Asher pasti sudah gila karena memaksa Ethan mengumpulkan data tentang seluruh perempuan di New York malam ini juga.
"Apa kau gila..? Kau bilang besok pagi kan, kenapa jadi memintaku ke sini tengah malam." protes Ethan begitu memasuki penthouse milik Asher. Matanya berkilat marah tak terima, karena menurutnya Asher sungguh keterlaluan mempekerjakannya dan tim hari ini.
"Kau ini…!! Sekarang katakan padaku ada apa sebenarnya dengan Scarlett-Scarlett ini? Apa dia mencuri uangmu, atau kau bertemu dengan satu yang hot dan lupa menanyakan nomor ponsel-nya?" Ethan terus membuka mulutnya, mencerca Asher dengan banyak pertanyaan yang membuat laki-laki itu mendesah lelah.
"Kau ingin wine?" bukannya menjawab Asher justru menawarkan sesuatu yang tak mungkin ia tolak. Oh jangan salahkan Ethan, koleksi wine milik Asher adalah hal terbaik yang bisa ditemuinya tiap kali berkunjung ke penthouse ini.
Tau Ethan tak mungkin menolak, Asher mulai mengambil salah satu koleksi wine miliknya. Mengajak Ethan duduk di sofa karena Asher yakin teman-nya ini tidak akan menyerah dengan rasa penasaran.
"Kau tau aku tadi pagi aku pergi ke coffee shop seberang kantor kita?"
"WHAT? Kau apa? Seorang Asher Walker pergi ke coffee shop seorang diri, benar-benar tak bisa dipercaya."
Mata Ethan bahkan membulat tak percaya dengan fakta yang baru saja Asher katakan. Temannya ini termasung golongan 'elite' yang hanya pergi ke tempat-tempat yang menurutnya layak dikunjungi.
Dulu Ethan ingat dirinya pernah merengek pada Asher untuk menemaninya makan di salah satu restoran yang menjual sushi, namun laki-laki itu tak juga bergeming. Ethan ditolak mentah-mentah saat itu juga. Bahkan untuk pakaian yang dikenakannya Asher tak perlu pergi mengelilingi store-store di pusat perbelanjaan.
Asher punya fashion stylist-nya sendiri untuk mengurusi segala hal yang berkaitan dengan apapun yang dikenakannya. Juru masak di Mansion keluarga Walker juga tidak hanya satu, melainkan belasan yang fokus di bidangnya masing-masing. Mungkin terdengar berlebihan, tapi percayalah menurut Ethan, Selama hidupnya Asher yang merupakan anak tunggal, tidak pernah sulit ketika menginginkan sesuatu. Kalau diingat lagi, Asher mulai membaur dengan segala hal ketika dirinya memutuskan untuk hidup sendiri di sebuah penthouse yang saat ini ditinggalinya. Dan itu sekitar tiga tahun yang lalu, meskipun banyak hal yang belum laki-laki coba, seperti pergi memasan kopinya sendiri di sebuah coffee shop.
Tapi ini merupakan kemajuan besar, karena pada akhirnya Ethan berpikir bahwa Asher juga bisa menjadi manusia sesungguhnya.
"Kau terlalu berlebihan, aku beberapa kali mengadakan rapat dengan klien di sebuah
coffee shop, jadi jelas ini bukan suatu hal yang besar." protes Asher sembari menyesapi aroma anggur yang menguar dari gelas krystal miliknya.
Ethan yang mendengar kalimat protes dari Asher secara refleks memutar bola matanya malas.
"Dan coffee shop yang kau kunjungi itu adalah tempat yang menawarkan ruangan VIP dengan barista terbaik dan segelas kopi berharga fantastis."
Kendati sudah mengenal Asher sejak keduanya masih duduk di bangku salah junior high school, satu sekolah privat terbaik di kota New York, Ethan tidak pernah bisa mengerti dengan segala pola hidup elite temannya ini.
Ethan yang juga berasal dari keluarga berada tetap tidak bisa memasukkan logika tentang kehidupan milik keluarga Walker yang menurutnya terlalu berlebihan.
"Sama sekali bukan salahku, biasanya mereka yang menyarankan tempat, Lagi pula bukankah kau juga yang biasanya menyetujui tempat yang klien ajukan."
"Baiklah-baiklah, aku jelas tidak akan pernah menang berdebat denganmu."kata Ethan mengalah, "Sekarang ceritakan tentang obsesimu dengan gadis bernama Scarlett ini."
Sejujurnya Asher juga tidak tahu apa yang bisa disampaikan, karena dia sendiri juga tidak paham dengan pemikirannya sendiri.
"Aku bertemu dengan seorang gadis berambut merah di coffee Shop tadi pagi. Walau aku yakin tidak pernah bertemu dengannya tapi aku seperti merasakan kedekatan emosional dengannya."
"Bilang saja kau naksir pada perempuan bernama Scarlett ini tuan Walker." sindir Ethan sembari terkekeh ringan.
"Bukan seperti ini, sudah kuduga akan percuma berbicara denganmu."
"Apa maksudnya percuma, lagi pula kau sudah aneh sejak bermimpi hal-hal yang berbau kerajaan itu."
Asher memijat keningnya lelah, tiba-tiba ia merasa sangat pusing, bukan—ini bukan karena Ethan yang menjadi semakin cerewet, tapi Asher seperti terbawa dalam sebuah kepingan-kepingan memori seseorang yang tidak terlalu jelas, namun terasa dekat dengannya.
Melihat Asher begitu kesakitan dengan memegang kepalanya, Ethan mendekat dan bertanya khawatir.
"Hey.. What's wrong dude?", "Kita harus ke rumah sakit!", katanya cepet saat Asher tetap tidak mau melepaskan tangannya dari kepalanya, buru-buru Ethan menyambar kunci mobil yang tadi ia letakkan diatas meja kaca besar.
"Ayo.." begitu ia mencoba membawa Asher, laki-laki itu justru menahan pergerakannya, seakan menolak ajakannya untuk ke rumah sakit.
"Aku--Tidak butuh rumah sakit!" Asher berkata pelan serupa bisikan.
"Tapi kau terlihat kesakitan bodoh."maki Ethan, tak habis pikir dengan kekeraskepalaan temannya ini.
"Baiklah kalau kau memang tak ingin pergi ke rumah sakit, maka biarkan aku menelepon Edward untuk memeriksamu di sini."
Tanpa menunggu persetujuan dari Asher, Ethan mendial nomor salah satu sahabat mereka yang berprofesi seorang dokter, Edward Miller.
"Ya kau harus segera kesini, sebelum Asher memecahkan kepalanya sendiri."
Samar-samar Asher dapat mendengar percakapan antara kedua orang itu ditelpon. Meski mau protes dengan perkataan Ethan, tapi Asher terlalu larut dalam kesakitannya hingga tak punya tenaga untuk sekedar memberi pelototan. Biarlah dia biarkan Ethan berbicara sesukanya untuk sekarang.
****
"Bagaimana?" tanya Ethan cepat, saat Edward selesai memeriksa keadaan Asher.
"Tidak ada yang salah, mungkin dia hanya menderita pusing karena terlalu lelah dengan pekerjaan dan memikirkan banyak hal."
"Tidak masalah katamu..? Kau harus lihat bagaimana dia terus memukul kepalanya keras sedari tadi." tunjuk Ethan pada Asher yang kini tengah berbaring di atas ranjang.
"Mengenai hal itu, aku juga tidak bisa berkomentar banyak. Ada baiknya Asher bawa ke rumah sakit untuk memeriksa keadaannya lebih lanjut. Kau tau aku memiliki keterbatasan alat dan lainnya saat ini, jadi hanya itu yang bisa ku katakan."
"Sebaiknya kau yang bujuk anak manja itu. Aku sudah sering mengajaknya melakukan medical check up, tapi memang sahabatmu itu terlalu keras kepala." Ethan melenggang pergi dari kamar Asher. Meski sejujurnya dia merasa senang karena itu, berarti tak ada yang perlu dikhawatirkan dari kondisi Asher, tapi tetap saja Asher yang selalu acuh pada kesehatannya sendiri membuat Ethan gemas ingin memukul wajah sahabatnya itu.
"Kau tidak perlu cemas, tidak ada yang serius." setelah Ethan pergi, Edward mendekati ranjang Asher memberitahu kondisi sahabatnya.
"Hmm…"
"Apa kau masih sering bermimpi?"
Selain Ethan, Edward juga menjadi salah satu orang yang tau mengenai Asher dan mimpi-mimpi misteriusnya.
"Ya, bahkan kali ini frekuensinya menjadi lebih sering. Aku bisa bermimpi bahkan ketika tidur siang. Benar-benar mengerikan." adu Asher pada Edward sambil memegangi keningnya yang masih memberikan rasa sakit. Sepertinya obat yang diberikan oleh Edward belum memberi pengaruh apapun.
"Mungkin kau benar bisa bercerita ke psikolog, kau tau mereka adalah yang paling ahli memberikan solusi. Kalau kau bercerita pada kami, kau tidak akan menemukan masukan apapun As."
"Aku tidak perlu psikolog atau apapun itu. Aku bisa mengatasi masalahku sendiri."
Asher menatap dingin ke arah Edward. Rasanya begitu mengesankan saat semua orang berpikir kau butuh ahli jiwa karena sebuah mimpi. Asher bukannya meremehkan para profesional yang bisa mengatasi permasalahan orang banyak. Hanya saja dia menganggap tidak perlu lagi pergi ke sana, selain karena Asher sudah pernah mencoba, dia pikir masalah ini harusnya bisa dia atasi, entah apa caranya.
"Kau tidak akan tau kau sebenarnya membutuhkannya atau tidak sebelum kau
mencari tahu sendiri." Edward memberi jawaban bijak dan senyum menenangkan.
Memang diantara mereka bertiga, Edward adalah laki-laki yang memiliki sikap paling
tenang juga gambaran arti kedewasaan yang sesungguhnya. Kalau Asher terlihat seperti seseorang yang dingin namun naif, beda lagi Ethan yang tampak kuat namun memiliki banyak luka yang disembunyikan.
"Ini kartu nama milik salah satu kenalanku," Edward menyerahkan satu kartu nama berwarna putih gading untuk Asher.
"Kau tahu? Saat orang tuaku memutuskan untuk berpisah, aku sempat berpikir untuk bunuh diri."
Asher yang baru saja mengetahui rencana gelap Edward di masa lalu hanya bisa
tercengang, bagaimana mungkin dia tidak tahu apa-apa meskipun mereka bersahabat.
"Haha.. Tidak perlu terkejut seperti itu. Lagi pula itu hanya sekeping kebodohanku di masa lalu."
"Aku tidak pernah bercerita karena kau tahu hal itu bisa melukai harga diriku yang kalian beri label sebagai manusia paling bijaksana." kata Edward jenaka.
"Saat itu aku tidak tahu harus bagaimana. Rasanya lebih baik mati ketimbang menyaksikan perpisahan kedua orang tua ku. Kau tau kan saat itu kita masih anak-anak untuk mengerti bahwa tidak selamanya melepaskan akan berakhir dengan penderitaan, justru dengan kita ikhlas merelakan, kau tidak akan merasa terlalu sakit. Justru ada hal-hal baik yang bisa kau rasakan saat merelakan sebuah perpisahan."
Ethan menjeda ucapannya dan mengambil langkah duduk di depan Asher yang kini juga sudah duduk di ranjang mewah miliknya.
"Aku tidak harus melihat pertengkaran mereka setiap hari. Aku tidak lagi harus mengingat berapa kali ayah membawa teman wanitanya tidur di kasur tempatnya berbagi kehangatan dengan ibuku dulu. Dan yang terpenting aku belajar banyak untuk bisa lebih menghargai sebuah komitmen. Ada banyak hal baik yang bisa ku rasakan dari setiap kepedihan yang dulu selalu membuatku ingin mati. Jadi aku sudah tidak apa-apa. Semua proses hidup membuatku menjadi Edward dalam versi yang lebih baik."
Asher tersenyum samar mendengarnya,
"Kau tau Ed, aku sempat marah karena kau tidak pernah memberi tahu kami rahasia besar yang baru saja kau ungkapkan. Tapi kau harus tahu aku dan Ethan tidak pernah merasa salah menempatkanmu sebagai seseorang yang paling bijak. Kau layak dengan title itu."
Asher menjabarkan dengan senyum tipis di ujung bibirnya. Meski samar tapi Edward tahu sahabatnya itu memberinya senyuman tulus.
" Hahaha… "
"Kenapa kau tertawa?" tanya Asher heran.
Edward mengibaskan tangannya di udara, "Tidak.. Tidak.. Maafkan aku.." katanya berusaha meredakan tawanya yang masih saja terdengar tipis-tipis.
"Hanya saja beberapa saat lalu cara bicaranya mu menjadi sangat mirip denganku. Aku seperti melihat diriku sendiri tadi."
"Kau sangat menyebalkan!"
Kembali Edward tertawa lepas, sedangkan Asher hanya bertahan dengan senyum segaris andalannya.
"Kalian benar-benar keterlaluan." tiba-tiba Ethan muncul dari balik pintu dengan tampangnya yang masam.
Melihat kedua temannya masih diam tak menggubris ucapannya, Ethan berkata lagi, "Bagaimana bisa kalian tertawa bersama tanpaku, benar-benar keterlaluan." ujarnya mencibik sok marah.
Bukannya merasa iba, Asher justru memberikan tatapan malas, sedang Edward justru tertawa lepas lagi.
"Kau benar-benar mirip perempuan Eth sekarang." seru Asher pelan. Tapinyatanya pendengaran Ethan yang masih baik mampu didengarnya.
"Ed… Tolong suntik orang di sampingmu itu dengan cairan mematikan..!" Dan sekali lagi Edward kembali di buat tertawa.Sedangkan Asher dan Ethan kembali melayangkan kata-kata kejam satu sama lain.
Pada akhirnya malam ini dihabiskan ketiganya dengan mengingat memori masa kecil mereka yang banyak dihabiskan dengan satu sama lain.