Chapter 3 - 3

Sebelumnya aku sudah memesan Taksi online, dan dari dalam lorong aku bisa melihat sebuah mobil sudah menantuku.

Setelah berbicara sebentar dan merasa yakin, akhirnya aku masuk ke dalam mobil, dan pergi meninggalkan tempat itu.

Aku menyuruh Bapak Supir mencarikan kontrakan yang bisa aku tempati, soal bayaran aku tidak mempermasalahkan, karena memang aku sudah punya uang banyak, bukannya sombong, tapi selama ini aku memang bekerja via online, dan tanpa sepengetahuan suamiku.

Setelah menemukan kontrakan yang cocok, Bapak supir itu barulah meninggalkan aku, aku sangat lega akhirnya bisa keluar dari tempat itu, walaupun mungkin Allah akan marah padaku karena aku bukan istri penurut, versi suami tidak adilku.

Kontrakan ku memang tidak terlalu luas tapi nyaman buat aku dan anakku, dan aku berada di lantai atas, karena bangunannya bertingkat.

Lumayan, ada satu kamar dengan kamar mandi di dalamnya, ada sedikit ruang tamu, dapur dan ruang makan, lalu kamar mandi juga masih ada satu di dekat dapur.

Dan yang lebih membuatku bersyukur, tempatnya bisa dibayar separuh dulu, aku bayarnya enam bulan saja dulu, kalau memang cocok nanti sisanya aku bayar lagi.

Setelah menyusui putriku dan mengganti popok serta pakaiannya, tiba tiba ponselku berdering, aku yakin itu dari Kak Dika.

"Halo Dek, kamu dimana, kok rumah kita gelap, kamu dimana sekarang?"

ucapnya di seberang sana.

"Aku di rumah Mama Kak, tadi Mama ke rumah, terus nanyain kamu, aku bilang aja kamu lagi jalan jalan untuk nyenengin keluarga kamu, makanya Mama membawa aku ke rumahnya, sekalian mau bawa aku jalan jalan ke Mall besok, dan makan di restoran mahal juga Kak!"

ucapku mengompori.

Tak kudengar tak sepatah katapun keluar dari mulutnya, mungkin malu atau kesal.

"Terus, kunci rumah dimana dek, soalnya Kakak capek banget mau istirahat ini?"

ucap suamiku lagi di ujung telpon.

"Maaf Kak, aku pikir Kakak nginap di rumah keluarga Kakak, soalnya tadi Kak Dika pergi nggak pamit sama aku, jadi kunci rumah dibawa Mama aku!"

jawabku ngibul.

"Kok kamu kasih Mama kamu sih Nin? harusnya kamu taruh di bawah keset, atau dimana gitu, kalau kayak gini kan aku yang repot!"

Lah, sekarang aku yang disalahin, karena kesal telponnya aku tutup dan kubuka sebuah aplikasi online, yang menyediakan berbagai macam kebutuhan, termasuk pakaian.

Kupesan beberapa stel pakaian untuk aku dan anakku, mulai dari daster pakaian santai, sampai beberapa pakaian untuk kondangan.

Setelah itu, aku pesan makanan melalu aplikasi lagi, sekarang kan serba modern, jadi apa apa bisa dipesan melalui ponsel.

Tidak lama, bel di luar pintu berbunyi, segera kucek, ternyata kurir berjumlah dua orang, yang satu membawa makanan dan yang satunya membawa pakaian.

Setelah semua clear aku masuk, setelah memastikan pintu terkunci, aku membawa makanan ke dapur, lalu membawanya ke meja makan, setelah semua aku tata di piring.

Aku harus makan banyak sayuran, untuk putriku yang masih butuh banyak ASI dari tubuhku.

Ponselku beberapa kali bergetar di atas meja, setelah aku cek, ternyata Kak Dika yang yang mengirim pesan lewat Aplikasi hijau itu.

"Nin, sekarang kamu pulang, bilang saja sama Mama kamu, Dina tidak bisa tidur di rumah orang!"

Dengan semangat kubalas chat Kak Dika, yang sok ngatur itu.

"Tapi Dina udah tidur, tidurnya nyenyak lagi Kak, dia bareng Mama, gimana dong?"

balasku.

"Kak Dika bermalam di rumah Ibu aja, kan nggak mungkin dia nggak mau nampung Kakak, secara Kak Dika udah gelontorin banyak uang buat mereka, uang bulanan, terus uang jalan jalan, belum uang rental mobil!"

Balasku lagi, sengaja kupanas panasi, biar hangus sekalian.

Kembali ponselku berdering, segera kuangkat, karena aku sangat gatal mau ngomong pedas sama pria itu.

"Kamu pulang nggak sekarang, kalau tidak!"

ucapnya di telpon.

"Kalau tidak kenapa Kak?"

jawabku.

"Kamu kok jadi pembangkang begini sih Nin, sejak kapan sih kamu seperti ini?"

lagi lagi ucapannya terdengar di ujung telepon.

"Sejak aku tahu, jatah bulanan aku hanya satu juta dua ratus ribu, sedangkan Ibumu tujuh juta lima ratus ribu!"

Ucapku mengeja jumlah uang yang selalu ia berikan tiap bulan untuk keluarganya.

"Sudah ya Kak, aku ngantuk, pulang deh ke rumah Ibu kamu!"

Ucapku, lalu menutup telpon dan aku non aktifkan ponselku, biar kebakar sekalian tuh kepala karena marah, apa dia pikir cuma dia yang bisa marah.

Sementara di tempat berbeda, Dika sudah seperti cacing kepanasan, mau marah tapi marah kepada siapa, istrinya sudah tidak di rumah.

"Assalamualaikum Nak Dika!"

ucap seseorang yang ternyata adalah pak RT.

"Iya Pak, ada apa yah?"

ucap Dika.

"Ini, tadi mertua Nak Dika nitip ini kepada saya, katanya buat Nak Dika!"

Ucap Pak RT sambil melangkah pergi.

Mata Dika melotot melihat ranselnya, dia tidak menyangka mertuanya bisa seperti itu, bahkan membawa anak dan istrinya tanpa seijinnya, mau kesana tapi takut, jangan sampai Papa mertuanya menjadikan menantunya bola, ditendang kesana kemari.

Dika termenung sendiri, belum sadar akan kesalahannya, dia pikir sudah menjadi Ayah dan suami yang baik.

Terpaksa ia mengambil ranselnya, dan membawanya naik ke atas motor bututnya, lalu pergi ke rumah orang tuanya.

Sudah sebulan sejak kejadian itu, Dika bolak balik ke rumahnya, tepatnya rumah istrinya itu, berharap wanita itu sudah kembali lagi, tapi nyatanya sampai sekarang Nina tidak balik balik juga.

"Istri kamu belum pulang juga?"

ucap wanita paruh baya, yang tak lain adalah Ibu Dika.

"Iya Bu!"

Hanya itu yang keluar dari mulut putranya .

Istri macam apa itu, pergi meninggalkan suami tak ada kabar beritanya, dasar istri durhaka, suami sudah capek capek nyari duit, dia malah bersenang senang di rumah Mamanya!"

Mendengar Ibunya mengomel, Dika diam saja, karena sebenarnya dia tidak pernah memberi nafkah yang layak untuk istri tercinta.

Sementara Nina di rumah kontrakannya, Nina sedang bermain dengan putrinya setelah seharian bekerja mencari duit, duduk di depan laptop sambil mengetik berjam jam, membuat kepalanya pusing.

Nina sekarang menekuni profesinya sebagai penulis online, dan itu bisa membuatnya bertahan hidup bersama putri cantiknya.

Biarlah dia kehidupannya yang seperti ini, mungkin lebih baik seperti ini, daripada harus menjalani rumah tangga yang selalu diatur oleh Ibu mertua dan Iparnya.

"Kak Dika tega banget, dia kok rela menggelontorkan uang untuk keponakannya, sementara untuk anaknya pelitnya minta ampun!"

Batin Nina sambil terisak menatap putrinya yang sedang bermain di kasur.

"Besok aku mau belanja buat Dina dan kebutuhan aku, aku sekarang bebas mau pakai uangku sendiri, biar mereka tahu, aku akan sangat lebih baik tanpa mereka si dekatku!"