Begitu sampai di flat miliknya, Scarlett dapat bernapas lega. Setidaknya dia sampai dengan selamat. Meski tetap merasa sedikit takut karena saat menuju flatnya yang berada di ujung jalan, suasananya tidak seramai jalanan di depan gedung perpustakaan tempatnya bekerja. Tentu saja ini juga karena saat ia dan kedua temannya memilih flat untuk mereka tinggali, mereka mencari lokasi yang tidak dekat dengan keramaian.
"Kau baru pulang?" Sesaat Scarlett dikagetkan dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.
"Kau mengagetkanku." Katanya setengah berteriak.
Scarlett masih memegang dadanya karena masih dalam mode belum sehat setelah terkejut.
"Hei bukan salahku, kau sendiri yang datang mengendap-ngendap seperti seorang maling." kata Emily santai.
Memang saat masuk tadi, Scarlett tidak langsung menyalakan lampu ruangan yang telah dimatikan. Ia hanya berpikir kalau lampu sudah mati maka kedua temannya pasti sudah tidur, dia hanya tidak ingin membangunkan keduanya.
"Kau sudah makan malam?" Emily bertanya lagi.
Scarlett menggeleng pelan sembari memegang perutnya yang memang sudah meronta minta diisi. Seharian ini dia hanya makan sandwich tuna, yang jelas tidak membuatnya mendapatkan energi cukup. Entahlah, dia tidak tahu kenapa bisa mengabaikan makan siangnya dan untungnya Scarlett tidak langsung pingsan.
"Tentu saja belum, kau tau aku sudah mendamba ingin makan masakanmu hari ini, tapi sayangnya aku harus pulang telat." adunya pada Emily.
Emily terkekeh mendengar penuturan dari sahabatnya, lalu dirinya berjalan ke arah saklar listrik untuk menyalakan lampu ruangan karena rasanya aneh ketika mereka bicara dalam kondisi gelap.
"Apa yang membuatmu pulang terlambat, bukannya perpustakaan hanya memiliki extra time hari Jumat dan Sabtu?"
Scarlett menggangguk, "Ya kau tau... hujan mengacaukan segalanya! Aku lupa payungku dan hal-hal lainnya." Dia dapat mendengar Emily berdecih saat mendengar alasannya barusan. Pasti sebentar lagi gadis dengan tinggi 169 cm itu akan mulai mengungkit soal payung.
"Sudah ku bilang, masukkan payung lipatmu ke dalam tas sejak semalam, tapi kau memang batu. Rasakan sendiri akibatnya!"
Benarkan apa yang Scarlett pikirkan, Emily pasti akan mengomel. Bak seorang ibu-ibu, Emily akan berubah menjadi cerewet, karena wanita itu begitu membenci yang namanya kecerobohan.
Scarlett mengaku dia salah, tapi bukan inginnya juga menjadi seperti ini.
"Maaf." tuturnya merasa bersalah.
"Hmm.. Jangan lupakan lagi atau aku tidak akan mengurusmu kalau kau demam." ancaman Emily jelas bukan main-main. Perempuan taurus itu benar-benar akan melakukannya.
"Lalu apa maksudmu dengan alasan yang lain? Apakah ada seseorang yang mengganggumu. Kau bilang akhir-akhir ini kau selalu merasa ada yang mengawasimu?" tanya Emily cemas.
"Bisakah kita membicarakan itu nanti, perutku benar-benar harus diisi. Apa kau masih punya sisa makanan?" Scarlett bertanya sambil mengeluarkan puppy eyes andalannya.
Melihat temannya memulai jurus mengalihkan pembicaraan Emily sudah akan membalasnya, tapi..
Kryukkkk…
Mendengar suara berbunyi dari perut Scarlett, ia memutuskan untuk menyimpan pertanyaan itu.
Scarlett yang melihat Emily melangkah ke arah dapur, menjadi bersemangat kembali, karena sudah pasti Emily akan menyiapkan sesuatu yang lezat untuk dia santap. Dia melihat Emily yang sibuk mengeluarkan sesuatu dari kulkas dan memanaskannya ke dalam microwave.
"Jangan bilang ini sisa, karena aku sengaja menyimpannya untukmu." Tegas Emily dengan muka yang memasang ekpresi sok galak.
"Kau benar-benar yang terbaik. Aku mencintaimu." seru Scarlett bersemangat.
"Tentu saja kau harus mencintaiku, bodoh."
"Eh…"
Lalu keduanya tertawa. Padahal yang ditertawakan juga bukan sesuatu yang lucu, tapi begitu uniknya persahabatan, ada hal-hal remeh dan kecil yang kadang bisa membuat kalian tertawa bersama meskipun dari sudut pandang orang lain hal tersebut tidak memiliki nilai humoris sama sekali.
****
"Kalian benar-benar jahat." ucap Emily setelah menaruh cangkir berisi mint tea ke atas meja. Dan untuk informasi, mint tea yang diminum Emily adalah buatan Scarlett sebagai balas jasa karena Emily sudah mau berbaik hati menyiapkan juga menemaninya makan.
"Kenwhavpa?" Scarlett bertanya dengan mulut penuh makan.
Melihatnya Emily menggelang pelan, "Telan dulu makananmu Scar, baru bicara. Dan untuk kenapa aku marah, kita bertiga berjanji akan makan malam bersama malam ini kau ingat?" tuding Emily padanya dan Scarlett mengangguk mengiyakan.
"Lalu tiba-tiba saja Carol membatalkan janjinya, dia harus menemani bos diktatornya itu untuk merevisi rancangan yang akan di pamerkannya di fashion week bulan depan. Sungguh menyebalkan! Dan kau yang terlambat karena kecerobohanmu sendiri, untuk kasus ini aku tidak akan memberikan komentar apapun. Terlalu parah." Dengusan Emily membuat Scarlett merasa sedikit bersalah.
"Maafkan aku" katanya tulus.
"Sudah, lupakan saja! Lagipula ini bukan pertama kalinya kau bersikap ceroboh." tukas Emily santai, "Sekarang ceritakan tentang masalah mu yang lain." tagihnya cepat.
Sebenarnya menceritakan ketakutannya kepada Emily tentang rasa was-was ya karena merasa sedang diintai seseorang membuat Scarlett enggan bercerita. Karena sahabatnya yang satu ini memiliki sifat overprotektif terhadap orang-orang di sekitarnya kalau terjadi suatu dan lain hal. Dan Scarlett tidak mau Emily bertindak berlebihan padanya.
Tapi menyembunyikan sesuatu dari sahabatnya juga bukan pilihan yang baik, jadi mungkin Scarlett memang harus bercerita, setidaknya dia tahu siapa yang bisa di telepon saat nanti suatu hal genting terjadi.
"Masih tentang aku merasa benar-benar ada yang mengawasiku."
"Tapi kau bilang, kau tidak pernah benar-benar melihat siapa orangnya? Apakah itu benar bukan hanya dari pikiranmu saja?" Emily bertanya tak yakin. Pasalnya orang yang disebut-sebut oleh Scarlett tidak pernah benar-benar telihat wujudnya. "Atau jangan-jangan yang mengawasimu bukan seorang manusia?"
Oh tidak, bagaimana kalau dia yang mengawasinya bukan seorang manusia. Scarlett tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Dia dapat meresahkan seluruh tubuhnya merinding memikirkan kemungkinan yang Emily katakan padanya.
"Kau membuatku takut." Scarlett berjalan mendekat dan pindah duduk di samping Emily setelah sebelumnya gadis itu duduk di hadapannya. Bukannya merasa simpati karena berhasil membuatnya takut, Emily justru tertawa lepas melihat ekspresi ketakutan Scarlett yang diperlihatkannya.
"Jangan tertawa, dasar jahat." dipukulnya punggung Emily agak keras hingga gadis itu mengaduh kesakitan.
"Baiklah bagaimana dengan Sabtu ini? Aku dapat shift pagi jadi mungkin aku bisa berkunjung ke perpustakaanmu dan kita pulang bersama. Siapa yang tahu kalau kita bisa menangkap si penguntit dengan bekerja sama." usulan Emily membuat Scarlett hampir menangis terharu.
Temannya ini memang suka kelewat peduli dengan orang di sekitarnya. Meski kadang membuatnya merasa sedikit terkekang tetapi disaat bersamaan juga seringkali membuatmu merasa memiliki tempat bergantung.
****
Asher Penthouse, Night almost midnight.
Asher membawa langkahnya pelan masuk ke dalam penthouse miliknya. Setahunya dia tadi sudah mematikan lampu ruang tengah, tapi sekarang lampu itu menyala gencar seperti ada seseorang di sini.
"Kau pasti pergi ke sana lagi?"
Hampir saja Asher melemparkan sepatunya kalau dia tidak ingat siapa orang yang sedang duduk santai di sofa miliknya menggunakan setelan rumahan−sweater bergambar beruang dan bawahan celana kain dengan warna senada.
"Apa yang kau lakukan di sini? Aku memberimu kartu akses bukan untuk kau mengeksplotasi isi rumahku." Kata Asher galak sambil menunjuk segala camilan juga bir yang dia tau berasal dari kulkas miliknya.
"Anggap saja ini bayaran untukku karena atasanku saat ini berubah menjadi maniak yang mengawasi seseorang selama berhari-hari." sindir Ethan cepat—lalu kembali memakan snack yang sudah ia rampok dari lemari penyimpanan milik Asher.
Melihat Kelakuan Ethan memang tidak biasa, membangkitkan emosi dalam diri Asher. Laki-laki itu suka bersikap seenaknya seperti saat ini contohnya, menghela napas— Asher melepaskan jasnya dan melemparnya tepat ke wajah Ethan.
"Brengsek, letakkan jasmu dengan benar."
"Whatever" Asher balik menyeringai melihat wajah kesal Ethan.
Meski sering rebut karena hal sepele. Asher banyak berhutang butuh pada Ethan, salah satunya adalah Ethan mampu mendapatkan data dari orang asing yang sedang dicarinya-Scarlett. Setelah mendapatkan seluruh data tentang semua perempuan bernama Scarlett yang tinggal di New York, Asher dibantu Ethan mensortir seluruh data hanya untuk mencari satu nama yang rupa yang dia cari. Begitu Asher tau tentang Scarlett yang dia maksudkan. Asher berubah menjadi seorang stalker yang selalu mengawasi gerak-gerik Scarlett setiap kali perempuan itu berangkat dan pulang kerja. Bahkan sudah dipastikan pekerjaan pasti akan kacau kalau saja tidak ada Ethan yang membantunya mengawasi segala proyek yang sedang berlangsung.
"Lalu apa yang membuatmu pulang larut, bukankah kau bilang dia biasa selesai pukul tujuh." Ethan kembali bertanya.
"Aku juga tidak tahu apa yang menahannya sampai baru keluar sekitar pukul 9 tadi." Asher sudah ikut duduk di samping Ethan, juga membuka satu kaleng bir yang masih utuh di atas meja.
"Ini milikk! Ingat, dan jangan protes!" lanjutnya cepat, mengantisipasi kalau-kalau Ethan berniat marah.
"Iya tidak perlu diingatkan aku juga tahu semua ini milikmu. Kau yang paling kaya, kau yang paling berkuasa kau yang paling adidaya." balas Ethan berlebihan. Bahkan lagaknya sudah seperti orang yang baru saja membacakan puisi ke khalayak umum.
"Jadi, kembali ke permasalahan mu dengan nona Scarlett ini, kapan kau mulai bergerak mengajaknya berkenalan. Jangan terus menjadi pengecut. Kau tidak lelah terus bersembunyi?"
"Kenapa aku harus lelah, Lagipula aku tidak ingin berkenalan dengannya."
Benarkan? Dia bukan ingin berkenalan, dia hanya ingin melihat gadis itu saja. Ucap Asher berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
"Lalu kau apa darinya idiot?" habis sudah kesabaran Ethan menghadapi atasannya yang super labil dan naïf ini. Karena sesungguhnya untuk masalah wanita Ethan memang lebih berpengalaman dari Asher. Lihat saja daftar teman kencannya yang melebihi hitungan hari dalam bulan. Ethan bisa berkencan dengan beberapa gadis dalam waktu bersamaan dulu saat dirinya masih kuliah. Sedangkan Asher, lelaki itu bahkan tidak pernah mengejar wanita manapun.
Asher hanya melihat seorang perempuan dari standar yang dia tetapkan sendiri.
Dan Asher adalah pihak yang menerima, kebanyakan permpuan yang berkencan dengannya adalah orang-orang yang lebih dulu mengejar Asher.
"Kenapa kau harus marah? Lagi pula tidak semua dilakukan dengan maksud tertentu?"
"Seriously Asher?! Kau bahkan mengabaikan pekerjaanmu— membuatku semakin sibuk dengan alasan mengawasi gadis itu berjam-jam lalu kau bilang kau tidak memiliki maksud?! Pikirmu aku akan percaya?!"
Ethan yang tak tahan dengan Asher mengeluarkan segala uneg-uneg yang bersarang di kepalanya. Kalau tidak ingat pembunuhan ada salah satu kasus kriminal dengan hukuman yang mengerikan, Ethan sudah pasti akan meracuni makanan milik Asher saat laki-laki itu sarapan besok pagi, oh atau yang lebih eskrim menyerap laki-laki itu mengenakan bantal.
"Baiklah, kau tidak perlu emosi seperti itu," Ahser membalas dengan muka datar, tak peduli dengan rona merah di wajah Ethan yang menandakan laki-laki itu sedang murka. "Mungkin ini terdengar konyol, tapi aku tidak pernah bermimpi buruk lagi setiap kali aku pergi melihat Scarlett. Mungkin itu alsan aku terus menemuiya walaupun tidak secara langsung."
Mata Ethan membulat tak percaya, bisakah sesuatu yang berjalan di luar logika itu dia percayai.
Tentu tidak.!
Tapi Asher dan segala mimpi buruknya dengan background kerjaan, juga bukan sesuatu yang masuk akal. Dan kalaupun itu benar alasannya, kenapa juga dia harus mengawasi Scarlett selama berjam-jam. Bukankah dia bisa melihat gadis itu sebentar, lalu pulang ?
"Kau yakin? Kau yakin benar berhenti bermimpi hanya saat kau pergi melihat gadis itu?"
Asher menatap ke arah Ethan sesaat sebelum akhirnya mengangguk. Di minumnya hingga tandas kaleng bir yang sejak tadi belum lepas dari genggamannya. Beruntung bir ini mengandung alkohol tingkat rendah, jadi Ahser tidak perlu khawatir dirinya akan mabuk hanya dengan satu kaleng bir.
"Aku pernah mencoba berhenti menemuinya, karena aku juga merasa hal ini aneh. Tapi malamnya aku kembali mengalami mimpi itu kembali." Asher geleng-geleng kepala pelan, ingat kejadian beberapa hari ini ketika dirinya mulai bisa tidur nyenyak di malam hari. Mimpi itu tidak pernah datang lagi, tapi saat suatu hari dia berhenti mendatangi Scarlett karena urusan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkannya, Asher kembali dihantuin mimpi buruk itu.
"Apa mungkin Scarlett ada hubungannya dengan mimpimu? " tanya Ethan tak percaya, "Kau bilang selalu ada perempuan di samping mu dalam mimpi itu? Apa mungkin orang itu Scarlett?"
Asher terpaku di tempatnya sesaat, memang benar selalu ada tokoh perempuan di dalam mimpi itu, tapi wajahnya samar, seakan selalu ditutupi kabut dan Asher tak pernah berhasil mengetahui siapa sebenarnya perempuan ini.
Apa mungkin orang itu benar Scarlett? Seorang perempuan asing yang juga baru di kenal ya.
Apa mungkin ini alasan mengapa dirinya selalu ingin menemui perempuan itu. Tapi kenapa harus Scarlett? Asher bahkan tidak pernah mengenal perempuan itu sebelumnya.