Chereads / Berlian Dalam Sangkar Emas / Chapter 15 - Kau Itu Buta Arah!

Chapter 15 - Kau Itu Buta Arah!

Berlian terus melajukan mobilnya tanpa tujuan yang jelas, yang pasti dia ingin meluapkan segala kekesalannya yang tak kunjung hilang. Rasa itu sungguh menyiksa dan dia butuh pengalihan, mungkin dengan menikmati jalanan kota di malam hari bisa sedikit mengalihkan pikirannya. Namun sayangnya, berbagai pertanyaan justru bersarang dalam benaknya.

Apa dirinya tengah merindukan sosok Chiaki?

Apa dia mulai bergantung pada pria dingin dan datar itu?

Kenapa setelah kejadian itu, Berlian tak ingin jauh dari pria yang berstatus suaminya itu?

Berlian menggelengkan kepalanya dengan berderai air mata, segera menepis jauh-jauh semua pikiran itu. Tidak! Dia tidak boleh memiliki perasaan seperti ini.

"Kau harus ingat perkataannya yang begitu menusuk hatimu, Lian! Dia mengatakan kau terlalu hina untuknya!" pekik Berlian membentak dirinya sendiri.

Berlian menepikan mobilnya, lantas menundukkan kepalanya di atas stir mobil. Menumpahkan tangisannya lagi dan lagi.

"Apalagi sekarang dia sudah mendapatkan apa yang berharga dalam dirimu, Lian! Pasti kau sudah tidak ada harga diri lagi di matanya! Kau akan semakin dianggap sampah!" maki Berlian lagi pada dirinya sendiri. Tangannya memukul stir mobil cukup keras hingga meninggalkan lecet yang perlahan mengeluarkan darah.

Lama Berlian diam di tepi jalan yang cukup sepi dengan posisi yang masih sama, hingga dia mulai lelah dan berniat untuk kembali ke rumah. Hatinya pun sudah cukup lega, dan sekarang berganti dengan perutnya yang berdemo lapar.

"Astaga! Terlalu sibuk dengan perasaan gila ini sampai aku lupa mengisi perutku sendiri," gumamnya berdecak kesal.

Krucuk! Krucuk!

Suara perut Berlian kembali berdemo membuat Berlian segera melajukan mobilnya. Sayangnya, sudah satu jam dia melajukan mobil tak kunjung mengingat jalan pulang. Wanita itu melupakan bila dirinya mengidap sindrom buta arah yang mana menyulitkannya untuk mengingat jalan yang sempat dilewati olehnya.

"Eh ... kenapa ini?"

Berlian panik dan segera kembali menepikan mobilnya yang melaju dengan tersendat-sendat, hingga akhirnya mati di tepi jalan.

"Oh, Tuhan!" geram Berlian.

Bensin mobilnya habis, mungkin karena terlalu lama berputar-putar di jalanan.

"Welni, ya, aku harus meminta bantuan padanya!"

Berlian sibuk mencari ponselnya, dan sialnya lagi dia tidak membawa ponsel juga dompet.

Apa yang bisa Berlian lakukan selain menunggu pagi, karena terlalu bahaya bila dirinya meminta pertolongan di malam hari seperti ini. Bukannya mendapatkan pertolongan, yang ada dirinya bisa celaka.

Sedangkan di sisi lain, Chiaki baru saja sampai di mansion. Dia melangkah lebar menghampiri Ben dan Welni yang menunggunya di teras rumah.

"Kenapa kau tidak mencegahnya untuk pergi, hah?" Chiaki langsung membentak Welni.

"Saya sudah mencegah bahkan menahan nyonya untuk tidak pergi, Tuan. Tapi, nyonya tetap memaksa sampai saya di dorong olehnya."

Chiaki menjambak rambutnya frustasi. "Shit! Kau tahu 'kan, dia buta arah?"

Welni mengangguk pelan dengan terisak. "Maafkan saya, Tuan."

Chiaki berjalan mondar-mandir di depan asisten pribadinya juga sang istri.

"Ben, lacak lewat ponselnya!"

Tubuh Welni semakin gemetar hebat ketika menyadari bila ponsel Berlian masih ada di tangannya, namun dia tidak berani mengatakan hal itu takut Chiaki semakin murka.

Ben melirik sekilas ke arah Welni, menyadari kegelisahan wanita itu. Sebelum mendapatkan perintah dari bosnya, Ben tentu lebih dulu melakukan hal itu. Setelah dilacak, ternyata ponsel Berlian masih ada di kamar Welni.

"Sepertinya nona sengaja meninggalkan ponselnya."

Mendengar jawaban Ben membuat Chiaki semakin panik dibuatnya.

"Kenapa dia bisa pergi? Apa yang membuatnya kesal?" tanya Chiaki.

Welni memberanikan dirinya menatap Chiaki. "Saya tidak mengetahui alasan pastinya, Tuan. Tapi, dari pagi nyonya memang tidak menampakkan dalam suasana hati yang baik. Bahkan saat latihan pun nyonya tidak fokus. Setelah pulang, nyonya mengurung diri dan pergi tanpa bisa dicegah."

Chiaki menghela nafas dalam, berusaha menata emosinya yang sudah meluap-luap pada istrinya yang sudah mulai bertingkah tanpa mengingat kekurangannya sendiri.

"Panggil sopir!" titah Chiaki.

Dia beringsut duduk di kursi yang terdapat di sana sembari memijat pangkal hidungnya.

Tak berselang lama Ben kembali bersama sopir yang biasa mengantar Berlian.

"Apa dimobil yang digunakan Lian terpasang GPS seperti yang terpasang di mobilku yang lain?"

Sopir tersebut mengangguk cepat. "Ada, Tuan. Saya yang memasangnya."

"Bagus! Kau lacak sekarang di mana lokasinya mobil itu!"

Setelah mendapatkan lokasi Berlian lewat GPS yang terpasang di mobil, Chiaki segera pergi menggunakan motor agar lebih cepat. Ben dan Welni pun mengikutinya dari belakang dengan menggunakan mobil.

Sepanjang jalan terjadi perdebatan antara hati dan pikiran Chiaki. Hatinya sangat khawatir dengan keadaan Berlian saat ini, namun pikirannya menolak hal itu. Berpikir bila apapun yang terjadi pada Berlian seharusnya dia tidak perlu khawatir seperti ini. Berlian bukan orang yang penting dalam hidupnya, namun hatinya berkata bila gadis itu masih tanggung jawabnya.

Chiaki memperlambat kecepatan motor ketika lampu menyorot nomor polisi serta mobil yang dikenali olehnya. Ya, mobil itu mobil yang dipakai oleh Berlian.

Dia menghentikan motor tepat di belakang mobil. Tanpa melepaskan helm full face-nya, Chiaki melangkah ke sisi kemudi. Hatinya sedikit terenyuh ketika melihat sang istri tertidur dengan stir mobil sebagai bantalan kepalanya.

"Kau pasti sulit menemukan jalan pulang!" gumamnya.

Tok! Tok! Tok!

Berlian terjaga dari tidurnya, dia mengangkat kepala seraya membuka matanya ketika kaca mobil terus diketuk dari luar. Sepersekian detik matanya terbelalak dengan raut wajah yang seketika berubah menjadi panik.

"Astaga! Bagaimana ini? Bagaimana jika dia berniat jahat padaku?"

"Buka!" titah Chiaki dengan suara tersamarkan oleh helm.

Berlian menggeleng, masih mengira bila suaminya itu orang jahat yang berniat mencelakainya.

"Pergi!"

"Buka!"

"Tidak! Pergi! Aku tidak akan membuka pintu ini!"

"Aku akan membantumu!"

"Omong kosong! Aku tidak akan percaya!"

"Berlian! Buka pintunya atau aku akan pergi!"

Berlian sedikit terheran ketika pria berhelm itu mengetahui namanya, namun dia tidak boleh percaya. Siapa tahu itu hanya trik licik untuk mengelabuinya.

"Pergi saja! Aku tidak butuh bantuan-mu!"

Chiaki yang juga tidak menyadari bila dirinya dianggap orang jahat oleh Berlian mulai kehilangan kesabaran. Dia membuka helm-nya sembari berdecak kesal.

Berlian yang menyaksikan hal itu tentu saja semakin terbelalak dengan mulut menganga. Tak menyangka bila pria itu adalah suaminya sendiri.

"Astaga! Bodohnya aku!" cicit Berlian meringis.

"Buka atau aku benar-benar membiarkanmu bermalam di sini sendirian!" tandas Chiaki.

Tak membuang waktu lagi Berlian membuka pintu mobil, lantas turun dari mobil. Dia menunduk dalam tak berani menatap netra sang suami yang menatapnya begitu tajam.

"Kenapa kau pergi sendirian, hah? Seharusnya kau sadar kekuranganmu sendiri, Berlian! Kau itu buta arah!" bentak Chiaki.

Berlian menundukkan kepalanya tak berani menatap sang suami, namun hatinya merasa terluka dengan perkataan Chiaki. Terlebih saat ini di sana ada Ben dan Welni yang pasti mendengarnya.

Chiaki mengusap wajahnya, merasa telah salah berkata. Secara tidak sadar dia sudah membuka aib sang istri di depan orang lain.

"Kita pulang sekarang!" Chiaki menarik Berlian untuk naik ke motornya, lantas dia melajukan motornya.