Chapter 29 - BAB 29

Aku berjalan ke arah Cindy, aku merasakan adikku ini pucat, dia terlihat lemah dan sakit. Kulitnya telah kehilangan warna keemasannya dan sekarang menjadi warna keabu-abuan, dan rambutnya sangat tipis sehingga aku dapat melihat kulit kepalanya. Sudah lama pergi gadis cantik yang akan menoleh saat dia berjalan di trotoar, dan sebagai gantinya adalah seseorang yang bahkan tidak kukenal.

"Celine." bisiknya, berdiri untuk menyambutku dengan pelukan. Aku memeluk punggungnya, lenganku hampir bisa memeluknya dua kali dan air mata membakar bagian belakang mataku. Lalu dia melepaskanku, dan mundur selangkah.

"Ya Tuhan, kau terlihat luar biasa Celine, benar-benar hebat." Dia tersenyum, tapi aku masih menangkap kesedihan dan rasa sakit di matanya saat dia berbicara.

"Terima kasih." Gumamku, merasa bersalah atas setiap ons kebahagiaan yang aku rasakan selama beberapa bulan terakhir — bulan-bulan dia jelas perlahan-lahan memburuk.

"Apakah kamu ingin kopi?" dia bertanya sambil duduk.

"Tidak, terima kasih." Jawabku yang duduk di hadapannya. kami berdua saling menatap untuk waktu yang lama, dan aku tidak tahu harus berkata apa. Aku ingin meneriakinya karena bersikap egois, tapi aku juga ingin mengatakan padanya bahwa aku sangat merindukannya. Bukan Cindy seperti dia selama beberapa tahun terakhir, tapi Cindy yang membantuku membalas dendam dengan pacar pertamaku ketika aku tahu dia mencium gadis lain, Cindy yang bisa kuceritakan apa saja, Cindy yang juga merupakan sahabatku.

"Terima kasih telah mau bertemu dengan ku." Katanya pelan dan aku mengangguk. "Aku ingin mendapatkan bantuan." Dia berkata dengan keras, begitu keras sehingga beberapa orang di sekitar kita berhenti untuk melihat kita.

"Kamu ingin mendapatkan bantuan?" Aku ulangi dengan pelan, tidak bisa menyembunyikan keterkejutan atau keraguan dari suaraku.

"Aku tahu kalau aku telah banyak berbuat kesalahan."

"Ya itu memang benar." Aku tidak akan memanjakan atau menutup-nutupi sesuatu untuknya kali ini. Aku selalu melakukan itu, dan itu tidak pernah berhasil membuatnya berubah. "Kamu bisa membuatku terbunuh sekali lagi."

"A… Aku… Aku minta maaf. Aku berharap bisa berubah." Bisiknya saat telepon di dompet ku berdering. Aku menariknya keluar, aku melihat ke layar dan melihat panggilan dari Rain. Aku langsung menekan tombol diam, lalu meremas telepon di tangan dan merasakan detak jantung ku berdegup makin cepat. "Jika kamu perlu mengangkat telepon itu tidak apa-apa, angkat saja." Katanya sambil mengamatiku. Aku benar-benar tidak ingin menjawab telepon. Sebenarnya tidak juga, tapi aku juga tidak ingin Rain khawatir. Aku menggeser jari di layar, lalu meletakkan telepon ke telinga ku.

"Dia...." Aku mengalihkan pandanganku dari adikku ke pangkuanku saat dia memotongku.

"Kamu dimana, Celine?"

Aku tahu dia tidak bertanya seperti dia perlu tahu. Dia bertanya apakah aku akan berbohong tentang itu. Bagaimana dia tahu di mana aku, tapi aku berpikir kalau dia tahu.

"Starbuck." Jawabku sambil menggigit bibir ketika aku mendengar sesuatu di ujung teleponnya dibanting, dan aku tahu bahkan tanpa berada di ruangan yang sama dengannya bahwa tinjunya mengenai bagian atas mejanya.

"Kamu dengan siapa?"

"Rain…"

"Kau dengan siapa Celine?" Tanyanya pelan, dan aku menelan.

"Adikku Cindy."

"Astaga, apa yang kamu pikirkan?!" Dia mengaum, dan aku melihat adikku melompat mendengar suara itu.

"Bolehkah aku meneleponmu kembali ketika aku pergi dari sini?"

"Hubungi aku saat Kamu masuk ke mobil lalu langsung datang lagi ke sini." Tuntutnya.

"AKU....."

"Panggil aku saat kamu masuk ke mobil lalu langsung ke sini." Ulangnya, dan aku merasakan tulang punggungku menegang karena nadanya, tapi aku tahu sekarang bukan waktunya untuk membicarakan Rain dengannya.

"Oke." Aku setuju lalu teleponnya mati, dan aku tahu dia menutup telepon bahkan tanpa mengucapkan selamat tinggal.

"Siapa itu?" Cindy bertanya saat aku memasukkan ponselku kembali ke dompet.

"Pacarku." Kataku padanya sementara bagian dalamku berubah menjadi simpul, karena itu mungkin tidak akan terjadi untuk waktu yang lama.

"Dia terdengar seperti laki-laki tak baik." Katanya.

Aku memelototinya lalu mendesis. "Dia khawatir."

"Dia masih terdengar seperti seorang yang brengsek, dan mengapa dia khawatir?"

"Kamu tidak kenal Cindy, mungkin karena kamu memiliki kecenderungan untuk membawa masalah kemanapun kamu pergi." Aku menggigit bibir dengan sinis.

"Itu tidak adil." Bisiknya, dan aku mengusap dahi lalu melihat tanganku gemetar.

Mencoba menyatukan pikiran, aku memejamkan mata lalu membukanya kembali untuk melihatnya. "Kamu bilang ingin mendapatkan bantuan, jadi apa rencanamu?"

"Aku perlu meminjam uang agar bisa mengembalikannya ke Calista, lalu aku akan masuk rehabilitasi."

"Cindy." Aku menutup mata dan merasakan diri ku mengempis.

"Celine." Panggilnya, dan aku membuka mata sekali lagi untuk melihatnya. "Aku tahu kamu tidak punya banyak alasan untuk memercayai aku, tapi kali ini aku benar-benar ingin mendapatkan bantuan."

Aku mempelajarinya lalu aku melihat kebenaran dalam tatapannya, atau mungkin aku hanya melihat apa yang ingin ku lihat. "Berapa banyak?" Aku mendengar diri ku bertanya, dan melihat kelegaan membanjiri wajahnya.

"Empat belas juta."

"Empat belas juta?" Aku tersedak.

"Aku tahu ini uang yang banyak, tapi setelah aku menyelesaikan rehabilitasi, aku bersumpah akan membayarmu kembali, setiap sen."

"Cindy, aku hanya… aku tidak tahu. Itu uang dengan jumlah yang banyak sekali yang harus diberikan padamu."

"Aku tidak punya orang lain untuk ditanyakan." Bisiknya, mengalihkan pandangannya ke cangkir kopi di atas meja yang dia putar perlahan-lahan.

Jantungku berputar di dadaku saat aku mengawasinya. Jika aku tidak membantunya, dia benar-benar bisamati. Jika aku membantunya, dia bisa lari dengan uang itu dan akhirnya mati juga. Ini adalah pedang bermata dua jika memang harus di lakukan seperti ini.

"Kamu harus mengikuti ku ke bank. Aku tidak punya uang sebanyak itu untukmu" Kataku, dan cangkir itu berhenti berputar, matanya menatap mataku dan membanjiri dengan lega. "Cindy, ini dia. Ini yang terakhir. Aku mencintaimu, tapi aku tidak bisa terus berbuat baik denganmu. Jika kamu tidak mendapatkan bantuan lain kali…..." Aku menggelengkan kepala, membiarkan kata-kata tak terucap menggantung di antara kami.

"Aku tahu dan aku mengerti." Bisiknya.

Aku menghela nafas panjang dan merasakan ketenangan sejenak, aku berdiri dari meja. "Bagaimana Kamu bisa sampai di sini Cindy?"

"Dini menjatuhkanku." Gumamnya lalu melanjutkan ketika dia membaca ekspresi tidak suka di wajahku. "Aku telah tinggal bersama nya beberapa hari terakhir ini."

"CINDY...."

"Jangan katakan itu, oke? Aku sudah tahu apa yang akan kamu katakan, tapi kamu tidak perlu mengatakannya."

"Baiklah, kamu bisa ikut denganku." kataku padanya, menarik tasku lebih dekat ke tubuhku. Begitu kami berada di mobil dan dalam perjalanan ke bank, telepon ku berdering lagi, tetapi aku mengabaikannya tanpa melihat bahwa itu adalah Rain. Jika aku memberi tahu dia apa yang ku lakukan sekarang, dia tidak hanya akan marah, dia juga akan KECEWA dan aku tidak bisa menghadapinya sekarang.

"Apakah kamu ingin aku ikut denganmu?" Cindy bertanya saat aku parkir di depan bank.

Aku melihat nya, lalu mematikan mobil dan menggelengkan kepala. "Aku akan kembali. Aku tidak tahu berapa lama ini akan berlangsung."

"Aku akan berada di sini." Dia bergumam saat aku membanting pintu. Secara mengejutkan, waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dari pada yang aku kira untuk mendapatkan uang. Aku tidak tahu mengapa aku berpikir itu akan menjadi proses yang cukup lama, atau aku harus duduk dengan bankir, tetapi yang harus aku lakukan adalah pergi ke teller dan memberi tahu mereka berapa banyak yang aku butuhkan, lalu tunjukkan ID dan tanda tangani pada lembar jumlah yang di inginkan.