"Lalu kenapa kau bilang aku tidak bisa pergi? Apakah kita sudah jadi keluarga sekarang?"
Sepasang mata hitam bulat gadis itu menatap lurus kepada Salim saat menanyakan pertanyaan yang serupa tuntutan jaksa itu. Baik wajahnya maupun suaranya menunjukkan ketidaktertarikan yang mengejek. Menggantikan kekesalan yang tadi sempat ditunjukannya.
Bukannya merasa tersinggung Salim justru merasa terhibur karenanya. Arsia benar-benar memiliki kepribadian yang sangat menarik. Pertanyaan yang barusan dilontarkan gadis itu terdengar sangat berani dan menantang di telinga Salim. Membuat Salim terpaksa harus sedikit menundukkan wajahnya hanya untuk tersenyum.
Berbeda dengan Salim, Behram pelayannya justru mendidih mendengar kelancangan Arsia. Behram tidak tahu apa yang dipikirkan oleh Salim sehingga menganggap diamnya tuannya itu sebagai bentuk kemurahan hati Salim terhadap perilaku bar-bar Arsia.
"Dasar gadis tak tahu malu! Berani-beraninya kau berucap seperti itu kepada seorang pangeran Kesultanan Ottoman!" hardik Behram dengan suara yang bergetar sebab kejengkelannya bertemu dengan nafasnya yang terputus-putus.
Arsia menoleh ke arah Behram. Tanpa ragu dia mendengus di hadapan pria tua itu. Membuat Behram bergidik ngeri melihat attitude gadis itu.
"Selama lebih dari empat tahun aku di sini aku belum pernah melihat orang gila berkeliaran. Apa kalian baru saja keluar dari rumah sakit jiwa?" dengan kekesalan maksimal Arsia membalas ucapan Behram barusan.
Selepasnya Arsia mengomel dengan dirinya sendiri, "Pantas saja Yıldıray minggat dari sini. Mana ada yang mau tinggal dengan orang gila. Aku saja yang sial karena harus bersinggungan dengannya."
Terima kasih kepada gadis bar-bar bernama Arsia itu, kini Behram melakukan sesuatu yang tak pernah terpikirkan oleh siapapun akan dilakukan oleh Behram. Pria itu menempelkan tubuhnya ke lemari buffet dan berusaha untuk mendaki. Di usianya yang sudah jompo Behram akan melakukannya demi dapat menangkap Arsia.
"Kemari kau! Berani-beraninya kau menghina tuan kami!" seru Behram dengan tangannya yang menggapai-gapai, berusaha untuk meraih kaki Arsia yang paling dekat dengannya.
Di atas lemari, Arsia yang dasarnya sudah takut akan ketinggian jadi bertambah panik. "AARRGHHH!!! Pergi kau cumi-cumi tua! Berani-beraninya kau hendak menyentuhku!" gadis itu menjerit tak karu-karuan. Dia histeris.
Sebagai yang paling waras di tempat itu Salim harus segera menengahi pertikaian keduanya. Salim meraih Behram. Dia mencoba untuk menarik pelayannya itu menjauh dari lemari. Namun Behram yang kalap tidak menyerah.
"Lepaskan saya, Yang Mulia! Biarkan saya memberikan pelajaran bagi gadis bar-bar itu!" kata Behram dengan tetap mencengkram sisi-sisi lemari.
"Behram, tenangkan dirimu!" seru Salim di tengah-tengah suasana yang kacau balau.
Behram tidak mengindahkan. Semakin Salim berusaha untuk menariknya, semakin kuat pula cengkramannya pada lemari. Akibatnya lemari itu mulai bergeser dari tempatnya dan kehilangan keseimbangannya.
Merasakan lemari yang mulai goyah, Behram melepaskan dirinya dengan terkejut. Salim pun tak kalah terkejutnya dengan pelayannya itu. Dalam hitungan detik lemari bergerak condong ke arah arah depan. Benda itu menuju kejatuhannya alias akan ambruk.
Suara pekikan Arsia mengiringi hingga ke luar angkasa dengan matanya yang terpejam dan kedua tangannya yang mencengkeram erat sisi samping lemari. Tubuh gadis itu ikut menukik ke bawah seiring dengan lemari yang akan menghantam lantai.
'Aku pergi ke sini untuk menuntut ilmu dan akan pulang dengan gelar almarhumah!', begitulah jeritan hati Arsia saat ini.
Suara 'bum!' yang keras pun terdengar. Disusul dengan suara dobrakan dari pintu utama.
"Jangan bergerak!"
***
Arsia kira dirinya akan berakhir di akhirat. Ternyata justru di kantor polisi lah dia kini berada. Bersama dengan Salim dan juga Behram tentunya.
Wajahnya tertekuk menahan malu dan marah. Melalui ekor matanya diliriknya Salim yang duduk tepat di sampingnya. Sepasang mata hitamnya melemparkan tatapan ganas tatkala Salim membalas lirikannya.
Mendapati Arsia yang seperti kerasukan setan, Salim dengan cepat menarik tatapannya dari gadis itu dan menitikkan pandangannya ke depan. Wajah Salim tampak sangat canggung.
Selanjutnya Arsia beralih melirik Behram. Pria tua itu -- penyebab dari semua kekacauan ini -- duduk di sebelah kiri Salim. Menyadari kemurkaan Arsia kepadanya, Behram sama sekali tak berani menatap gadis itu.
"Semua ini gara-gara kalian! Kalau bukan karena kalian aku tidak akan masuk ke kantor polisi seperti ini!" desis Arsia memuntahkan kemarahan kepada kedua pria tersebut.
Behram yang tadinya menyembunyikan dirinya di belakang Salim, melongokkan kepalanya. Karena gemas dia membalas Arsia dengan sama mendesisnya, "Apa kau pikir kami terlihat pantas berada di sini?"
"Sangat! Cocok sekali jadi napi abadi," jawab Arsia tak mau kalah.
"Dasar gadis tidak tahu diuntung!" Behram menyalak. "Kau sudah mati terjepit kalau tidak ditolong oleh Yang Mu--" kalimat Behram terhenti.
Salim dengan segera menoleh pada pria itu dan memelototinya ketika didengarnya Behram hendak menyebutnya sebagai Yang Mulia di depan umum. Melalui sorot matanya Salim memperingatkan pelayannya itu.
'Cukup Arsia saja yang mengira kita gila, jangan kau tambah dengan yang lainnya!', begitu Behram mengartikannya. Karenanya pria itu pun mengkerut di tempatnya. Lalu menganggukkan kepalanya pada Salim tanda bahwa dirinya mengerti dan kemudian kembali ke posisinya semula, meninggalkan perseteruannya dengan Arsia.
Jauh di dalam hatinya Behram merasa bersalah terhadap Salim. Bagaimanapun memang dia ada andil terhadap semua kekacauan yang terjadi hari itu. Behram akhirnya sadar kalau tadi dia terlalu emosi dalam menghadapi Arsia.
'Seharusnya aku lebih bisa mengendalikan diri. Arsia hanya seorang anak kecil apatis yang membutuhkan bimbingan', sesal Behram.
"Dasar tidak waras! Menolong apanya?! Justru kalianlah yang akan membunuhku," Arsia senewen sendiri di tempatnya. Namun gadis itu tak lagi melanjutkan ajakan geludnya kepada Behram.
Arsia menarik dirinya. Kemudian dia menyandarkan punggungnya ke punggung kursi. Kedua lengannya dia tekuk di depan dadanya dan bibirnya berkerut.
Yang dimaksud Behram dengan 'Salim yang menolongnya' adalah sesaat sebelum lemari tersebut benar-benar rubuh, Salim dengan sigap menangkap Arsia ke dalam gendongannya. Meskipun pada akhirnya Salim harus terhuyung karena kehilangan keseimbangannya dan mereka pun jatuh ke atas karpet.
Keduanya jatuh dengan posisi Arsia berada di atas. Dia menimpa tubuh Salim dan mendarat di dada bidang pria tersebut.
Situasinya begitu aneh sehingga membuat keduanya terdiam beberapa saat. Salim dan Arsia saling menatap satu sama lain dalam jarak kurang dari 10cm tanpa tahu apa yang harus mereka perbuat. Ditambah kedua lengan Salim yang melingkar erat di pinggangnya, membuat Arsia merasa terkunci sementara waktu.
Tak kurang sial, pintu masuk rumah tiba-tiba saja didobrak. Beberapa orang berseragam memasuki rumah. Arsia tidak ingat berapa jumlahnya karena pikirannya blank saat itu, yang pasti satu diantaranya merupakan wanita. Salah satu dari mereka lantas berseru, "Jangan bergerak!"
Polisi.
Semakin tidak bisa bergeraklah keduanya. Salim dan Arsia terpaksa harus bertahan dalam posisi masing-masing tanpa mengerti ada urusan apa polisi-polisi itu berada di sana pada waktu larut begitu.
Jadi begitulah bagaimana mereka berakhir di sana, di kantor polisi.
"Apakah kalian sudah selesai berdiskusi?" sarkas polisi yang sejak tadi duduk di hadapan mereka. Muka polisi itu terlihat sangat bosan.
"Ya, Pak Polisi. Silakan," Salim menjawab mendahului Behram dan Arsia. Dia khawatir kalau keduanya dibiarkan bersuara maka adu mulu lagi yang akan terjadi.
'Sudah cukup', batin Salim.
Polisi itu memperhatikan ketiganya secara bergantian sebelum mulai berbicara. "Kami menerima laporan dari warga sekitar atas kegaduhan yang terjadi di rumah kalian," terangnya.
"Saya tidak membuat kegaduhan apapun, Pak Polisi. Lagipula itu bukan rumah saya," Arsia menyangkal.
"Mereka mendengar perempuan menjerit-jerit," balas si polisi dengan suara datar. Pria itu kemudian menoleh kepada Salim dan Behram. "Apa ada diantara kalian yang perempuan selain dirinya?"
Salim dan Behram segera menggelengkan kepala mereka secara bersamaan.
"Kami lelaki tulen, Pak," dengan suara mantap Salim menambahkan.
"T-tapi mana mungkin suara saya terdengar sampai ke saentro kampung, Pak? Rumah itu berada cukup jauh dari bangunan yang lain," Arsia membela diri.
"Lalu apakah ada wanita lainnya?"
"T-tidak ada, Pak..." jawab Arsia dengan suara yang mirip cicitan tikus.
"Baiklah," ucap si polisi kemudian mulai mengetik sesuatu di komputernya.
'Mati aku! Apa namaku akan masuk ke daftar kepolisian?!', Arsia panik. Dia harus melakukan sesuatu.
Arsia pun mencondongkan tubuhnya ke arah polisi itu. "Maaf, Pak... apakah Anda harus menulis laporannya?"
Tanpa melihatnya polisi itu menjawab, "Tentu saja." Setelahnya ia berhenti mengetik dan menoleh pada Arsia, "Nama?"
"T-tapi, Pak... Itu rumahnya," telunjuk Arsia dengan cepat melayang ke arah Salim. Kedua saling menatap selama sepersekian detik. Arsia dapat melihat bagaimana pupil mata Salim membesar. Pria itu terlihat tidak terima namun Arsia tidak peduli.
'Karena kalian aku harus mengalami semua ini! Dan namaku masih harus tercatat di kepolisian? Oh, tidak bisa!', Arsia menggeram dalam hati.
"Jadi tidak perlu bawa-bawa saya ya, Pak?" Arsia merajuk.
Masih dengan tanpa ekpresi, polisi itu kembali memperhatikan ketiganya. Lalu ia menatap pada Arsia, berkata, "Ada dugaan kalau kau melakukan jual beli di sini."
"J-jual beli a-apa, Pak?" Arsia bertanya. Kebingungan menyergapnya. Dia tidak mengerti apa yang dimaksud oleh polisi itu dengan jual beli.
"Open BO," jawab si polisi.
Rahang bawah Arsia serasa jatuh tatkala mendengarnya. Dia tidak mengerti bagaimana semua ini bisa secara berurutan menimpanya. Dia dibawa ke kantor polisi karena dianggap mengganggu ketenangan publik dan sekarang muncul dugaan kalau dia open BO. Bagaimana bisa?
"Tapi saya di sini sebagai pelajar, Pak. Jangankan open BO, Pak. Selama di sini saya bahkan tidak pernah menyalahgunakan izin tinggal saya untuk bekerja," Arsia menjelaskan.
"Tapi petugas kami menemukan kalian dalam posisi 'seperti itu'."
"Itu salah paham, Pak," jawab Arsia nyaris putus asa.
Arsia lalu menoleh ke Salim untuk membantunya menjelaskan keadaan mereka saat polisi datang tadi. Tetapi pria itu bersama Behram justru sedang menekuni buku catatan mereka.
"Apa yang kalian lakukan?" tanya Arsia tidak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya.
Salim menarik dirinya dari buku dan beralih pada Arsia. "Mencari arti open BO," jawabnya jujur.
Arsia menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya. Dia benar-benar putus asa sekarang. Baik Salim maupun Behram tak bisa diandalkan untuk membantunya. Kedua pria itu bahkan sepertinya tidak mendengarkan penjelasan dari polisi.
'Orang macam apa yang tidak tahu istilah tersebut?', ratap Arsia.
"Nama Anda, Nona?" polisi bertanya kembali.
Arsia menurunkan tangannya. Dengan wajah memelas berkata, "Tapi saya benar-benar tidak melakukannya, Pak."
"Kasus seperti ini bukan sekali dua kali terjadi. Orang asing masuk kemari dan menyalahgunakan izin tinggal mereka untuk melakukan tindakan melanggar hukum. Kalau dugaan terbukti benar, kau bisa dideportasi," ucap polisi.
Mendengarnya Arsia ingin menangis saat itu juga. 'Kalau aku dideportasi karena masalah ini, bagaimana aku harus menjelaskannya pada Bapak dan Ibu? Teman-temanku juga akan bergosip tentangnya...', batin Arsia nelangsa.
Arsia tahu dia tidak bisa diam saja. Dia harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan dirinya dari tuduhan keji ini. Dia tidak mau berakhir sebagai aib keluarga.
"Pak--"
Baru saja Arsia membuka mulutnya, dia harus menerima kejutan berikutnya dalam hidupnya.
"Kami akan menikah, Pak. Nona ini tunangan saya."