Chapter 4 - 4

Jam 9 pagi, aku sudah rapi seperti tujuanku semalam, sekarang aku dan putri kecilku akan pergi berbelanja kebutuhan kami di Mall.

Taksi yang sudah aku pesan sudah menunggu, aku berjalan tanpa memperdulikan Maya orang orang yang menatapku, ada yang iba, ada pula yang menatap sinis, dan lain sebagainya.

Aku cepat cepat masuk ke dalam taksi, dan perlahan mulai meninggalkan tempat itu.

Aku tiba di Mall dengan cepat, aku segera turun, sengaja aku menyuruh sopir itu menungguku, setelah sebelumnya kami nego.

Dengan semangat aku berjalan ke tempat dimana ada yang menyediakan semua kebutuhan bayi.

.Semua aku beli lengkap, dan tak lupa aku singgah membeli keperluanku sendiri, termasuk perhiasan emas sebagai investasi.

Sudah hampir tengah hari barulah aku selesai, tapi betapa kagetnya aku, saat melihat suamiku dan keluarganya sedang asyik makan di sebuah restoran di dekat Mall itu.

Berhubung karena aku lapar, jadi aku masuk untuk memesan makanan, mata Kak Dika membulat saat melihatku.

Aku menggelengkan kepala melihat kelakuannya, bukannya berusaha mencariku, dia malah sibuk berusaha menyenangkan keluarganya.

"Nina.....!"

Kak Dika berdiri dan berjalan menuju ke arah tempatku duduk.

Perlahan dia memperhatikan diriku, mungkin merasa heran melihatku dan putrinya terawat dengan baik.

"Nina, kenapa tidak pulang ke rumah, kamu kok seperti lupa sama suami sendiri!"

Ucapnya sendu.

"Kamu juga kok tidak pernah berniat mencari atau menjemput aku di rumah Mama?"

"Eh sekarang kalian beda banget ya, terlihat sangat cantik!"

ucapnya tidak tahu Malu, dan mengalihkan pertanyaanku tadi.

Aku berdiri dan berjalan sambil mendorong stroller bayi milik Dina, meninggalkannya terbengong sendirian.

Aku mendengar derap langkah Kak Dika di belakangku, mungkin masih mengekoriku di belakang, tapi aku bodoh amat, aku masih kesal dengan kelakuannya, yang selalu menomor satukan, anak anak saudaranya, daripada anak sendiri.

Aku langsung masuk ke dalam taksi yang setia menungguku, kusuruh Bapak sopir cepat cepat meninggalkan area parkiran.

Kulihat suamiku, berlari kecil keluar dari restoran, tangannya melambai lambai menyuruhku berhenti, tapi tidak aku hiaraukan.

Sampai di kontrakan ku, aku kembali menyiapkan makan siang karena tadi belum sempat makan di restoran.

Ponselku dari tadi bergetar, sampai aku selesai makan barulah kulihat nama siapa yang tertera disana!

"Ternyata suamiku tercinta!"

Gumamku tersenyum licik.

"Ada apa Kak?

Kalau mau ketemu Dina kakak ke rumah Mama aja!"

Kataku begitu jempolku menggeser tombol hijau di ponselku.

"Nina, kamu kenapa sih, kenapa tidak pulang ke rumah sendiri, kunci rumah juga kamu bawa, mau jadi istri durhaka kamu?"

Ucapnya begitu lantang.

Oh no, dia bilang aku istri durhaka, lalu dia apa, menyiksaku perlahan lahan, mungkin andai saat ini kalau aku masih tinggal disana, aku bahkan susah untuk sekedar makan dan bernafas.

"Aku akan pulang, kalau jatah bulanan suamiku, dibalik!"

jawabku lantang.

"Maksud kamu?"

Tanya Kak Dika kembali.

"Aku minta jatah yang tujuh juta lima ratus ribu itu untuk aku, sedangkan yang satu juta dua ratus untuk keluargamu!"

jawabku datar.

"Gila kamu Nina....

keluargaku itu banyak, mana cukup uang segitu!"

ucapnya terdengar kesal.

"Kalau begitu jangan berharap aku mau pulang, urus saja dirimu sendiri, aku lupa kamu kan punya banyak keluarga yang mengurus!"

Ucapku lalu mematikan sambungan telepon.

Nafasku terengah engah menahan gejolak amarah yang menghimpit dadaku, setelah sedikit stabil, aku masuk ke kamar mandi sambil membawa handuk untuk mandi dan mengambil wudhu.

Aku melaksanakan kewajiban ku sebagai muslim, selesai shalat aku melihat putriku, apakah sudah bangun.

Ternyata dia sudah bangun, dan sedang bermain main sendiri di kasur, kuangkat gadis kecil itu, dan kupangku lalu menyusuinya.

Setelah kenyang putriku kembali bermain di kereta, sementara aku mulai menulis novel kembali, satu satunya ladang penghasilanku saat ini.

Tapi aku bersyukur karena sekarang sudah bisa memakai laptop.

Terdengar notifikasi dari ponselku, segera kucek, ternyata saldo pendapatanku sudah cair, dan aku bisa langsung transfer ke rekening pribadiku.

Aku sangat bahagia, karena bisa menghasilkan uang sendiri untuk memenuhi kebutuhanku dan putriku.

Dan angka yang tertera disana bukan kaleng kaleng, aku hampir stok jantung melihatnya, dua ratus juta, mimpi apa aku semalam sampai saldo yang masuk bisa sebanyak ini ya Allah.

Tak terasa air mataku jatuh berlinang, sungguh aku sangat bersyukur dengan semua yang Allah berikan kepadaku.

Besoknya, pagi pagi sekali aku sudah berberes beres, sambil sesekali bermain dengan Dina yang asyik berlari lari di atas kereta.

Sengaja aku membelikan semua yang dibutuhkan putriku, aku ingin dia mendapatkan fasilitas yang layak seperti anak pada umumnya.

Terdengar suara ketukan pintu dari luar, mungkin tetangga sebelah, pikirku.

Dengan segera kubuka pintu, dan kulihat tamu yang bertandang ke kontrakan ku ini.

Aku sudah menduga, pasti mereka akan menemukan aku, kulihat Kak Dika dan Ibunya menatapku dengan wajah nyalang.

"Assalamualaikum Kak, Bu!"

ucapku basa basi.

Tanpa menjawab salam Ibu mertuaku menerobos masuk ke dalam kontrakanku, lalu diikuti oleh suamiku.

Aku menarik nafas, kukontrol emosiku agar tidak meledak, entah mengapa aku merasa mereka memiliki maksud lain, sampai sampai berusaha untuk terus mencari keberadaan ku.

"Nin, aku tidak habis pikir sama kamu, kok bisa bisanya kamu minggat dari rumah dan meninggalkan suamimu!"

Terlihat Ibu mertuaku mengatur nafas mungkin karena terlalu mendalami perannya saat ini, sebagai Ibu dari suamiku yang teraniaya.

"Kamu bilang pulang ke rumah orang tua kamu, tapi nyatanya kamu malah ngontrak disini, punya rumah kok tapi lebih memilih ngontrak, gimana sih!"

Omelnya terus menyudutkan ku.

"Aku mau ngontrak atau tinggal di rumah ya terserah aku dong Bu, lagian rumah itu rumah aku, ngontrak juga aku yang bayar, kok Ibu harus mikirin sih!"

Ucapku kesal.

Mata Ibu dan Kak Dika melotot mendengar perkataanku, mereka pasti tidak menyangka aku akal ngomong seperti ini.

"Lagian Uang Kak Dika kan selama ini buat Ibu, jadi silahkan Ibu juga urus juga anak Ibu, masa suka uangnya, tapi orangnya di cuekin!"

Kata kataku semakin membuat keduanya melotot, sampai sampai bola matanya hampir keluar.

"Nin, kalau gitu aku tinggal ddisini bareng kamu ya?"

ucap suamiku memelas.

"Maaf Kak, tapi masa kontrak tempat ini sudah habis, dan aku masih belum punya uang untuk memperpanjang!"

Ucapku ketus.

Enak saja mau numpang hidup sama aku, sedangkan semua penghasilannya dia berikan untuk Ibu dan saudaranya, aku tidak akan pernah rela berkorban lagi, cukup selama ini aku dibodohi oleh mereka.

Aku sudah bahagia hidup bersama anakku, dengan penghasilanku sebagai penulis, cukup untuk menafkahi putri kecilku itu.