"Seindah apapun kau mengukir skenario hidup sesuai dengan impianmu, tetap ... pada akhirnya skenario Tuhan yang harus kau jalani."
Kalimat yang selalu terngiang-ngiang dalam telinganya ketika dia ingin memungkiri takdir Tuhan yang tidak sesuai dengan impiannya. Kalimat itu diberikan oleh Vero setiap kali dirinya ingin keluar dari lingkungan tempat tinggalnya.
Vero selalu berkata, 'Kau tidak memiliki siapapun di dunia ini selain aku, Lian. Tuhan sudah menitipkanmu padaku sejak saat itu. Maka terimalah takdir hidupmu yang seperti ini, karena sejauh apapun kau berlari pada faktanya kau tetap harus menghadapi kenyataan yang ada di depanmu.'
Jadi, satu-satunya pilihan Berlian saat ini hanya menjalani takdir Tuhan yang sudah digariskan untuknya dan menghadapi kenyataan yang ada di depan matanya.
Gadis itu menatap nanar pantulan dirinya dalam balutan gaun pengantin yang membuat aura kecantikannya begitu terpancar. Riasan wajah juga tatanan rambut yang begitu rumit menyempurnakan penampilannya saat ini. Sayang seribu sayang, tidak ada senyuman juga pendar mata penuh kebahagiaan, yang ada hanya raut wajah penuh kepedihan.
Bukankah seharusnya saat ini dia tengah berbahagia di hari pernikahannya? Ya, seharusnya begitu bila dia menikah dengan pria yang dicintai juga mencintainya, bukan dengan keterpaksaan seperti ini.
"Tersenyumlah, Berlian! Ini hari bahagia mu. Kau akan menjadi ratu dalam pesta pernikahanmu yang mewah dan megah ini," ucap Yunka.
Berlian tersenyum tipis sembari menundukkan kepalanya. "Ya, aku juga inginnya seperti itu. Aku ingin tersenyum bahagia di hari bahagia ini, tapi sayangnya aku tidak bisa."
Yunka hanya mampu tersenyum seraya menepuk pelan bahu Berlian yang berdiri di depannya, lantas berlalu meninggalkan gadis itu sendirian. Dia tidak memiliki hak sedikitpun untuk ikut campur dalam urusan orang lain. Tugasnya saat ini hanya membuat Berlian bak seorang ratu dalam negeri dongeng.
Klak!
Berlian menoleh ketika tak lama berselang dari pintu tertutup, kini terbuka kembali. Wajahnya seketika berubah menjadi datar tatkala mendapati Vero yang berdiri di ambang pintu dengan tersenyum tipis.
"Kau sudah siap, Lian?"
Alih-alih menjawab pertanyaan Vero, Berlian justru kembali mengalihkan pandangannya pada cermin. Sama sekali tidak berniat untuk menjawab pertanyaan Vero yang terkesan berbasa-basi busuk padanya.
"Em ... a-aku yang akan mengantarmu pa-pada tuan Chiaki," ucap Vero lagi.
Dia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Hal yang tak pernah dirasakan olehnya saat bersama Berlian, kini justru tercipta. Dia merasa canggung juga dibuat salah tingkah karenanya.
Berlian hanya menatap dingin Vero dari pantulan cermin di depannya. Tak tahu harus bersikap seperti apa pada pria yang telah mendorongnya ke dalam lubang terdalam kehancuran masa depannya. Sejujurnya dia tidak ingin lagi bertemu dan berurusan dengan Vero, akan tetapi bagaimana pun hanya pria itu yang dimiliki olehnya saat ini sebagai keluarga.
Sejenak mereka terjebak dalam suasana yang begitu canggung, hingga ....
Ekhem!
Suara deheman berat dan penuh penekanan membuat keduanya tersentak. Mereka serempak menoleh ke arah Ben yang berdiri tepat di belakang tubuh Vero.
"Maaf, Tuan Vero. Sudah waktunya Anda membawa Nona Berlian ke dalam pesta."
Entah pesta apa yang sedang dilangsungkan Chiaki, namun yang pasti Berlian mendapati banyak awak media yang meliput acara. Kilatan cahaya kamera menghujani Berlian yang masuk ke dalam sebuah ballroom yang dihias sedemikian indahnya dengan didominasi warna putih dan emas.
"Tersenyumlah, Lian! Hari ini hari bahagia mu, kau akan menjadi ratu dalam pesta ini," ucap Vero dengan berbisik.
Berlian diam-diam mencebik di dalam hati. Ini kali kedua dirinya mendapatkan kalimat yang sama dari orang yang berbeda. Bagaimana bisa dirinya tersenyum sedangkan hatinya menangis? Menangisi takdir hidupnya yang begitu memprihatinkan, namun tak pelak dia menyunggingkan senyuman tipis membelah kerumunan awak media yang terus mengambil potret dirinya.
"Begitu lebih baik, kau terlihat lebih cantik."
Berlian hanya melirik sekilas menanggapi perkataan Vero, lantas kembali menatap ke depan di mana Chiaki berdiri seraya mengulurkan tangannya dengan tersenyum manis.
'Cih! Kau pandai sekali bersandiwara, Tuan!' batinnya berdecih.
Chiaki menerima tangan Berlian yang diulurkan oleh Vero padanya seraya berkata, "Terima kasih, Vero."
Vero mengangguk seraya tersenyum manis. Bersikap seolah tidak ada masalah diantara mereka, namun tatapan tajam mereka yang seakan saling menyerang satu sama lain terlihat begitu kentara.
"Aku titip Lian, Chiaki. Bahagiakan dia seumur hidupmu!" pinta Vero.
"Tanpa kau meminta hal itu, aku akan melakukannya. Sudah menjadi tugasku membahagiakan istriku," balas Chiaki.
Berlian hanya tersenyum miris mendengar perkataan dua pria tersebut. Andaikan semua itu adalah fakta sebenarnya, mungkin dia akan menjadi wanita yang paling bahagia di dunia ini.
Pesta telah usai, semua para tamu undangan serta awak media yang meliput pun sudah pergi meninggalkan ballroom. Berlian menggembungkan kedua pipinya menghembuskan nafas dari mulut. Entah merasa lega atau justru tengah cemas apa yang terjadi setelah pesta ini berakhir.
"Akhirnya pesta yang katanya pesta pernikahan ini telah usai," gumamnya.
Katanya? Ya, katanya. Menurut Berlian pesta itu bukanlah pesta pernikahan. Tidak ada kerabat atau bahkan orang tua Chiaki dalam pesta tersebut. Sedari tadi dirinya duduk di pelaminan yang dihias begitu mewah, tidak ada satupun para tamu undangan yang mengaku saudara atau bahkan keluarga Chiaki.
Berlian berdiri dari duduknya, mengangkat gaun yang menjuntai hingga menyapu lantai. Dia hendak pergi ke kamar untuk beristirahat. Pandangannya menyapu ke segala penjuru arah mencari keberadaan Chiaki, namun dia tidak mendapati pria yang sudah menjadi suaminya itu.
"Ck. Menyebalkan sekali! Bagaimana aku ke kamar dengan gaun yang merepotkan seperti ini?" gerutunya.
Dia melangkah turun dari pelaminan seorang diri, tidak ada yang membantunya. Semua orang tampak masih sibuk membereskan ruangan pesta, termasuk Vero yang tadi pamit pergi padanya untuk mengantar relasi bisnis Chiaki sampai ke lobby hotel.
Lantas, ke mana Chiaki?
Entahlah, sejak duduk di pelaminan Berlian tidak menemukan pria itu. Entah ke mana perginya Chiaki, Berlian sama sekali tidak peduli.
Bukankah bagus bila pria itu menghilang?
Sampai di kamar hotel yang ditempati olehnya semalam, ternyata Yunka dan satu orang pria kemayu sedang sibuk menata serta membereskan kamar yang berantakan oleh koper berisi gaun rias juga peralatan make up.
Berlian melanjutkan langkahnya, hingga dia menghempaskan bokongnya di atas sofa yang empuk seraya meregangkan tubuhnya yang pegal dan lelah.
Yunka yang menyadari kehadirannya buru-buru menyeret koper serta menenteng kotak rias keluar dari kamar yang berada di dalam ruangan itu. Dia tersenyum manis pada Berlian yang hanya membalas dengan senyum seadanya.
"Oh, Berlian. Maaf sekali aku tidak menjemputmu di ballroom. Aku harus segera membereskan kekacauan dan menata kamar ini untuk malam pertama kalian."
Glek!