Sama seperti Arsia, kata ancaman deportasi itu juga membuat Salim khawatir. Otaknya berpikir cepat mencari cara untuk menyelamatkan Arsia. Gadis itu tidak boleh pergi apalagi sampai dikirim kembali ke negaranya yang entah berada berapa ribuan kilometer dari Turki.
"Kami akan menikah, Pak. Nona ini tunangan saya."
Itulah yang kemudian terlintas dalam pikirannya dan disuarakan melalui mulutnya.
Di sisi kirinya, Behram membelalak ngeri. Di sisi kanannya, Arsia mematung seperti baru saja melihat Medusa. Kedua orang yang sejak tadi selalu berseberangan itu kini akhirnya memiliki sesuatu yang sama untuk dibagi : keberatan akan pernyataan Salim barusan. Tapi bagi Salim, dia sudah menyelesaikan masalah mereka dengan cara yang paling masuk akal.
'Toh polisi itu tidak akan menanyakan lebih jauh setelah ini', Salim percaya diri. Dia sangat yakin kalau polisi itu hanya memberikan gertakan kepada mereka.
Tetapi yang namanya hidup, terkadang ada hal-hal yang berjalan di luar dugaan. Bisa jadi karena jalan takdirnya memang seperti itu atau... karena jaman sudah berganti. Yang manapun, Salim -- tanpa disadarinya -- baru saja memasukkan mereka ke dalam situasi yang lebih kompleks.
Di hadapannya, si polisi menatap tidak antusias. Pernyataan Salim yang kalau di film-film terdengar heroik lagi romantis sama sekali tak membuatnya terkesan. Yang dibutuhkan polisi tersebut adalah pekerjaannya yang tuntas. Untuk mencapainya ia harus membuktikan pernyataan Salim barusan.
"Ada foto tunangan kalian?" tanya polisi itu kemudian.
Salim dan Arsia menggeleng lunglai. Behram pun turut menggeleng meskipun bukan dia yang ditanyai.
"Atau bukti kalau kalian sudah mendaftarkan rencana pernikahan kalian?" si polisi melanjutkan pertanyaannya.
Lagi-lagi ketiganya hanya dapat menggelengkan kepala.
Si polisi menghela nafas. "Lalu bagaimana aku bisa percaya?"
Tidak ada satupun dari ketiga orang itu yang menjawabnya. Arsia sejak tadi telah tenggelam ke dalam kerak bumi hidup-hidup. Salim khawatir melakukan kesalahan lagi dengan perbedaan masa mereka ini. Behram disibukkan dengan kecemasannya sendiri kalau tuannya harus berakhir dengan menikahi gadis itu.
"Baik. Seperti yang kalian katakan bila kalian akan menikah maka undang aku supaya aku dapat melihat dengan mata kepalaku sendiri," tutup si polisi dengan suara lempeng namun bagaikan sambaran petir bagi ketiganya.
Dan begitulah bagaimana kecemasan Behram akhirnya menjadi kenyataan.
***
Ketiganya turun dari taksi. Behram turun dari pintu depan sedangkan Salim dan Arsia dari pintu belakang.
Salim tidak segera masuk ke dalam rumah. Dia justru berdiri terdiam di tempatnya turun dan memperhatikan Arsia. Gadis itu baru saja menginjakkan kakinya ke teras rumah, berjalan ke sana tanpa sedikit pun menengok padanya apalagi Behram.
Sejak keluar dari kantor polisi sikap Arsia tidak berubah. Gadis itu diam saja mirip orang linglung. Bahkan ketika Behram mengatakan sesuatu yang seharusnya menyulut emosinya saat di dalam taksi tadi, Arsia tetap saja memandang kosong ke luar jendela. Tidak bergeming barang sedikitpun, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Gadis yang selalu menimbulkan keributan sejak awal ditemuinya, kini bagaikan kosong. Mendapati Arsia yang seperti itu tentu saja membuat benak Salim dipenuhi oleh rasa bersalah.
Salim tidak bodoh. Sebaliknya dia menyembunyikan kecerdasannya dibalik sikap konyolnya. Pun begitu, selama 25 tahun hidupnya tentu saja ada masalah yang tak dapat diselesaikannya, salah satunya adalah ini. Bedanya, Arsia menjadi masalah pertama yang tak bisa diselesaikannya di 2019.
"Dia sepertinya syok sekali, Yang Mulia," Behram menyuarakan apa yang sudah diketahui oleh Salim. Pria itu berdiri sedikit di belakang Salim, ikut memperhatikan Arsia dari luar rumah.
"Ya, kau benar, Behram," balas Salim.
Behram menatap pada tuannya. "Lalu apa yang akan Anda lakukan, Yang Mulia?"
"Aku akan melakukan apa yang aku katakan," jawab Salim mantap.
"Maaf, Yang Mulia... Maksud Anda, Anda benar-benar akan menikahinya?" Behram mempertanyakan keputusan Salim.
"Ya," Salim menoleh ke Behram. "Kalau tidak dia akan dikirim keluar dari sini. Bahkan bila ini terjadi di kesultanan sekalipun aku tidak akan punya kekuatan untuk mencegah keputusan sultan. Di sini aku hanya Salim," katanya menjelaskan situasinya pada Behram.
"Sebelumnya tolong maafkan saya, Yang Mulia. Bukan maksud saya untuk meragukan Anda tetapi Anda belum pernah menikah sebelumnya dan Arsia bukan seseorang dari masa kesultanan. Gadis itu bahkan tidak tahu siapa Anda. Tidakkah ini akan membuat keadaan lebih rumit? Bagaimana Anda akan menghadapinya?"
Salim tersenyum tipis. Tentu saja dia telah memikirkan mengenai hal tersebut saat di taksi tadi. Makanya bisa dibilang dirinya merasa tenang sekarang meskipun tetap saja tak dapat menghapuskan rasa bersalahnya pada Arsia.
"Kita tidak punya waktu untuk menemukan Yıldıray. Kalaupun ada dan Yıldıray bisa ditemukan lalu bagaimana dengan Arsia? Apakah aku harus membiarkannya dikirim kembali ke negara asalnya karena sesuatu yang tidak diperbuatnya?" ucap Salim.
Behram terdiam di tempatnya. Tuannya itu benar. Dari semua kebenaran yang diucapkan Salim adalah kenyataan kalau Salim harus membayar kesalahan yang dilakukan oleh Yıldıray. Dan meskipun Behram tak memiliki impresi baik terhadap Arsia, dia menyadari bahwa gadis itu hanya korban dari kekacauan yang dibuat Yıldıray.
'Anak durhaka itu! Dia mempermalukanku sampai ke kuburku!', Behram meluapkan kemarahannya dalam hati.
"Sekarang aku harus memberitahu Arsia tentang semuanya, Behram. Aku harap kau bisa lebih bersabar dengannya?" Salim memastikan kesediaan Behram untuk membantunya.
"Seperti keinginan Anda, Yang Mulia," jawab Behram sembari membungkukkan sedikit tubuhnya.
Mereka berdua pun memasuki rumah. Di sana Salim mendapati Arsia duduk di ruang tamu dengan wajah menunduk.
"Kalian ke mana saja?" tanya gadis itu menyadari kehadiran mereka. Arsia lalu mengangkat wajahnya. Manik hitamnya lurus menatap Salim. "Apa tidak ada yang akan menjelaskan padaku tentang apa yang terjadi di sini?"
Suara Arsia terdengar begitu tenang. Tetapi Salim dapat menangkap sakit hati yang dirasakan oleh gadis itu. Salim tak berkomentar apapun mengenai perasaan Arsia tersebut. Bahkan dia memvalidasinya. Di tempat ini gadis itulah yang paling dirugikan oleh keadaan. Seandainya Arsia saat ini tiba-tiba mengeluarkan pisau untuk membunuh mereka, Salim tidak akan heran.
'Tetapi dia terlihat terguncang dan... rapuh', batin Salim.
"Apa kau yakin kau ingin mendengarnya sekarang? Aku bisa menjelaskannya saat kau sudah merasa tenang," Salim menawarkan. Dia merasa iba pada gadis itu.
"Apa ada kegilaan lain lagi yang kalian sembunyikan? Kalau ada maka sekarang saat yang tepat untuk mengatakannya sebelum aku mendapatkan kewarasanku kembali," kata Arsia sambil melihat Salim dan Behram secara bergantian.
Salim menatap Arsia. Sejenak dia mempertimbangkan sebelum akhirnya berkata, "Baik. Ikut denganku. Ada sesuatu yang harus aku tunjukkan padamu."
Tanpa mempertanyakan apapun, Arsia menuruti Salim. Keduanya lalu memasuki kamar yang berada di sebelah kamar utama yang ditempati Arsia.
Secercah sinar kuning lembut segera menyapa pengelihatan mereka tatkala Salim membuka pintu. Sinar itu bergerak dari bawah ke atas pada dinding di hadapan mereka. Seiring dengan pergerakan sinar itu, dinding tersebut berubah menjadi sebuah kotak pos raksasa. Begitu besar hingga cukup untuk dimasuki oleh beberapa orang dewasa sekaligus.
Salim memperhatikan Arsia. Seperti dugaannya, gadis itu begitu terkejut saat melihatnya. Mata Arsia yang bulat seolah akan copot dari rongganya, mulutnya menganga, dan tubuhnya terpaku di tempatnya.
"B-bagaimana b-bisa b-benda itu berada di sana?" Arsia bertanya dengan sepasang mata hitamnya menatap syok ke Salim. Dari Salim, Arsia mengalihkan kembali tatapannya ke dinding di hadapannya untuk mengecek pengelihatannya. Setelahnya, dia menatap Salim lagi. "B-bagaimana benda itu bisa berada di sana? Bukankah di sana seharusnya jendela?" gadis itu mengulang pertanyaannya. Arsia menuntut penjelasan dengan jari telunjuk yang menunjuk-nujuk pada benda yang dimaksudnya.
"Ya. Seharusnya memang ada jendela di sana," Salim membenarkan pernyataan Arsia. Dia lalu mengeluarkan kunci emas dari saku celananya. "Tapi karena kunci ini kotak itu muncul di sana sekarang," jelasnya sembari mengangkat kuncinya ke udara.
"T-tapi bagaimana?" Arsia menatap bergantian kunci dan kotak pos dalam kebingungan.
"Kotak pos itu adalah portal waktu. Seperti yang kau lihat ada gemboknya dan hanya akan muncul bila ada kunci ini," Salim menghentikan ucapannya untuk melihat reaksi Arsia. Gadis itu terlihat bingung luar biasa tentu saja, apalagi? Tetapi Salim sudah menjelaskannya dan dia harus menuntaskannya. Dia pun melanjutkan, "Kami bukan dari masa ini, Arsia. Kami dari Kesultanan Ottoman di masa pemerintahan Sultan Mustafa I."
"Sultan Mustafa I?" Arsia mengulang.
Salim mengangguk. "Ya."
"Sultan Mustafa I... Sultan Mustafa I..." Arsia mencoba mengingat-ingat. "Sultan Mustafa I yang naik tahta setelah Sultan Osman II. Sultan yang itu? Tahun 1617?" tanya gadis itu dengan suara agak tinggi karena keterkejutannya.
Salim menatap Arsia dengan wajah serius. "Benar."
Setelahnya wajah Arsia berubah jadi pucat pasi. Salim mengira bila gadis itu akan kembali histeris dan meneriaki mereka sebagai setan seperti yang dilakukannya sebelumnya. Namun Salim salah. Apa yang terucap dari Arsia setelahnya sungguh mengguncang dirinya sebagai seorang lelaki.
"AKU AKAN MENIKAHI PRIA TUA?!"