Chereads / Mengejar Cintamu, Gadisku... / Chapter 16 - Bersenang-senang

Chapter 16 - Bersenang-senang

Jam setengah sebelas, Azka menunggu Adiba di gerbang TK. Tak lama ada gadis keluar dari gerbang.

"Mbak! Mbak Adiba kan?" tanya Azka mendekati, berjalan di samping gadis itu.

"Iya, ada apa?" Suara Adiba sangat lembut. Gadis cantik dengan mata yang indah.

"Mbak saya minta maaf!" ucap Azka yang mendekat, membuat Adiba merasa aneh.

"Untuk?" Heran Adiba, dengan tatapan penuh tanda tanya.

"Saya yang mengalami kecelakaan dengan calon suami Mbak!" Kata Azka cepat memberanikan diri.

Adiba membuang nafas.

"Kenapa minta maaf itu sudah takdir, lagian kamu juga kritis." Ucapan Adiba terlihat sudah iklas.

"Ya, aku merasa bersalah. Oke ... adakah, hal yang Mbak butuhkan? Sebagai cara menebus kesalahanku. Tetap saja aku tidak enak, saya Azka, dan rumah megah sebrang jalan, itu rumah saya," tunjuk Azka ke rumahnya dan terus mengikuti langkah Adiba.

"Tolong, Mbak! Agar rasa bersalahku sedikit, berkurang." Rayu Azka mencoba menebus kesalahannya dengan niatan baik karena dialah yang menabrak Ridwan.

"Aku ingin berfoya-foya, apa kau berani? Ke Bar!" tantang Adiba menghentikan langkah dan melirik ke Azka.

Azka ternganga, bingung dan berfikir sejenak "Tapi mbak berjilbab? Berfoya-foya bagaimana?" lanjut Azka heran dengan permintaan Adiba.

"Ya sudah, kalau nggak mau!" kata Adiba melangkahkan kaki.

"Ok Mbak! Oke ... kalau hanya dugem itu kebiasaan ku, tapi Mbak nggak boleh kaget, nanti!" kata Azka, sedikit kuatir.

"Oke. Kalau begitu tunggu aku di sini jam delapan nanti malam," ucap Adiba remeh lalu pergi.

"Siap Mbaknya ..." seru Azka 'Aneh'.

***

Malam tiba Azka menunggu Adiba, Adiba memakai celana jens, baju hitam ketat memaikai jilbab hitam di masukkan ke baju, lalu memakai topi rajut, walau pakai jilbab, ia seperti tidak memakainya dan terlihat aura kecantikkannya.

"Mbak gaul banget, tetap cantik!" puji Azka terlihat tertarik kepada Adiba.

Mereka naik mobil mewah, setelah kecelakaan yang membuat nyawa Ridwan melayang, Azka trauma menyetir.

"Apa agamamu?" tanya Adiba.

"Islam di KTP," jawab Azka ringan seperti bangga dengan statusnya. Setelah mobil berjalan 15 menit mobil berhenti di depan tempat maksiat itu. Adiba turun di susul Azka.

"Kita mulai dunia malam Mbak Diba,

siapkan mental, jika Mbak belum pernah masuk, maka rasanya akan mengerikan," kata Azka sedikit menegur.

Adiba tak menghiraukan, malah masuk duluan.

Azka berjalan di belakangnya.

Baru sampai satu langkah kaki Adiba masuk, dia keluar dengan teriak

"Oooo tidak ...! Heeh heh ... " Dengan nafas tersengal-sengal seperti di kejar setan. Adiba sampai di mobil.

"Mbak, kenapa?" tanya Azka mulai memertawakan Adiba.

"Aku tak menyangka ini , benar-benar menakut kan! Huft ... ngeri," jawab Adiba sambil mengatur napas.

"Mbak ... ayo masuk lagi," goda Azka. Adiba melotot, Azka tertawa.

"Nongkrong di rumah ku saja, Mbak!" ajak Azka kemudian, membukakan pintu mobil untuk Adiba.

"Hi ... Ayo cepat-cepat, mrinding saya," kata Adiba ketakutan.

Mereka naik mobil mewah Bentley.

"Gitu mbaknya sok-sok an tadi, eh, belum mulai malah kabur. Sudah kuduga." Azka tertawa. "Hehehe. Lebih konyol dari aku," lanjut Azka memuji dirinya.

"Maaf, ku kira hatiku, berani!" jawab Adiba dengan wajah menyesal.

"Nggak papa Mbak! Berarti hati Mbak bersih," puji Azka.

Setelah beberapa menit mereka sampai.

"Ayo mbak, silahkan," ajak Azka masuk.

"Rumah segede ini! Sepuluh mobil mewah, keren, SubhanaAllah ...." Adiba tolah toleh melihat rumah megah Azka.

"Ini sangat luas, kamu gak capek jalan?" tanya Adiba sambil memutar badannya dengan memansangi seisi rumah.

"Sudah biasa, ada tiga puluh kamar, tiga tempat salat untuk yang mau salat. Pagawai saya ta'at beribadah, dan aku gak percaya." Santai Azka seperti tidak berdosa, mereka berjalan lagi, Adiba menatap singkat Azka.

"Ayo. Mbaknya nggak usah bingung, ayo ke tempat kesukaan ku," ajak Azka.

Berjalan di depan Adiba, Adiba yang masih takjub dengan rumah besar itu memandang setiap tempat dan sudutnya.

Hiasan dan asesoris rumah sangat indah, glamor, lukisan, barang antik dan pasti mahal.

Berjalan duapuluh menit akhirnya sampai. Ruang terbuka dengan danau buatan dan pohon sakura asli dengan di hiasi rumput hijau, membuat Adiba terkagum.

"Ini benar benar indah ... SubhanaAllah ... " takjub Adiba, tak mengedipkan mata.

"Tapi kehidupan ku tragis mbak! Menyedih kan, aku anak kaya raya, tapi merana," ucap Azka kurang jelas.

Adiba mengajaknya duduk. "Ayo ngobrol sini!" Sambil menepuk kursi sampingnya.

"Bau Coffe, eeem." Azka, mengambil kopi yang di bawa Bik Nah Chef di rumah Azka sejak 18 tahun yang lalu, ia cantik walau sudah mulai keriput.

"Makasih chef cantik ku ..." Goda Azka, bik Nah tersenyum. Lalu pergi

"Silah kan mbak ... menyuprut coffe adalah sesuatu yang seru dan nikmat," ucap Azka dengan minum.

"Di mana orang tuamu?" tanya Adiba ingin tau. Sambil memutar cangkir cofenya.

"Orang tuaku bercerai, sejak aku umur delapan tahun, Mamiku di Paris Prancis. Dan hanya selalu mentransfer uang.

Sementara Ayah ku menikah lagi ketika aku umur lima belas tahun.

Kehidupan ku terlalu memilukan, aku mencari tapi tak tau, apa yg ku cari? Tragis kan Mbak! Ini benar-benar memalukan dan memilukan.

Bagaimana bisa orang tua hanya

berambisi kebahagiaan yang paling utama adalah uang. Ya bisalah, buktinya aja Mami dan Ayahku," jelas Azka bertanya lalu dijawab sendiri olehnya,terlihat raut wajah Azka sedih.

"Mungkin ada sesuatu yang di rahasiakan, yang mungkin kamu gak tau?" Adiba berusaha mendinginkan suasana.

"Itu sudah tak penting Mbak! Aku sudah menjalani ini bertahun-tahun, kedamaian ku adalah para pendampingku, mereka keluargaku, dan aku bersyukur memiliki mereka, aku tidak tau jadinya, aku tanpa mereka." Maksud Azka adalah para ART dan tukang rumput.

"Sekarang ceritakan tentang mbak," suruh Azka ingin tahu cerita hidup Adina.

"Siang itu langit sangat terang berwarna biru, dia Ridwan kekasihku, mengutarakan semua perasaan lewat surat. Ya, kami biasa memakai surat di jaman canggih ini. Aku terpukau, aku terpesona dengan semua kata manisnya, dan aku masih ingat persis bagaimana dia mengatakannya. Kekasihku penantian di pelaminan kurang dua hari, semoga kita dapat bersatu, jika tidak Allah lebih sayang padaku. Kata itu membuat senang tapi juga membuat aku takut. Aku pacaran secara islami, pacaran jarak jauh, sudah banyak pengorbanan kami, untuk memperjuangkan cinta kami. Ayahku awalnya tak merestui, sampai akhirnya Kak Ridwan membuktikan bahwa dia pria mandiri dan sukses dan sudah sesuai dengan kriteria Ayahku, Ayahku lalu merestui. Hidup memang tak terduga, manusia merencanakan, tapi jika Allah tidak menghendaki, takkan terjadi rencana manusia. Sebelum kecelakaan, telpon. Aku ingin bertemu sebentar saja untuk melepas kerinduanku,

izinkan kekasih hati ku, satu detik saja.

Entah kenapa dengannya.

Kami bertemu di ruang tamu rumahku, padahal besok hari pernikahan kami.

Kami bicara lalu dia hanya memandang ku, tak lama hanya dua menit. Dia pamit, aku mengantarnya ke teras, melihatnya naik motor, setelah aku balik arah suara tabrakan itu. Aku lemas tak berdaya.

Setelah di makamkan, aku seperti hidup tapi tak hidup, aku terlalu menyakiti diriku. menyiksa diriku, aku menutup mataku, pura-pura tuli, dan pura-pura buta. Aku tidak bisa melanjutkan hidupku, aku marah kepada Allah." Adiba meneteskan air mata menyesali kelakuannya, Azka memberi tisu. Adiba mengambil tisu dari Azka.

"Beberapa hari aku di infus, semua keluarga tetap mempertahankan aku.

Hingga ada Psikolog, bernama Akmal.

Dokter Akmal membacakan semua surat-surat Kak Ridwan. Semua isi surat-surat itu tentang keimanan dan ketaqwaan dalam berhubungan antara aku dan dia, cinta kita untuk Allah. Aku ingat surat itu, kau ingin dengar?" tanya Adiba ke Azka.

"Tentu," kata Azka.

"Assalammualaikum kholili, aku merindukan mu, tapi aku akan berdosa jika bermaksiat, dengan membayangkan wajah mu. Adiba aku ingin kita sama-sama kuat, dunia ini hanya fana, aku mohon jangan terlalu mencintaiku, cintamu harus lebih besar kepada yang Maha Kuasa, dari pada kepada ku, jangan menduakan Allah."