"Oh, Tuhan! Berlian, fokus!" seru Donita. Dia nyaris frustasi, karena sedari tadi istri keponakannya itu tak fokus dalam latihannya. "Sebenarnya ada apa, Sayang? Beberapa hari ini aku perhatikan kau tidak fokus. Tubuhmu memang di sini, tapi tidak dengan pikiranmu. Seperti ada sesuatu yang kau pikirkan, Sayang."
Berlian mendesah berat seraya menggeleng lemah. "Maaf, Aunty."
"It's ok!" Donita melangkah pelan menghampiri Berlian. "Ada apa, Sayang? Kau bisa cerita padaku."
Donita menatap pada Welni yang sedari tadi ada di sana, namun asisten pribadi Berlian itu hanya menggelengkan kepala seakan mengatakan bila dirinya pun tak mengetahui perubahan sikap Berlian yang murung.
"Baiklah. Kita sudahi saja pembelajaran hari ini. Sepertinya kau butuh istirahat." Jika diteruskan pun rasanya percuma, Berlian tidak sedang dalam suasana hati yang baik.
"Aku juga merasa butuh istirahat, Aunty. Semalam aku kurang tidur," ungkapnya.
"Hm. Sebaiknya kau pulang dan beristirahat! Kita bertemu lagi lusa, ok!"
Berlian akhirnya memilih untuk pulang. Sepanjang perjalanan dia hanya menatap jalanan di balik jendela mobil. Pikirannya tertuju pada Chiaki yang kembali pada sikap aslinya. Menghilang tanpa kabar apalagi pamit.
Setelah kebersamaan mereka beberapa hari yang lalu, pagi hari ketika Berlian terbangun pria itu sudah tidak nampak. Berlian mengira bila sang suami pergi bekerja, tetapi nyatanya Chiaki tak pernah kembali menemuinya lagi.
Sedih? Kehilangan? Entahlah, Berlian tak tahu rasa apa yang terus mengganggunya. Namun, serasa ada yang menghilang dalam dirinya. Padahal ini bukan kali pertama Chiaki melakukan hal seperti ini, dan Berlian tak pernah mempermasalahkannya. Tapi, kali ini rasanya berbeda.
"Sebenarnya kau ini kenapa, Lian?"
Berlian menatap Welni. "Apa kau tahu di mana Chiaki?"
Welni mengerutkan keningnya, merasa heran dengan pertanyaan bosnya itu. "Apa kau tidak salah bertanya seperti itu padaku? Kau istrinya, Lian! Seharusnya kau lebih tahu ke mana suamimu, bukan malah bertanya padaku!"
Berlian mencebik. "Jika aku tahu, aku tidak akan bertanya padamu!"
Berlian sudah mencoba menghubungi suaminya, bahkan ratusan pesan dia kirimkan. Tapi, tidak ada satupun pesan yang dibalas oleh Chiaki.
Sesampainya di rumah, Berlian langsung masuk ke dalam kamar. Dia butuh waktu untuk menangkan dirinya. Dadanya terasa sesak, dan dia perlu melegakan dengan menangis sendirian di dalam kamar.
"Lian, buka pintunya!"
"Welni, tinggalkan aku! Aku butuh waktu sendiri!" pinta Berlian di balik pintu.
"Tapi, bagaimana dengan tasmu?"
"Simpan saja di kamar lain, tolong tinggalkan aku!"
Berlian berlari lalu menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan menenggelamkan wajah ke atas bantal. Dia menjerit serta menangis sejadi-jadinya dengan tangan memukul kasur, meluapkan kekesalan hati berharap setelah itu hatinya merasa lega.
Meski jeritannya tertahan oleh banyak, faktanya suara tersebut masih terdengar hingga keluar kamar. Welni yang berdiri di depan pintu tampak khawatir mendengar suara tangisan memilukan dari dalam. Dia tidak bisa berbuat banyak, karena sang pemilik kamar mengunci pintunya.
Terbesit dalam pikirannya untuk menghubungi Ben, namun sudah beberapa kali mencoba pria itu tak kunjung mengangkat panggilan darinya.
***
Sementara pria yang menjadi sumber masalah tengah menghabiskan waktu bersama keluarganya menikmati secangkir teh hangat di halaman belakang. Chiaki beserta orangtuanya sedang bermain golf yang memang tersedia di halaman belakang mansion yang sangat luas.
Chiaki melepas topi lantas duduk lantas menenggak air minum. "Panas sekali cuaca hari ini," ujarnya.
Mio yang hanya duduk menonton suami dan putranya bermain pun mengangguk. "Akan lebih menyenangkan bila ada istrimu di sini, Nak!"
Gerakan tangan Chiaki yang hendak memasukkan cemilan ke dalam mulutnya terhenti seketika. Membicarakan Berlian membuatnya kembali teringat akan sang istri yang ditinggalkannya pasca berhasil membobol selaput daranya. Terdengar kejam, tapi Chiaki memiliki alasan kenapa dirinya pergi begitu saja. Dia merasa malu sekaligus bersalah, karena sempat menganggap begitu rendah Berlian.
Pria itu perlu waktu untuk bertemu kembali dengan sang istri.
"Kapan kau akan membawanya bertemu dengan kami?" tanya Mio.
Chiaki mengerjapkan mata beberapa kali, berpikir apakah ini waktunya dia mengenalkan Berlian pada kedua orangtuanya.
"Mommy yakin ingin bertemu dengannya?"
Mio memutar bola matanya, merasa jengah dengan tingkah putranya. "Tentu saja! Kau pikir aku sedang bercanda!"
"Aku juga!" timpal Chiko. "Aku juga ingin mengenal menantuku!" lanjutnya.
Pria paruh baya itu memberikan stik golf pada asisten pribadinya, lantas duduk di samping sang istri.
"Sudah sejauh mana hubungan kalian? Apa kau memperlakukannya dengan baik?" tanyanya.
Chiaki menelan saliva dengan pelan. Justru itu yang menjadi permasalahannya saat ini. Dia masih kebingungan dalam memperlakukan Berlian setelah apa yang telah mereka lewati bersama. Apa dia harus tetap bersikap dingin atau justru memperlakukan Berlian layaknya seorang istri.
"Chiaki?"
"Ah ... ya, tentu saja aku memperlakukannya dengan baik. Ya ... sewajarnya seorang suami terhadap istrinya."
Chiko tertawa meremehkan. "Cih! Buktinya beberapa hari ini kau memilih tinggal di sini daripada pulang ke istrimu."
"Apa kalian sedang bertengkar, Nak?" tanya Mio. Sedikit khawatir dengan rumah tangga putranya yang baru seumur jagung. Dia menaruh harapan yang besar pada rumah tangga Chiaki dan Berlian. Berharap dengan kehadiran Berlian mampu membuat Chiaki perlahan melupakan Chloe.
"Tidak, dia tidak akan berani membuat masalah denganku!" tampik Chiaki.
"Dia mungkin tidak, tapi kau yang membuat masalah! Kau 'kan biang masalah!" ujar Chiko.
Chiaki mendengus kesal, sang ayah terus menyudutkannya, membuatnya tak mampu berkutik dengan semua kalimat yang terlontar dari mulutnya.
"Aku memang tidak pernah benar di matamu, Dad!"
Chiaki beranjak dari duduknya, berniat untuk menyudahi pembicaraan yang membuatnya semakin tersudut.
"Aku harap sebelum kami kembali ke Jepang kau sudah mengenalkannya pada kami, Nak!" ujar Mio.
Chiaki menatap sang ibu, lantas mengangguk kecil. "Ya, aku akan mengatur waktu untuk kalian bertemu."
Malam hari, Chiaki baru saja selesai makan malam. Dia masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. Rencananya besok dia akan kembali menemui Berlian untuk memberitahu sang istri mempersiapkan diri bertemu dengan orangtuanya.
Pria itu menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur, hendak menghubungi Ben. Namun, asistennya itu lebih dulu menghubunginya.
"Ben, tolong undur jad---"
[ ... ]
"Apa?" sentak Chiaki terkejut.
[ ... ]
Sembari mendengarkan Ben yang terus berbicara, Chiaki beranjak masuk ke dalam walk in closet, dan keluar sudah lengkap dengan jaket kulit hitam yang melekat pas di tubuhnya.
"Ok! Aku akan segera ke sana!"
Chiaki menuruni tangga dengan terburu-buru, tangannya yang hendak mengambil kunci mobil terhenti. Dia berpikir bila memakai mobil memakan waktu yang cukup lama, maka dari itu dia memutuskan untuk memakai motor.
"Kau mau ke mana, Chiaki?" tanya Chiko.
Chiaki berhenti tepat di depan pintu rumah. "Aku harus pergi!"
"Mencari wanita liar di club?"
Chiaki mendengus kesal, tidak ada waktu untuk melayani sang ayah. Dia berlalu keluar tanpa menjawab pertanyaan Chiko.
"Astaga! Benar-benar bodoh!" umpatnya pelan.