"Tuan Behram, apa kau di sini?" Arsia memanggil dari depan pintu.
'Sekarang dia sudah berani mencari Behram, huh?', Salim membatin. Dirinya kesal tentu saja karena Arsia lebih mencari pelayannya itu dibanding dengan dirinya. Kemudian dengan bahasa isyarat dia menyuruh Behram untuk tidak bersuara dan menyembunyikan diri. Dialah yang akan membuka pintunya.
Mematuhi perintah tuannya, Behram memundurkan kakinya beberapa langkah.
Salim baru membuka pintu setelah dipastikannya tubuh Behram tersembunyi dengan sempurna di belakang pintu. Hal pertama yang di dapatkannya setelah pintu terbuka adalah wajah terkejut Arsia.
'Baiklah aku tahu dia menolakku. Tapi apakah dia harus membuat wajah seperti itu seolah aku ini lelembut?', entah kenapa Salim merasa sakit hati karenanya.
Sebenarnya Arsia bereaksi seperti itu karena dia mengira bahwa itu kamar Behram.
"Apa... Tuan Behram tidak di sini?" tanya Arsia kikuk.
Sudut bibir Salim berkedut melihatnya. Dia merasa senang karena tahu bila Arsia tidak akan menemukan Behram. Dengan kata lain, dia mengusili Arsia lagi. Namun wajahnya tetap dia jaga senormal mungkin agar Arsia tak mencurigainya.
"Ada apa?" tanya Salim dengan nada malas-malasan.
"Aku mencarinya," jawab Arsia polos.
'Aku tahu kau mencarinya. Tapi kenapa kau mencarinya dan bukan aku?', sungut Salim dalam hati. Ingin dia mengatakannya tapi yang keluar dari mulutnya adalah, "Ada apa kau mencarinya?"
"Aku ada perlu dengannya," Arsia menolak untuk memberitahu detailnya. Menurutnya karena apa yang akan dikatakannya tidak ada urusannya dengan Salim jadi tidak ada urgensinya memberitahu pria tersebut. Tapi tentu saja Arsia tidak menyadari efek jawabannya itu terhadap Salim.
"Aku pemilik rumah ini. Apa yang kau butuhkan? Aku akan memberikannya," suara Salim datar namun sarat arogansi.
Sejenak Arsia memperhatikan Salim. Alih-alih teryakinkan, Arsia malah meragu melihat penampilan Salim yang ningrat itu. 'Apa benar dia bisa?', dia pun bertanya-tanya.
Salim memperhatikan diamnya Arsia. Dia tahu bila gadis itu tengah memikirkan sesuatu dan itu memancing rasa penasarannya. Lantas dilihatnya gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya yang membuat rasa ingin tahu Salim semakin menjadi.
"Emm, aku tidak yakin kau dapat melakukannya..." Arsia berkata jujur.
Salim merasa arsia kembali merendahkannya. Dia pun jadi semakin tertantang untuk membuktikan dirinya.
"Aku bahkan bisa membeli Istanbul kalau aku mau," ucapnya sesumbar.
Sebenarnya Salim bukanlah tipe orang yang suka menunjukkan statusnya. Bahkan selama ini dia lebih nyaman dikira sebagai rakyat jelata. Tetapi demi menutupi sisi lelakinya yang terluka serta menarik perhatian Arsia kepadanya jadilah dia bersikap seperti itu. Tentu saja Salim melakukannya tanpa sadar, terbawa oleh egonya. Bagaimanapun dia masih manusia biasa. Lelaki biasa yang baru saja tertolak.
"Beli saja kalau kau mau. Aku tidak ada urusan dengan itu," Arsia menanggapi. Dia melihat dengan sebal ke arah Salim. Kemudian seolah Salim tidak berada di sana, Arsia menggeremeng sendiri, "Aku tidak ada urusan dengannya. Kenapa dia menghalangi begitu? Aku sudah mengantuk! Aku butuh Tuan Behram."
Kecuali dua kalimat terakhir, Salim tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Arsia. Dan itu membuat dirinya semakin merasa tertolak. Pasalnya Salim sukses salah paham dengan ucapan Arsia tersebut.
Salim salah sangka kalau Arsia menginginkan Behram untuk menemaninya tidur. Suatu prasangka yang normal -- baginya -- karena gadis itu baru saja menolak dirinya dan mengambil Behram sebagai pilihannya.
"A-apa kau baik-baik saja?" tanya salim terbata saking kagetnya. Tangan kanannya dengan kaku terangkat menunjuk kepalanya sendiri untuk mempertegas maksudnya.
Sudah mengantuk, lelah batin, masih disangka gila pula! Arsia yang sadar bila Salim mempertanyakan kondisi kejiwaannya pun langsung menyalak kesal sambil menghentak-hentakkan kakinya, "Aku waras! Di mana letak gilanya bila ada seseorang yang meminta orang lain membetulkan jendelanya?"
Setelahnya Arsia mendengus dan pergi. Tak lupa sambil masih mengomel, "Silakan saja kalau dia mau membeli Istanbul, huh! Aku tidak butuh orang yang merusakkan jendela lalu meninggalkannya begitu saja!"
Kali ini Salim harus mengalah lagi. Masalahnya Arsia benar. Salim tidak bisa membetulkan jendela. Dia tidak memiliki keahlian itu. Setiap pangeran memiliki keahliannya masing-masing dan keahlian salim adalah ilmu pengetahuan dan bela diri.
Sekarang Arsia sukses membuat Salim merasa menyesal mengapa tidak semua keahlian dia borong saja semuanya. Dengan begitu dia tidak perlu merasa jadi tidak berguna karena tidak dapat membetulkan jendela yang dia rusakkan.
'Heh, sekarang dia pasti berpikir bila aku tidak berguna', pikirnya ironis.
Salim lalu menoleh ke Behram. Dengan mengedikkan kepalanya ke arah Arsia dia menyuruh Behram untuk membantu gadis itu.
Jangan ditanya wajahnya seperti apa. Kalau tadi dia mengatai Arsia seperti jemuran kusut, tampangnya kini lebih buruk daripada itu.
"Untuk sementara kau tutup saja dengan sesuatu. Baru besok dibenarkan," Salim memberikan instruksi. "Minta dia untuk tidur di kamarku," tambahnya.
Behram mengangguk mengerti.
***
Salim menekuk lengan kirinya untuk menyangga kepalanya. Dalam kegelapan sepasang matanya menatap pada langit-langit di ruang tamu. Dia mengalah untuk tidur pada sofa panjang yang berada di sana agar Arsia dapat tidur di kamarnya. Selain kamar Arsia dan kamarnya, tidak ada ruangan lain lagi yang memiliki kasur.
Khusus malam itu, kamar Arsia dibiarkan kosong. Jendelanya yang rusak ditutupi dengan karton kardus. Pintunya ditutup dan dikunci dari luar sebagai antisipasi kalau ada maling yang hendak masuk dari sana.
Meski daerah tempat tinggal mereka relatif aman namun siapa yang tahu niat orang ketika mereka menemukan bila jendela kamar itu hanya ditutup karton. Selain maling juga ada potensi orang mabuk yang bisa tiba-tiba saja masuk.
'Setiap masa punya masalah mereka sendiri-sendiri', Salim merenung.
"Anda belum tidur, Yang Mulia?" tanya Behram. Pria itu berbaring di sofa yang berhadapan dengan Salim.
"Seperti yang kau lihat, Behram," Salim merespon.
"Apakah Anda merasa tidak nyaman tidur di sofa, Yang Mulia?" Behram khawatir.
Salim menoleh pada pelayannya itu. Merasa keberatan dengan pertanyaan Behram tersebut. "Apa kau pikir aku semanja itu, Behram?"
"Lalu apa yang membuat Anda terjaga?"
"Aku dari tadi belum berganti baju," jawab Salim apa adanya. Dia merasakan tubuhnya lengket oleh keringat. Dan itu membuatnya terjaga dari tidurnya.
"Kalau begitu mengapa Anda tidak menggantinya, Yang Mulia?"
"Arsia tidur di sana. Bagaimana aku bisa masuk, Behram?"
"Apakah pintunya dikunci?"
"Mana aku tahu, Behram," Salim menjawab gemas. Dia mulai terganggu dengan rentetan pertanyaan Behram.
"Apa Anda ingin saya mengambilkannya, Yang Mulia?"
Sekalipun Salim tahu bila Behram hanya menawarkan bantuan untuknya namun Salim tak dapat bereaksi apapun selain terlonjak dari sofa. Ada perasaan tidak rela dalam benaknya mengetahui bila ada pria lain yang akan melihat Arsia di sana.
"Aku bisa mengambilnya sendiri!" katanya lalu berjalan ke kamarnya.
Ragu mendera ketika Salim berdiri di depan pintu kamarnya. Dia ingin masuk namun tak ingin masuk juga. Kalau dia tidak mengganti bajunya, dia takkan bisa tidur. Kalau dia masuk, dia khawatir dianggap sedang mengintip Arsia.
Sejenak Salim bertahan dalam posisi seperti itu. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk mencoba peruntungannya.
'Kalau kamarnya dikunci, lupakan. Kalau tidak dikunci, berarti aku bisa masuk. Lagipula aku hanya akan mengambil baju ganti saja', pikirnya.
Perlahan Salim pun menekan gagang pintunya. Lalu bunyi 'cklek' pelan terdengar yang justru membuat Salim agak kaget.
'Dia tidak mengunci pintunya rupanya', batinnya.
Dengan langkah sunyi dia memasuki kamarnya. Matanya yang sudah terbiasa dengan kegelapan membuatnya tidak sulit menemukan letak-letak barangnya. Untungnya lemari bajunya berada berhadapan dengan kaki ranjang jadi dia tidak perlu berhadapan dengan Arsia -- melihat gadis itu saat sedang tidur.
Secepat kilat dia memilih bajunya. Niatnya adalah untuk tidak berlama-lama berada di sana. Namun baru beberapa langkah, niatnya itu sudah diuji.
Salim menghentikan langkahnya. Didengarnya Arsia melenguh dalam tidurnya. Entah bagaimana itu memancing rasa penasaran Salim yang tak mampu ditolaknya.
Sedetik kemudian Salim sudah berada di tepian kasur. Dia menunduk memandang pada gadis itu. Bahkan setelah apa yang terjadi Salim tetap menemukan Arsia menarik.
Sesuatu lantas bergelenjar dalam hatinya. Sesuatu yang membuatnya menuntut bila Behram harus berhasil membuat Arsia menolaknya dan mencegah gadis itu melakukan apapun yang hendak dilakukannya. Kalau tidak, Salim sendiri tidak tahu apa yang akan dilakukannya.
Yang pasti, tidak akan baik.