"Kau baru pulang?" Karina melihat pada sosok pria yang baru saja memasuki rumahnya. Wajah lelah dari pria tersebut tentu saja diketahuinya dengan jelas. Buru-buru Karina menghampiri Arsen, mengambil tas kerja pria itu yang terasa sangat berat bagi dirinya dan juga membawakan jas kerja yang dipakai olehnya tadi.
"Ya dan saat ini, aku benar-benar lelah."
"Kau membutuhkan teh atau kopi?"
Arson menengok sejenak, lalu setelahnya pria itu menggelengkan kepalanya. "Segelas air hangat, aku membutuhkannya."
"Hmm, baiklah. Aku akan menyiapkannya untuk mu." Karina menaruh barang-barang milik suaminya itu ke atas sofa, lalu langsung menuju ke dapur untuk menyiapkan apa yang diinginkan oleh suaminya itu.
Setelah segelas air hangat telah dibuatnya, dia pun menuju ke kamarnya lagi. Telinganya mendengar bunyi gemericik air dari kamar mandi sana, pandangannya tertuju ke arah beberapa pakaian yang kini berserakan di lantai. Kepalanya menggeleng dengan pelan, dia pun menaruh segelas air hangat itu ke atas meja, lalu bergerak cepat memunguti pakaian berserakan milik suaminya itu.
Saat akan mengambil kemeja biru muda milik Arsen, tiba-tiba sebuah plastik kecil keluar dari kantong baju tersebut. Pergerakan Karina lantas terhenti saat itu juga, satu alisnya menukik naik, dia mengambil plastik ziplock tersebut.
Melihat isi dalamnya yaitu sebuah kertas, dia pun membukanya dan mengambil kertas tersebut. Sebuah Kwitansi pembayaran kalung dalam bentuk print berlian yang harganya sangat tinggi.
"50 juta, untuk apa dia membeli kalung mahal itu?" Karina mengerutkan keningnya, dia benar-benar merasa sangat kebingungan sekali saat ini, memikirkan begitu banyak kemungkinan yang ada di dalam pikirannya.
Apakah kalung ini untuk kekasih gelap suaminya?
Mendengar bunyi kunci pintu yang terbuka, membuat Karina bergerak cepat dengan mengambil pakaian berserakan itu lagi dan menyimpan kwitansi pembayaran yang tadi ditemukannya ke dalam kantong kemeja suaminya itu lagi.
Berbalik, dia melihat Arsen yang kini tampak telanjang dada, hanya mengenakan sehelai handuk yang menutup pinggang sampai kakinya. Karina tersenyum padanya, hanya untuk menetralisirkan kegugupannya saat ini.
"Ada apa denganmu?" tanya Arsen. Pria itu lebih mendekatkan wajahnya, melihat Karina yang kini tampak pucat bagi dirinya.
"Gak kenapa-napa." Lantas Karina langsung menjauhkan wajahnya. Wanita itu benar-benar merasa sangat tak betah berada di dekat Arsen, apalagi suaminya itu sudah menatapnya dengan penuh tanda tanya dan juga kecurigaan.
Dia bagaikan maling yang saat ini tengah diinterogasi oleh seseorang dan bagi Karina, itu adalah hal yang menyeramkan.
"Lebih baik kau ganti baju sekarang karena cuaca sedang dinginnya, aku sudah menyiapkan air hangat yang baik untuk mu." Buru-buru Karina menuju masuk ke dalam kamar mandi, dia memasukkan baju-baju kotor yang dimiliki oleh suaminya itu ke dalam tempatnya.
Menengok ke belakang, memastikan bahwa pintu benar-benar telah tertutup. Dia kembali mengambil kertas yang dimasukkannya ke dalam kantong bajunya itu, menatap kertas tersebut dengan dalam nya, lalu dia menyimpannya di kantong celana nya.
Setelah itu, Karina menuju cermin, hanya untuk memperbaiki penampilannya dan memastikan bahwa saat ini, dia tak terlihat tegang dan pucat, karena hak tersebut, justru menarik kecurigaan di dalam diri Arsen.
Keluar dari kamar mandi. Dia sama sekali tak menemukan keberadaan Arsen di sini. Kepalanya menengok kanan dan kiri, meneliti setiap sisi kamar hanya untuk mencari keberadaan sang suami, sampai ketika pandangannya menuju ke arah balkon, di mana pintunya terbuka dan tirai putih yang menutupi pintu balkon itu tampak berterbangan, seolah mengundangnya untuk datang.
Karina yakin sekali, kalau saat ini, Arsen pasti berada di sana. Wanita itu melangkah dengan pelannya, seolah berusaha untuk menghasilkan suara pada setiap langkahnya itu.
Tangannya terangkat, memegang tirai yang berterbangan itu agar tak menghalau penglihatannya. Samar-samar, dia bisa melihat keberadaan Arsen di sana, pria yang tampak sedang asik dengan ponselnya itu. Senyum lebar dilihatnya, bahkan sampai lesung pipi yang dalam itu terlihat dengan jelas.
"Kau sedang apa?" tanya Karina secara tiba-tiba.
Arsen menengok. Pergerakannya yang buru-buru menutup ponselnya itu, berhasil membuat Karina semakin curiga. "Kau menyembunyikan sesuatu?"
"Tidak."
Gelagat yang ditunjukkan oleh Arsen saat ini benar-benar menarik perhatian Karina. Wanita itu ingin terus bertanya hanya untuk menyelidiki saja, tapi melihat Arsen yang terus berusaha menghindar dari tatapan matanya, membuat Karina lebih memilih untuk tak bertanya.
"Besok bos ku akan datang ke sini, hanya untuk mengunjungi keluarga kita. Tolong persiapkan semuanya dengan baik dan aku harap, untuk satu hari saja, kau bisa mengambil cuti."
"Oo." Karina menganggukkan kepalanya. "Baiklah, aku akan melakukannya."
***
Tok.
Tok.
Tok.
Pandangan Karina yang semulanya terarah pada sajian makanan di atas meja langsung teralihkan, melihat ke arah pintu untuk beberapa saat, lalu dia pun bergerak cepat untuk membuka celemek yang digunakannya. Celemek itu ditaruhnya di meja dapur, lalu kakinya melangkah menuju ke pintu untuk membukanya.
Pria dengan pakaian formal yang sangat rapi dilihatnya. Rambutnya gondrong, sekitar panjangnya sampai ke bahu, terlihat jauh rambut-rambut kasar yang menghiasi bagian rahang nya. Tatapan matanya begitu tajam sekali dengan alis yang tebal dan hidung mancung. Bibirnya cukup tebal, berwarna pink dengan kumis sedikit kumis yang menghiasi atas bibirnya.
Karina terdiam untuk beberapa saat. Sebelum akhirnya lamunan dia terpecahkan kala mendengar suara deheman dari pria yang ada di depannya itu. Wanita itu tercanggung sejenak, dia yakin pasti pria yang ada di depannya ini menyadari, bahwa dirinya baru saja terpesona akan pahatan wajahnya.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Karina dengan suara yang sangat lembut.
"Karina!" panggil seseorang.
Lantas Karina berbalik, melihat Arsen yang kini tampak terkejut dan melangkah cepat menuju ke tempatnya berada. Pria itu merangkulnya, menghadap langsung ke arah tamu yang ada di depannya.
"Pak Jhosua, maaf atas sambutan saya yang kurang baik." Dari nada suara Arsen yang penuh akan kesopanan, membuat Karina yakin sekali, kalau sosok yang di depannya ini adalah bos dari suaminya.
"Tidak masalah."
"Mari Tuan, masuk." Arsen mempersilahkan Jhosua untuk memasuki rumah mereka, mengajaknya langsung menuju ke ruang tamu, di mana Karina langsung cepat bergerak untuk membuatkan teh dan juga menyiapkan kudapan yang lezat.
Kini, dia harus berhati-hati sekali, karena tamu yang datang adalah bos dari suaminya sendiri. Untungnya tadi tak ada kecanggungan yang terjadi diantara mereka, karena dirinya sempat tak mengenal sosok bos dari suaminya itu.
Dua gelas yang berisikan teh telah jadi. Asap keluar dari minuman tersebut, hingga wangi harum nya dapat tercium oleh siapa saja.
Karina menatap minuman tersebut untuk beberapa saat. Berusaha untuk tenang menghadapi Jhosua yang menurutnya sangat mengintimidasi. Teringat lagi akan tatapan dari Jhosua yang sempat menghipnotisnya tadi.
"Ada apa dengan diriku?" Karina menghembuskannya nafasnya dengan kasar. Diambilnya nampan tersebut dan langsung saja dia melangkah menuju ke ruang tamu, melihat dua pria dewasa itu yang tampak sedang asyik mengobrol saat ini.
Karina menyajikan teh tersebut dengan rapi, tak lupa disertai sebuah senyuman yang menunjukkan keramahannya.
"Apakah dia istrimu, Arsen?"
Arsen menganggukkan kepalanya. Pria itu merangkul Karina dan menjawab, "Ya, dia istriku."
Tubuh Karina menegang kala itu juga. Dengan penuh keyakinan, dia berusaha menatap mata Jhosua yang menurutnya mengerikan.
'Mengapa aku memiliki firasat buruk padanya?'