Chapter 5 - 5

Suamiku dan Ibu mertuaku diam, aku mengerti sekarang, mereka kemari agar bisa ikut menikmati hasil jerih payahku, mereka pikir aku bodoh, selama ini aku bertahan hanya ingin melihat sejauh mana kalian menindasku.

"Maaf Kak, hari ini Mama dan Papa aku mau datang kemari, kalau memang ingin menunggu mereka, silahkan duduk!"

Ucapku, lalu melangkah ke dapur dan pura pura sibuk, orang tuaku selama ini mana tahu kalau aku sudah pisah rumah dengan pria brengsek itu.

Dari kaca dapur, aku bisa menyaksikan wajah mertua dan suamiku yang panik, mana berani mereka menampakkan wajah somplak mereka di hadapan orang tuaku, mereka masih sangat tidak memiliki nyali untuk itu.

Setelah beberapa saat saling diam, akhirnya kudengar, Kak Dika memanggilku.

"Nin, aku mau pulang buka toko, tolong bagi ongkos dong!"

ucapnya sambil mendekat ke arahku dan menadahkan tangannya, persis seorang anak yang meminta uang jajan ke Ibunya.

Aku tidak habis pikir kepada suamiku ini, menafkahi tidak, tapi kok tanpa rasa malu sedikitpun meminta uang ke aku.

"Kak...

Memangnya masih merasa memiliki uang sama aku, apa kakak pikir uang jatah bulanan kakak awet gitu?"

Dengan suara melengking kuluapkan emosiku, nafasku memburu naik turun, ingin kucekik saja pria di depanku yang tidak tahu diri ini, tapi masih kutahan karena mengingat dia masih suami dan ayah dari putriku.

"Sebaiknya kakak pulang, sebelum Papa dan Mama aku kemari, kalau tidak bahkan Papa bisa menghabisi nyawa kakak!"

Kulihat wajah suamiku memerah, entah malu atau marah, dengan berat dia meninggalkan kontrakanku, sambil menggandeng tangan Ibunya.

Aku berharap tidak bertemu mereka kembali, aku bisa darah tinggi tiap kali bertemu mereka, entah apa tujuannya kemari, menengok wajah putrinya saja enggan.

Mungkin hanya ingin meminta kunci rumahku saja, dan sampai matipun rumah itu tidak akan aku berikan padanya.

Segera kuselesaikan pekerjaanku, dan ponselku kembali bergetar, sengaja tidak kuaktifkan nada deringnya, takut mengganggu putriku.

Kuangkat telpon ternyata dari Pak RT, dan setelah berbicara panjang lebar

aku mengakhiri panggilan telpon tersebut.

Aku sangat bersyukur, karena rumahku sudah ada yang menawar, dan setelah deal aku dan putriku segera berangkat untuk menerima uang hasil penjualan rumah itu, dan menyerahkan surat suratnya.

Dan disinilah sekarang aku berada, di sebuah rumah yang menurutku cukup mewah, rumah dua tingkat yang berhasil aku beli dengan uang tabunganku dan ditambah hasil penjualan rumah, sekarang barang barangku, sudah aku bawa kemari.

Rumah yang berukuran 10x20 m itu tampak begitu megah di mataku, maklumlah sekian lama hidup susah bersama suami dan mertuaku, akhirnya aku bisa bebas dan menikmati hasil jerih payah ini sendiri.

Aku menyewa seorang pengasuh untuk putriku, seorang pembantu untuk memasak, dan suaminya sebagai Satpam di rumah ini, maklum aku hidup sendiri, jadi tidak mau ambil resiko.

Aku juga sudah membeli sebuah motor matic untuk kendaraan ku kemana mana, maklum aku belum mampu untuk membeli kendaraan roda empat.

Perumahanku masih ada yang kosong di samping rumah, hari ini aku menyuruh tukang untuk membuatkan bangunan untuk toko kecil kecilan, mungkin luasnya sekitar 5 meter, dan aku rasa itu cukup, karena aku menyuruhnya mengikuti badan rumah sampai ke belakang, nanti kalau aku masih ada rejeki tinggal aku sekat sekat saja, untuk gudang dan lain lain, aku juga belum memikirkan untuk menjual apa nantinya, ini hanya antisipasi, untuk ke depannya, karena pekerjaan tidak ada yang tahu akan bagaimana nantinya.

Aku memang lebih banyak di rumah, karena pekerjaanku tidak mengharuskan aku keluar, tapi itu menjadi satu nilai plus untukku, karena aku masih bisa bekerja sambil terus mengawasi putriku, walau sudah ada pengasuh tapi aku mau tetap fokus untuk tumbuh kembangnya.

Tidak terasa umur putriku sudah menginjak 8 bulan, berarti sudah 4 bulan aku minggat dari Kak Dika.

"Sekarang Kak Dika lagi apa yah?"

Aihhh kok aku malah kepikiran pria bejad itu, ya dia pasti tengah banting tulang untuk keluarganya, mau apalagi, diakan cuma dijadikan susu perah oleh keluarganya.

Seperti biasa aku sedang menulis, menuangkan semua ide dan inspirasi untuk novel yang sedang aku buat, ini adalah novel yang kesekian kalinya aku luncurkan, dan Alhamdulillah, semuanya berjalan dengan sangat mudah, sungguh Allah maha besar, dan maha pemurah, di saat aku tidak ada tempat sandaran, dia memberiku rezeki yang menurutku sangat berlimpah.

Karena walaupun novel novelku telah tamat, tapi aku masih bisa berpenghasilan tiap hari dari para pembaca yang setia membaca karya karyaku.

Mungkin ini cara Allah mengangkat derajat ku dan menyadarkan aku, bahwa selama ini aku sudah sangat dibodohi oleh suamiku dan keluarganya, aku tidak pernah mempermasalahkan Kak Dika berbakti kepada orang tuanya, tapi setelah semua kebutuhan aku dan putrinya terpenuhi, bukan malah sebaliknya.

Kalau orang mengatakan aku istri durhaka, aku rasa Allah maha tahu, apa yang terjadi sebenarnya di dalam rumah tanggaku sekarang.

Setidaknya aku melakukan semua ini untuk putriku, sedangkan dia tidak pernah memikirkan anak kandungnya sendiri, tega sekali memberi putrinya pakaian bekas ponakannya, lalu dengan royalnya dia membawa keponakannya berbelanja sepuasnya.

"Salahkah aku bila sesakit hati itu?"

Daripada aku terus melamun, aku lebih baik fokus pada tulisanku, untuk apa memikirkan sesuatu yang tidak berfaedah, ujung ujungnya sakit hati sendiri.

Setelah megengetik dari habis dhuhur akhirnya aku menyelesaikan beberapa chapter, aku lega.....

kuregangkan sedikit punggungku yang terasa ngilu, karena duduk selama berjam jam.

Aku bergegas berdiri dan mengambil wudhu, saat terdengar Adzan berkumandang, pertanda waktu Ashar telah tiba.

Dingin air menyusup masuk ke dalam pori pori wajahku, aku bersimpuh di hadapan Sang maha pencipta, yang memberiku kehidupan dan rezeki yang selalu dimudahkan, air mataku luruh membanjiri kulit pipiku.

Aku adukan seluruh keluh kesahku, dan dendam di hatiku, aku mencoba ikhlas untuk menjalani hidupku agar jauh lebih baik.

Tidak ada gunanya aku terus mengikat dendam di dalam hati ini, aku ingin menikmati hidupku bersama putriku dengan tenang, semoga Allah SWT selalu melindungi dan menjagaku dari orang orang seperti yang ada di masa laluku.

Selesai shalat aku mencari putriku, kudengar suaranya sedang mengoceh tidak jelas bersama mbaknya, aku sangat bersyukur karena sekarang dikelilingi orang orang yang tulus, mungkin ini jawaban dari doa doaku selama ini.

Kulihat putriku sedang asyik bercengkrama dengan pengasuhnya, sesekali ia tertawa dengan keras, kembali sir mataku menetes di ujung mataku, ahh kenapa aku secengeng ini, seharusnya aku bahagia, tapi kenapa aku sangat dan sesakit ini, melihat putriku tumbuh tanpa pernah dipedulikan Ayahnya.