depan pintu kamar. Teko kaca di tangannya pun hampir terjatuh karenanya.
"Siapa kau?" tanya Berlian.
"Perkenalkan nama saya Welni. Mulai hari ini saya akan menjadi asisten pribadi Anda, Nona."
Berlian menatap Welni dari ujung kepala hingga ujung kaki. Wanita itu terlihat sederhana dan apa adanya, tidak neko-neko seperti asisten yang ditawarkan oleh Chiaki sebelumnya.
Ya, setidaknya ini lebih baik. Daripada dirinya harus memiliki asisten pribadi yang lebih pantas menjadi majikannya.
Berlian mengangguk pelan seraya mengulurkan tangannya. "Ok. Salam kenal. Aku Berlian, kau bisa memanggil namaku saja tidak perlu memakai embel-embel Nona. Dan satu lagi, bicara santai denganku."
Welni mengangguk seraya menerima uluran tangan Berlian. "Baik, Non- ... em, maksudku Berlian."
"Begitu lebih enak di dengar," ungkap Berlian. "Baiklah, aku akan membawa air ke dapur. Air di kamarku habis." Dia mengangkat teko kaca yang kosong.
"Biar aku saja." Welni hendak mengambil alih teko tersebut, namun Berlian menjauhkannya.
"Tidak, aku bisa sendiri."
"Biar aku saja, Berlian. Kau harus segera bersiap, karena tuan sudah menunggumu di bawah."
Berlian mengerutkan keningnya. "Menungguku?" tanyanya.
Welni mengangguk. "Ya, beliau menunggumu di bawah. Sepertinya tuan akan mengajakmu pergi."
Berlian mengurungkan niatnya untuk keluar dari kamar, dia membalikkan badan seraya melangkah masuk ke dalam kamar mandi.
Setelah selesai dengan ritual mandi, Berlian keluar bersamaan dengan itu Welni pun masuk dengan membawa teko yang sudah diisi penuh air minum juga gelas bersih.
"Aku akan membantumu bersiap," ucap Welni.
Berlian menggelengkan kepalanya tanda menolak. Dia bukan bayi yang segala sesuatunya harus dibantu oleh orang lain. Jika hanya berpakaian dia masih mampu melakukannya sendiri.
"Kau harus terlihat cantik. Begitu yang diperintahkan tuan Chiaki padaku." Welni bersikukuh untuk membantu Berlian bersiap. Dia mengikuti Berlian yang sudah masuk ke dalam walk in closet.
Ruangan yang luasnya hampir setara dengan ruang tidur itu dikelilingi oleh lemari kaca yang menampilkan berbagai pakaian wanita dengan berbagai model tergantung dengan rapi. Tidak hanya itu, beberapa lemari juga dipenuhi oleh tas, sepatu juga aksesories penunjang penampilan.
Meski Chiaki terlihat acuh, namun faktanya segala keperluan Berlian terpenuhi dengan baik. Entah semua barang itu bekas kekasihnya terdahulu atau sengaja dibeli oleh pria itu untuknya, yang jelas semua barang itu masih terlihat bagus dan layak dipakai. Bahkan hampir keseluruhan masih ada tag price dari brand ternama dunia.
Setelah memilah dan memilih, Berlian akhirnya memutuskan untuk mengenakan blouse berlengan pendek dengan celana panjang potongan lurus. Bagian perutnya yang datar terekspos jelas, karena model baju crop top dengan bagian dada yang cukup rendah.
"Ternyata selera berpakaianmu cukup bagus juga," ungkap Welni memuji.
Dia melangkah mendekati Berlian dengan membawa jam tangan juga beberapa aksesoris seperti kalung, gelang juga cincin.
"Untuk menyempurnakan penampilanmu," ucapnya kemudian memberikan semua barang di tangannya.
Berlian mengangguk. "Terima kasih," ucapnya.
"Gaya rambut seperti apa yang kau inginkan?" tanya Welni.
Berlian tampak berpikir. "Mungkin aku ingin diikat ekor kuda saja."
"Ok. Duduklah!" titah Welni seraya menarik kursi di depan meja rias.
Dengan begitu lihai dan cekatan Welni sudah menyelesaikan pekerjaannya. Dia bahkan memberikan sentuhan make up tipis agar istri tuannya terlihat lebih fresh.
"Terima kasih, Wel."
Welni mengangguk. "Ya, di mana ponselmu?" tanyanya.
Berlian celingukan kebingungan, dia melupakan benda pipih itu pasca menikah dengan Chiaki.
"Aku tidak membutuhkannya."
"Tuan memintaku untuk menanyakan hal ini padamu."
Berlian berdecak, namun sesaat kemudian dia membeliak dengan mulut menganga. "Astaga! Mungkinkah ponsel yang diberikan Ben semalam?" tanyanya.
Welni mengangguk. "Ya, di mana ponselnya? Biar aku ambilkan!"
Berlian meringis seraya menggaruk alisnya. "Ponselnya belum aku gunakan, bahkan dus ponsel masih tersegel dengan baik."
"Astaga!" gumam Welni tak percaya. "Di mana kau meletakkannya?"
"Di laci nakas ... kurasa." Berlian sedikit ragu, karena setelah menerima ponsel itu dia meletakkannya secara asal.
Setelah menerima ponsel yang masih dalam keadaan mati dari Welni, Berlian berjalan tergopoh-gopoh menuruni tangga. Dia panik ketika Chiaki sudah berdehem di lantai utama. Berlian kini sudah berada di depan Chiaki yang tengah duduk dengan elegan di ruang tengah.
"Kau tahu aku tidak suka menunggu?" tanya Chiaki.
Berlian meringis masih dengan nafas tersengal. "Maaf, Tuan. Tapi, aku ba--"
"Ayo pergi!" sela Chiaki tanpa menunggu Berlian menyelesaikan perkataannya.
Berlian mencebikkan bibirnya kesal, namun tak ayal dia melangkah mengikuti suaminya yang berjalan lebih dulu.
'Menyebalkan sekali!'
Sepanjang perjalanan keheningan membentang diantara keduanya. Berlian sibuk menerka-nerka ke mana Chiaki akan membawanya pergi.
"Duduk di pangkuanku!" titah Chiaki.
"Hah?" Berlian menoleh dengan tampang polosnya.
Chiaki melirik kesal. "Aku tidak suka mengulang perintahku!" tandasnya.
'Apa yang dia perintahkan, ya? Dia memintaku untuk duduk di pangkuannya?' batin Berlian bertanya-tanya.
Chiaki akhirnya menoleh dengan mengangkat sebelah alisnya. "Apa selain buta arah kau juga tuli?" tanyanya.
Tak ingin semakin membuat Chiaki kesal, Berlian beringsut naik ke atas pangkuannya.
Chiaki merengkuh pinggang Berlian dengan posesif.
"Apa aku sudah mengatakan jika berpergian denganku kau harus menggunakan rok?" tanyanya.
Berlian menggelengkan kepalanya lemah. "Belum, Tuan."
Chiaki menyeringai misterius seraya mengusap dada Berlian dengan cara yang begitu menggoda.
"Mulai saat ini jika bepergian denganku, kau harus menggunakan rok. Mengerti?"
Berlian memejamkan matanya seraya mengangguk lemah ketika kepalanya tiba-tiba saja pening merasakan sentuhan tangan besar Chiaki.
"Di mana ponselmu?" tanya Chiaki.
Berlian membuka matanya dengan tatapan kebingungan, lantas menunjuk tas kecil miliknya.
"Di dalam tas, Tuan."
"Apa ponsel yang aku berikan kurang canggih?"
Berlian menggelengkan kepalanya. "Tidak, ponsel itu terlalu bagus untukku hingga aku merasa tak pantas memakainya."
Chiaki menenggelamkan wajah di dua batok kelapa milik Berlian yang sudah keluar dari tempatnya.
"Mulai saat ini juga, ponselmu harus selalu aktif dan tidak boleh tertinggal ke mana pun kau pergi."
Sejurus kemudian, Chiaki memainkan apa yang bisa dimainkan olehnya dari tubuh Berlian.
Berlian ingin sekali memukul kepala Chiaki yang sudah bersikap kurang ajar padanya, namun sisi lain dalam dirinya justru menikmati hal itu.
"Ba-baik, Tuan!"
Telinga Berlian berdengung dengan kewarasan yang semakin menipis ketika Chiaki memainkan area sensitifnya dengan cara yang begitu menggoda. Tangannya refleks menelisik rambut Chiaki dengan jemarinya yang lentik.
"Tuan ...."
Berlian tampak putus asa juga frustasi dalam waktu bersamaan ketika sesuatu dalam dirinya meronta ingin mendapatkan lebih dari suaminya.
"Panggil aku Chiaki!" titah Chiaki.
Berlian menggigit bibir bagian bawahnya seraya mengangguk. Dia seakan memberikan kode pada suaminya bila bibirnya pun membutuhkan sentuhan.
Sayang seribu sayang, keinginannya harus terkubur ketika Chiaki mengangkat tubuhnya hingga duduk di tempat semula.
"Rapikan kembali pakaianmu! Kita sudah sampai."
Chiaki menyugar rambutnya yang sedikit berantakan sembari menyeringai sinis.
'Cih! Sudah aku duga, kau tidak sepolos yang terlihat dari luar. Kau hanya bersandiwara agar tidak terlihat seperti wanita rendahan. Hanya dengan sedikit permainan kau sudah seperti cacing kepanasan!' batin Chiaki.