"Kau masih takut padaku?" Pertanyaan Travis ini sontak membuat Amora mundur beberapa langkah.
Bibirnya terkatup. Dia sama sekali tidak menduga bahwa Travis menyadari apa yang dirasakan olehnya. Bagaimana tidak?
Amora selalu merasa bahwa dia begitu hina dan sudah tidak layak lagi untuk menjadi wanita yang patut untuk didekati. Setelah semua hal yang terjadi padanya dan merenggut kesuciannya, kini Amora merasa takut jika harus berdekatan dengan lelaki.
Tidak terkecuali dengan Travis Darmoko!
Pria di hadapannya ini memang tampan. Walau usianya dan pria ini terpaut jauh, tetapi entah kenapa Amora merasa kalau dia bisa menjadi seseorang yang dekat dengannya jika saja hal buruk tidak terjadi pada Amora.
"Kenapa diam saja, Amora? Apa yang aku tanyakan itu benar?" Travis kembali menekan Amora dengan pertanyaan yang sama.
Amora masih tidak menjawab. Dia bergeming seolah tidak mendengar tanya Travis. Mungkin saja pertanyaan itu terlalu berat baginya.
Atau mungkin juga karena Amora merasa kalau dia tidak memiliki jawaban yang tepat. Hatinya bahkan merasa sakit jika terus mengingat kejadian memalukan yang telah menghancurkan hidupnya itu.
"Maafkan aku, Amora," ucap Travis lemah.
Pria itu berjalan mundur. Dia kembali duduk di sofanya dan merebahkan dirinya. Dia membelakangi Amora seolah tidak mau lagi peduli padanya.
Amora sadar akan perubahan sikap Travis. Pria itu seakan mengerti dirinya. Mungkin sikap dingin Amora tadi sudah membuat Travis menyerah.
"Maafkan aku, Tuan Travis," gumamnya pelan.
Amora berjalan ke arah ranjangnya. Dia tahu hal ini salah, tetapi dia tidak mau larut dalam pesona Travis. Dia tidak bisa berbagi lebih banyak hal lagi pada pria ini. Bisa saja raganya telah siap, tetapi tidak dengan sukmanya.
Perlahan Amora kembali membalut tubuhnya dengan selimut tebal. Napas berat Travis sebenarnya terdengar di telinganya. Tidak dapat dipungkiri oleh Amora, dia memperhatikan pria itu dengan setiap pergerakannya walaupun hanya bisa melihat punggungnya saja.
"Seandainya saja kami tidak bertemu dengan cara seperti ini," gumam Amora lagi.
Bagaikan mimpi buruk. Namun, itu adalah sebuah kenyataan.
Kenyataan di mana Amora tidak berhak lagi atas cinta siapa pun!
Dia yang tidak tahu siapa pria asing yang sudah menidurinya, siapa pria yang telah mengambil keperawanannya, dan siapa pria yang sudah meninggalkan tanda cinta di dadanya pada malam itu, hanya bisa menangis sekarang.
"Aku sangat kotor …." Amora yang memejamkan matanya kembali menangis.
Tangisnya terasa begitu lirih sehingga membuat pria dengan badan tegap dan wajah tampan yang tadi memunggunginya, kini sudah duduk di tepi ranjangnya dan mengusap pelan pucuk kepalanya.
"Tenanglah, Amora … kau akan aman kalau bersama denganku," bisiknya penuh kelembutan.
Keringat dingin yang membasahi dahi Amora semakin bercucuran di ruangan ber-AC ini. Bahkan Travis mengecek beberapa kali untuk memastikan kalau suhu di ruangan ini sudah yang paling dingin.
Akan tetapi, meski sudah dengan suhu yang sangat rendah ini, Amora tetap saja berkeringat dan dahinya berkerut.
"Kau pasti bermimpi buruk," gumamnya.
Dia begitu kasihan melihat Amora. Tidak pernah dibayangkan oleh Travis kalau dia akan menaruh rasa perhatian yang begitu besar pada wanita ini. Wanita yang telah direnggut kesuciannya tanpa sengaja itu.
Travis menatap Amora dengan perasaan bersalah. Namun, di sisi lain dia juga bersyukur karena dia yang telah bersama Amora pada malam itu.
Dia sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya hidup AMora seandainya bukan dia yang masuk ke kamar itu dan bercinta dengannya.
"Tolong, jangan usir aku, Ibu …." Amora berucap lirih diiringi tangisnya.
Dunia seakan berhenti berputar kala AMora memegang tangan Travis untuk menahan pria itu agar tidak menjauh darinya.
"Aku bukan anak durhaka! Mereka semua yang jahat, Bu!" Amora sepertinya masih bermimpi buruk.
Wanita cantik ini menggelengkan kepalanya beberapa kali sehingga membuat Travis yang melihatnya merasa sangat iba. Dia harus segera membangunkan Amora dan membuatnya tenang.
"Bangunlah, Amora …." Travis berbisik lembut di telinga Amora. "Kau akan baik-baik saja kalau kau membuka matamu!"
Belum sampai beberapa detik Travis mengucapkan kalimat itu, tiba-tiba saja Amora bangun dan memeluk Travis secara tiba-tiba. Wanita ini bahkan terasa seakan tidak ingin melepaskan pelukan Travis begitu saja.
Travis menahan degup jantungnya. Dia terlalu dekat, pikirnya. Bahkan hal ini terlalu berbahaya bagi Amora karena Travis tidak tahu apa dia bisa menahan diri atau tidak.
"Amora …."
" …. "
"Apa kau akan terus memelukku?"
Seakan terkena sengatan listrik, Amora yang tersadar segera melepaskan pelukannya pada tubuh berotot Travis itu. Wajahnya memerah seiring dengan rasa malunya yang tinggi.
"Maafkan aku, Tuan Travis," ucap Amora pelan.
Travis menarik napasnya dalam. "Tidak masalah," sahutnya kemudian.
Sebenarnya pria ini sama sekali tidak mempermasalahkan kalau Amora mau memeluknya. Namun, dia hanya takut kalau ketika menyadari hal ini, Amora akan menjadi sepeti sekarang.
Jadi salah tingkah dengannya!
Ketika mengetahui kalau hal itu benar adanya, Travis meraih tangan Amora. Digenggamnya erat dan Travis kini pandangannya beralih pada kedua netra bulat berwarna emas kecoklatan itu.
"Kau baik-baik saja?"
"Iya. Aku baik-baik saja, Tuan Travis."
"Apa kau yakin? Wajahmu terlihat memerah!"
Amora memegang wajahnya. Memang benar dia merasa gugup karena sudah melakukan hal aneh pada Travis tadi. Akan tetapi, itu tidak bisa dijadikan sebuah sanggahan untuk menolak fakta bahwa dia tidak sedang baik-baik saja.
"Tidak menjawab! Aku anggap kau setuju denganku kalau kau sedang tidak baik-baik saja, Amora!" seru Travis yang membuat Amora mengangkat wajahnya. Kedua tanganny masih dipegang oleg Travis.
Amora menarik napasya. Dia memejamkan matanya lalu berkata, "Maafkan aku, Tuan Travis. Apa kau bisa melepaskan tanganmu? Tanyanya lembut.
"Tidak mau!" sahut Travis singkat.
Wanita cantik dengan rambut panjang bergelombang ini kemudian menghela napasnya. "Aku mengatakan sejujurnya, Tuan Travis," ucapnya datar. Kali ini benar-benar tanpa ekspresi.
Pria tampan itu kemudian melepas tangan Amora. Dia tersenyum simpul dan mengalihkan pandangan. "Yah, kalau kau mengatakan baik-baik saja, maka aku tidak punya pilihan lain lagi. Meski sebenarnya aku sangat ingin membantumu," gumamnya nyaris tidak terdengar seandainya saja Amora tidak memiliki pendengaran yang tajam.
Amora menggigit bibir bawahnya. Dia sangat bingung menghadapi pria di hadapannya ini. Benar-benar memusingkan seakan hanya dialah yang sejak tadi terus saja melakukan kesalahan dalam berucap dan bertindak.
"Aku tahu kalau kau bukanlah wanita yang sangat lemah dan hanya akan menyerah pada keadaan, Amora! Kau harus membuktikan bahwa kau bisa …." Travis menggelengkan kepalanya. "Ah, tidak harus tergesa-gesa! Kau bahkan belum menyembuhkan luka pada tubuhmu itu," tambahnya.
Amora merasa kalau ada sesuatu yang sangat ingin dikatakan oleh Travis. Akan tetapi, AMora samas sekali tidak berani bertanya lebih jauh lagi. Dia lebih memilih untuk diam dan tidak menanggapi.
Sikap diam ini diharapkan oleh Amora akan membuat Travis menyerah dan menjauh darinya.
"Amora, semakin kau diam terus seperti ini, itu sama saja artinya kau akan menyerahkan semua hal yang berkaitan dengan hidupmu padaku! Katakan jika aku salah!?" seru Travis yang membuat dada Amora bergemuruh.
****